Fakta Menarik ‘Lucky Girl Syndrome’: Positif atau Bahaya?
Beberapa waktu lalu, TikTok diramaikan dengan tren Lucky Girl Syndrome. Tren yang diikuti sejumlah perempuan itu memercayai keberuntungan bisa “dipanggil” lewat pikiran positif. Mereka yang mengeklaim sukses menjalani tren ini bercerita, hidupnya jadi lebih baik: Dapat apartemen impian, kpeerjaan baru, pasangan romantis, sampai hadiah-hadiah yang katanya “datang sendiri.” Kok bisa, ya?
Benarkah cukup dengan percaya bahwa kita beruntung, lalu semua impian bisa tercapai? Apakah hidup bisa berubah drastis hanya karena cara pikir kita yang berubah?
Baca Juga: Girl Math, Tren Lucu-lucuan yang Datang dari Keresahan Sungguhan
Apa Lucky Girl Syndrome itu?
Lucky Girl Syndrome sebenarnya gabungan antara tren media sosial dan fenomena psikologis. Intinya, ini tentang kekuatan afirmasi positif, percaya sepenuhnya bahwa kamu adalah orang yang beruntung, dan semesta akan “ikut bantu” supaya hal-hal baik berdatangan. Sederhana? Iya. Namun di balik itu, ada peran mindset, rasa percaya diri, dan cara pandang yang optimis dalam menjalani hidup sehari-hari.
Dikutip dari Vox, Lucky girl syndrome and the endless rebranding of “The Secret”, istilah ini mulai naik daun di akhir 2022 dan makin viral di awal 2023, terutama lewat TikTok. Salah satu pencetusnya adalah kreator TikTok Laura Galebe. Video Galebe viral karena mengeklaim hal-hal keren terus datang ke hidupnya tanpa ia harus kerja keras setengah mati, cukup dengan yakin dirinya memang ditakdirkan beruntung.
Dari situ, tren ini menyebar cepat di kalangan Gen Z dan Milenial. Banyak yang mulai bagikan pengalaman pribadi, bikin rutinitas afirmasi harian, dan memproduksi konten soal versi keberuntungan mereka sendiri.
Baca Juga: Yang Jarang Dibicarakan tentang Romantisasi Perempuan Tren ‘Tradwife’
Sisi Positif dari Lucky Girl Syndrome
Walaupun awalnya cuma dianggap tren viral di TikTok, Lucky Girl Syndrome ternyata punya efek yang cukup positif buat banyak orang, terutama dalam hal kesehatan mental dan cara mereka melihat hidup.
Buat sebagian besar yang menjalankan, ini bukan cuma soal vibe positif semata, tapi jadi cara baru buat membangun mindset lebih sehat, meningkatkan rasa percaya diri, dan mengajak diri sendiri buat lebih optimis setiap hari. Dikutip dari Verywell Mind, Can You Benefit From “Lucky Girl Syndrome”?, Berikut sisi positifnya.
- Bikin Percaya Diri Meningkat
Salah satu efek paling terasa dari tren ini adalah meningkatnya rasa percaya diri. Coba bayangkan, kalau setiap hari kamu mengulang kalimat macam, “Aku layak dapat hal-hal baik” atau “Keberuntungan selalu datang ke aku,” lama-lama otak kamu bakal mulai percaya juga. Hasilnya? Kamu mulai melihat diri sendiri dengan lebih positif dan jadi lebih berani ambil langkah yang sebelumnya terasa berat atau enggak mungkin.
Percaya diri itu dibentuk, bukan datang tiba-tiba. Dan Lucky Girl Syndrome memberikan cara simple untuk mulai membentuknya, cukup lewat afirmasi harian.
- Ngerem Overthinking dan Pikiran Negatif
Kita semua pasti pernah kebanyakan overthinking, atau merasa minder sama diri sendiri. Nah, dengan rutin melakukan afirmasi positif, Lucky Girl Syndrome membantu otak untuk ‘ganti channel’ dari pikiran negatif ke hal-hal yang lebih hopeful. Ini enggak langsung membuat semua masalah hilang, tapi setidaknya membuat kepala terasa lebih ringan dan hati lebih tenang.
Banyak yang bilang mereka jadi lebih santai menjalankan hari, enggak gampang panik, dan lebih siap hadapi tekanan.
- Mindset Jadi Lebih Positif
Yang menarik dari Lucky Girl Syndrome adalah, dia enggak mengajarkan kita buat cuma duduk dan menunggu keajaiban. Sebaliknya, tren ini justru mendorong kita untuk berpikir positif dan bertindak. Karena kalau kita yakin layak mendapatkan yang terbaik, kita juga jadi lebih semangat untuk mengusahakan itu.
Dari sini, pola pikir kita berubah, lebih fokus mencari solusi ketimbang kebanyakan memikirkan masalah. Jadi bukan cuma wishful thinking, tapi juga jadi lebih gercep mengejar hal-hal baik.
- Membuat Mental Lebih Stabil dan Emosi Lebih Adem
Merasa beruntung dan bersyukur setiap hari ternyata bisa jadi mood booster alami. Emosi jadi lebih stabil, pikiran lebih tenang, dan secara enggak langsung relasi dengan orang lain juga ikut membaik. Di dunia kerja pun, kita jadi lebih kreatif dan enak diajak kerja bareng.
Intinya, tren ini mengajarkan kita untuk memperlakukan diri sendiri dengan lebih baik, dan hasilnya bisa memberikan efek ke banyak sisi dalam hidup.
- Memberikan Harapan dan Energi untuk Terus Jalan
Di tengah dunia yang penuh tekanan dan ekspektasi, kita butuh sesuatu yang bisa jadi pegangan emosional. Lucky Girl Syndrome hadir sebagai pengingat kita masih bisa berharap dan tetap optimis. Afirmasi harian yang kelihatannya simpel itu, ternyata bisa jadi penyelamat di saat mental lagi goyah atau saat kita ngerasa kehilangan arah.
Buat banyak orang, ini semacam bentuk self-care yang ampuh, dan kadang, itu saja sudah cukup untuk membuat kita kuat lagi.
Baca Juga: Apa Itu ‘Pick Me Girl’? Simak Ciri-ciri dan Asal Muasalnya!
Kritik terhadap Lucky Girl Syndrome
Walaupun Lucky Girl Syndrome sempat jadi inspirasi banyak orang karena aura positifnya, tren ini juga enggak lepas dari berbagai kritik. Mulai dari psikolog, aktivis kesehatan mental, sampai netizen yang lebih realistis.
Banyak yang bilang kalau tren ini bisa jadi bumerang kalau enggak dipahami dengan tepat atau malah diterapkan secara berlebihan.
Dikutip dari BBC, Lucky Girl Syndrome: Smug TikTok trend or life-changing positivity?, berikut sisi negatif dari lucky girl syndrome.
- Hidup Itu Enggak Sesimpel Itu
Salah satu kritik paling sering muncul adalah Lucky Girl Syndrome cenderung menyederhanakan hidup. Seolah-olah cukup dengan berpikir positif, semua impian bisa terwujud. Padahal kenyataannya, hidup jauh lebih kompleks. Ada hal-hal penting lain yang juga harus dipertimbangkan, seperti usaha, privilege, kondisi sosial, dan keberuntungan struktural.
Enggak semua orang mulai dari tempat yang sama. Ada yang harus berjuang lebih keras, ada yang terbebani trauma, atau hidup di sistem yang enggak adil. Jadi, kalau cuma fokus pada afirmasi, rasanya kurang menghargai realita yang dihadapi sebagian besar orang.
- Bisa Bikin Merasa Gagal dan Menyalahkan Diri Sendiri
Tren ini juga bisa membuat seseorang merasa bersalah kalau kenyataan hidup enggak sejalan dengan ,afirmasi yang mereka ulang tiap hari. Misalnya sudah berkali-kali bilang “Aku pasti sukses,” tapi hasilnya malah jauh dari harapan. Enggak jarang, orang jadi berpikir kalau mereka kurang “berpikir positif” atau enggak cukup percaya sama afirmasi yang diucapkan.
Padahal, kegagalan sering kali terjadi bukan karena kurang afirmasi, tapi karena banyak faktor luar yang memang di luar kendali kita.
- Rentan Jadi Bentuk Toxic Positivity
Toxic positivity itu kondisi ketika kita terlalu memaksakan diri buat selalu senang atau positif, bahkan saat lagi sedih atau stres. Nah, Lucky Girl Syndrome bisa kebablasan kalau enggak berbarengan dengan kesadaran emosional yang sehat.
Contohnya, seseorang bisa saja merasa sedih atau kecewa, tapi harus terus ceria demi jadi “si gadis beruntung.” Kalau perasaan negatif terus dipendam, bukan enggak mungkin ini justru bikin mental makin lelah.
- Afirmasi Tanpa Aksi = Enggak Ngaruh
Enggak salah sih punya pola pikir optimis, tapi kalau enggak dibarengi dengan aksi nyata, semua afirmasi itu jadi cuma slogan. Kritik lainnya menyebut, Lucky Girl Syndrome bisa bikin orang jadi terlalu pasrah dan berharap “semesta bekerja” tanpa usaha konkret.
Padahal, percaya diri aja enggak cukup. Perlu juga belajar, kerja keras, ambil risiko, dan bangun relasi. Tanpa itu, keberuntungan cuma jadi angan-angan.
- Enggak Relevan Buat Semua Orang
Tren ini juga dianggap bias karena kebanyakan viralnya di kalangan perempuan muda yang sudah punya akses ke pendidikan, teknologi, dan kesempatan hidup yang lebih nyaman. Buat orang-orang yang hidup dalam kondisi sulit atau punya masalah kesehatan mental, afirmasi seperti, “Aku pasti beruntung” bisa terasa kosong.
Bahkan menurut beberapa psikolog, orang dengan kondisi seperti depresi atau anxiety justru bisa makin tertekan kalau dipaksa ikut-ikutan tren ini, apalagi tanpa dukungan profesional yang tepat.
















