December 7, 2025
Issues Opini Politics & Society

SEAblings: Saat Kirim Makanan Jadi Simbol Solidaritas Warga Asia Tenggara

Warganet di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura memesan makanan untuk pengemudi ojol Indonesia sebagai simbol persaudaraan. Ini membuktikan solidaritas digital bisa tumbuh organik.

  • September 4, 2025
  • 4 min read
  • 3137 Views
SEAblings: Saat Kirim Makanan Jadi Simbol Solidaritas Warga Asia Tenggara

Tewasnya Affan Kurniawan, 21, pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas kendaraan rantis Brigade Mobil (Brimob) pada (28/8) melahirkan gelombang solidaritas lintas negara. Netizen Indonesia menemukan berbagai unggahan di media sosial dari para warganet di Malaysia, Singapura, Filipina, hingga Thailand, yang membagikan bukti pemesanan makanan lewat aplikasi pesan-antar.

Pesanan itu bukan untuk kawan atau kerabatnya, tapi untuk ‘tetangga jauhnya’ yang tak mereka kenal: para pengemudi ojol di Indonesia.

Aksi berbagi makanan lintas negara ini ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Seablings’—permainan kata menggabungkan SEA (Southeast Asia atau Asia Tenggara) dan siblings (saudara kandung).

Gerakan ini diyakini bersifat organik dan sukarela, muncul dan meluas dengan cepat. Salah satu pelopor yang dapat dikenali adalah akun X @sighyam dari Thailand, yang mengajak warganet lainnya untuk mendukung pada pengemudi ojol pada 30 Agustus 2025.

Warganet di negara-negara Asia Tenggara kemudian menyambut ajakan itu. Mereka ramai-ramai mengunggah bukti pemesanan lewat berbagai platform media sosial, seperti X, Threads, dan Instagram.

Tagar #SEAblings lalu ramai digunakan. Ini menjadi bukti bagaimana solidaritas digital dapat melintasi batas negara—tanpa pertemuan fisik, struktur organisasi, bahkan perantara lembaga kemanusiaan. Bisa dikatakan pula ajakan ini muncul tanpa muatan politik yang kentara.

Baca Juga: Negara yang Menggilas Anak-anaknya dan Duka yang Tak Pernah Dihitung

Mengapa Aksi SEAblings Muncul?

Kemunculan fenomena ini setidaknya dimungkinkan oleh tiga hal, yakni fitur dari aplikasi pesan-antar, ‘kesamaan nasib’, dan karakteristik sosio-kultural Asia Tenggara.

1. Kekuatan baru

Grab menjadi sarana aksi ini karena memiliki jangkauan luas di Asia Tenggara. Didirikan pada 2012 di Malaysia dengan nama MyTeksi, Grab kini beroperasi di delapan negara dan telah menjadi salah satu perusahaan teknologi terbesar di kawasan.

Salah satu fitur penting platform Grab adalah kemampuan mengubah lokasi pemesanan. Hal inilah yang memungkinkan pengguna di Bangkok, Thailand atau Kuala Lumpur, Malaysia, untuk memesan makanan bagi mitra Grab di Jakarta atau Denpasar. Fitur serupa tidak dimiliki oleh banyak platform ride-hailing lainnya.

Penggunaan fitur ini dalam fenomena #SEAblings menunjukkan bagaimana digital platform seperti Grab tidak hanya memiliki potensi di sektor ekonomi, tetapi juga kekuatan besar untuk menggerakkan massa. Tak heran jika ride-share platform dapat disebut sebagai kekuatan baru untuk gerakan akar rumput.

2. Kesamaan nasib

Aksi solidaritas ini juga muncul karena identitas atau perasaan yang sama maupun kemiripan tujuan. Grab punya peran ekonomi signifikan. Jutaan orang di Asia Tenggara bergantung pada aplikasi teknologi, seperti Grab dan juga Gojek dari Indonesia, untuk pendapatan dan keperluan sehari-hari.

Pada 2019, Managing Director Grab mengklaim di Indonesia ada hampir lima juta mitra Grabbike, Grabcar, maupun Grabfood. Ini belum termasuk jumlah pengguna—yang tentunya jauh lebih banyak lagi.

Artinya, aplikasi teknologi semacam Grab bukan sekadar aplikasi transportasi atau pesan-antar makanan, barang dan orang, melainkan sudah menjadi bagian dari keseharian jutaan warga Asia Tenggara.

Tak mengherankan jika kematian Affan Kurniawan dapat dengan mudah membangkitkan perasaan senasib dan solidaritas kemanusiaan kawasan.

Baca Juga: Ribuan Massa Demo di DPR Tuntut Penarikan Tunjangan Anggota DPR

3. Berbagi makanan sebagai budaya

Meskipun memiliki kemiripan pola gerakan aktivisme digital lintas negara Asia sebelumnya, yakni Milk Tea Alliance pada 2020 lalu, aksi SEAblings ini memiliki perbedaan mendasar. Solidaritasnya berwujud materi, yakni makanan.

Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan di dunia yang masyarakatnya dikenal murah hati. Dalam hal kemanusiaan, tampaknya masyarakat Asia Tenggara memiliki semangat dan tujuan yang sama. Mereka suka berbagi dan tak ragu memberikan sebagian rejeki mereka kepada sesama, terutama bagi yang membutuhkan.

Lalu, mengapa gerakan SEAblings ini didominasi dengan pengiriman makanan melalui layanan pesan-antar?

Ini tidak bisa dilepaskan dari budaya Asia yang menilai makanan sebagai salah satu bahasa cinta yang universal. Berbagi makanan tidak hanya dimaknai sebagai pengisi perut, tetapi juga bisa berarti pemberian asupan batin agar hati menjadi bahagia.

Hampir semua orang di Asia Tenggara mungkin akrab dengan pertanyaan, ‘sudah makan belum?’. Ungkapan ini tidak hanya pertanyaan retoris, tapi juga salah satu bentuk ekspresi sayang kepada lawan bicara.

Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi

Sering Berantem tapi Sigap Menolong

Terlepas dari kerapnya negara-negara serumpun ini bersitegang soal batas wilayah, asal-usul makanan seperti rendang, atau klaim atas budaya tradisional seperti wayang, aksi SEAblings ini menunjukkan bagaimana negara sekawasan ini tak ubahnya siblings (saudara kandung).

Maksudnya, biarpun kadang bertengkar, saat salah satu dalam kesusahan, yang lain akan sigap merangkul dan menolong.

Hingga artikel ini ditulis, gerakan SEAblings masih berlangsung dan entah kapan berhenti.

Mungkin SEAblings akan meredup seiring berlalunya isu politik di Indonesia. Namun, ia berhasil menunjukkan bahwa solidaritas transnasional bisa dijembatani oleh platform digital tanpa perantara negara atau lembaga kemanusiaan.

Sebagai gerakan akar rumput yang terbangun secara spontan dan berjalan dengan cepat serta partisipatif, aksi SEAblings ini menegaskan bahwa ikatan serumpun yang amat rapuh itu dapat terus dirajut lewat cara sederhana, dekat, dan personal—salah satunya lewat berbagi makanan.

Amorisa Wiratri, Postdoctoral fellow, National University of Singapore dan Sugiyanto, PhD Candidate, Communication and Media Studies, Edith Cowan University.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

About Author

Amorisa Wiratri dan Sugiyanto