December 7, 2025
Gender & Sexuality Lifestyle Opini

Pria Punya Selera, tapi Bukan Alasan Rendahkan Perempuan

Punya selera boleh, tapi menjadikan standar pribadi sebagai patokan moral perempuan lain? No, thank you. Ini bukan tentang kamu, bang.

  • August 19, 2025
  • 3 min read
  • 2828 Views
Pria Punya Selera, tapi Bukan Alasan Rendahkan Perempuan

Sebagai orang yang rutin mengoceh soal isu perempuan di media sosial, saya sadar betul kalau tidak semua orang akan setuju. Terutama ketika topiknya menyentil patriarki dan misogini—sudah pasti ada yang kepanasan. Risikonya memang begitu.

Beberapa waktu lalu, saya mengunggah tanggapan terhadap seorang laki-laki yang bilang dia memutuskan pacarnya karena si pacar tidak bisa masak. Yang menarik perhatian saya bukan si mas-nya, tapi komentar seorang perempuan yang justru setuju.

Menurut si mbak, perempuan yang tidak bisa masak adalah pemalas. Katanya, memasak itu keterampilan dasar yang wajib dikuasai semua perempuan. SEMUA. Pakai huruf kapital. Dan kalimat pamungkasnya: “Masakin suami dan dipuji itu kebanggaan, bukan kehilangan harga diri.”

Baca juga: Cari Jodoh Anti Asap: #BiroJodohNonPerokok dan Tren Asmara Digital

Kalau ini bukan contoh internalisasi patriarki, saya tidak tahu lagi harus sebut apa. Masalahnya bukan pada preferensinya yang suka masak atau bangga disayang suami karena masakannya. Tapi ketika standar pribadi dijadikan alat untuk menghakimi perempuan lain—itu yang jadi soal. Alih-alih bilang, “Saya suka masak,” si mbak malah menyerang: “Yang nggak bisa masak itu pemalas.”

Lucunya, dia merasa sedang menyuarakan kebenaran, bukan opini. Mungkin karena narasi yang dia dengar sejak kecil cuma satu: perempuan baik itu yang bisa masak. Padahal seperti kemampuan lain, memasak itu keterampilan, bukan naluri. Tidak semua orang bisa atau suka, dan itu bukan indikator moral. Belum lagi selera makan orang berbeda-beda. Bisa masak belum tentu bikin suami berhenti ngidam masakan ibunya atau tidak buka aplikasi daring.

Tapi saya jadi ngelantur. Fokus saya sebenarnya bukan ke si mbak, tapi komentar laki-laki yang ikut nimbrung. Salah satu komentarnya menempel banget di kepala: “Kalau kalian berhak punya kriteria laki-laki, kami juga berhak dong punya kriteria perempuan, tanpa dilabeli misoginis.”

Bang… siapa yang larang kamu punya kriteria? Silakan. Dunia ini luas. Tapi yang sedang dibahas itu perempuan yang menyerang perempuan lain. Bukan kamu. Kok kamu yang tersinggung?

Tapi begitulah pola yang berulang. Setiap kali perempuan menyuarakan ekspektasi, standar, atau sekadar preferensi, selalu saja ada laki-laki yang merasa “diserang”. Lalu membalas dengan komentar nyinyir, istilah baru, dan logika jungkir balik.

Baca juga: Cewek Seblak, Cowok Kopi: Benarkah Makanan Punya Gender?

Contohnya saat saya bilang bahwa biaya perawatan perempuan memang lebih mahal, ada yang menyambar dengan istilah “hoeflation”. Saya googling, hasilnya nihil. Tapi dugaan saya: gabungan dari “hoe” dan “inflation”. Kreatif, ya, kalau soal merendahkan perempuan.

Sekali lagi, punya selera itu wajar. Punya kriteria pasangan? Silakan. Tapi saat kamu mulai menyerang perempuan yang tidak sesuai standar kamu dengan label seperti “ani-ani vibe”, “enggak layak dikawinin”, “sok high value”, atau “sok independen padahal maunya dinafkahin”—itulah momen ketika kamu tidak lagi bicara soal preferensi. Kamu sedang menunjukkan misogini.

Kalau kamu mencari pasangan dengan kriteria A sampai Z, lalu ketemunya yang beda, ya tinggal bilang “no thanks”. Jangan dipaksa berubah, apalagi dimaki. Cari yang cocok. Sesimpel itu.

Yang lebih penting: patutkan diri kamu dulu. Fokus ke dalam, bukan menyerang keluar. Jangan cuma menuntut kalau belum tentu layak dituntut balik.

Apa kabar komentar si mas di unggahan saya? Ya enggak gimana-gimana. Dia sudah menyuarakan pendapatnya, saya memilih untuk tidak meladeni. Saya bukan menulis demi menyenangkan laki-laki, apalagi berdebat dengan akun anonim. Energi saya lebih baik dipakai buat hal-hal yang benar-benar berdampak. Seperti… menggulingkan sistem patriarki (just kidding. Well, not really).

Baca juga: Label Pelakor Arawinda: Tak Adil Gender, tapi Kok Langgeng di Medsos?

Buat kamu perempuan yang sedang ragu, yang mulai goyah karena komentar orang: jangan turunkan standar hanya karena ada laki-laki yang bilang standarmu tidak masuk akal. Mereka cuma enggak nyampe. Simpan energimu buat hidupmu sendiri. Hidup yang layak kamu pilih dan kamu nikmati, dengan atau tanpa validasi dari mas-mas di kolom komentar.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Poppy R. Dihardjo

Poppy R. Dihardjo atau biasa dipanggil Kapop adalah orangtua tunggal, praktisi komunikasi dan lawyer in progress yang suka sambat di medsos seputar isu perempuan.