Bisa menunaikan ibadah umrah adalah sebuah kesempatan yang sangat saya syukuri. Seperti banyak perempuan Muslim lainnya, saya sudah lama memimpikan berada langsung di Tanah Suci. Namun berbeda dari kebanyakan orang yang pergi bersama keluarga atau pasangan, saya memutuskan untuk berangkat sendiri, tanpa ditemani kerabat atau teman dekat.
Keputusan ini bukan tanpa kegelisahan. Selain karena ini adalah perjalanan spiritual dengan aturan dan tata cara yang sakral, saya juga menyadari bahwa saya akan melakukannya sebagai perempuan yang benar-benar sendiri. Meski Arab Saudi kini memperbolehkan perempuan umrah tanpa mahram sejak 2023, saya tetap membawa kekhawatiran akan pembatasan ruang gerak perempuan, terutama di negara dengan nilai-nilai sosial yang masih sangat konservatif.
Namun ternyata, tantangan yang saya hadapi justru bermula dari tempat yang tidak saya duga sebelumnya: rombongan jemaah saya sendiri.
Baca juga: Perempuan dan Penentuan Otoritas Rumah Ibadat
Perempuan, ibadah, dan ekspektasi sosial
Dalam kloter saya yang berangkat Agustus lalu ada sekitar 32 jemaah. Begitu berkenalan, saya langsung mendapat komentar seperti, “Wah, hebat ya, masih muda sudah umrah sendirian.” Meski terdengar ramah, ucapan ini menyiratkan bahwa perempuan muda bepergian sendiri masih dianggap tidak lazim—seolah belum cukup layak secara finansial maupun mental untuk melakukan perjalanan spiritual sendirian.
Tak berhenti di situ, pertanyaan-pertanyaan seperti “Sudah punya anak berapa?” dan “Kapan menikah?” muncul tak lama setelah perkenalan. Saya tahu pertanyaan semacam ini sudah akrab di keseharian perempuan Indonesia, tapi mendengarnya di tengah ibadah membuat saya merenung. Kenapa peran domestik selalu jadi penentu identitas utama perempuan, bahkan di ruang yang seharusnya bersifat spiritual dan universal?
Ironisnya, percakapan yang lebih dalam tentang pekerjaan, kondisi sosial, atau bahkan politik, justru lebih banyak terjadi dengan jemaah laki-laki. Bukan karena perempuan tak mampu membahasnya, tapi karena pembicaraan di antara perempuan cenderung dibatasi pada urusan keluarga, anak, dan rumah tangga.
Di luar rombongan, saya mencoba mengamati kehidupan perempuan lokal di Mekah dan Madinah. Meski sejak 2018 perempuan di Arab Saudi diperbolehkan mengemudi, saya tidak melihat satu pun perempuan menyetir selama tujuh hari berada di sana. Pekerja hotel, pelayan restoran, penjaga toko—semuanya didominasi laki-laki. Hanya di bagian khusus perempuan, seperti askar (petugas keamanan) masjid dan staf bandara, saya melihat kehadiran perempuan secara profesional.
Namun, tetap ada harapan. Saya melihat perempuan-perempuan dari berbagai negara datang sendiri ke Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Mereka salat, tawaf, berdoa, semua dilakukan tanpa didampingi siapa pun. Momen itu memperlihatkan bahwa ruang spiritual juga bisa menjadi ruang kemandirian.
Yang membekas bagi saya adalah pemandangan ibu-ibu yang harus menenangkan anak-anaknya sambil tetap mencoba beribadah dengan khusyuk. Tangisan bayi, anak kecil yang berlari-lari, dan ibu yang menggendong anak sambil berdzikir adalah hal biasa di area perempuan. Sementara di sisi laki-laki, tampaknya ibadah bisa dijalankan dengan lebih tenang.
Seorang jemaah perempuan bahkan harus terus menjaga putranya yang sangat aktif selama tawaf memutari Ka’bah, sementara suaminya tampak khusyuk tanpa gangguan. Pengalaman ini membuat saya bertanya: apakah pengasuhan memang masih sepenuhnya dibebankan pada ibu, bahkan saat menjalankan ibadah yang begitu sakral?
Baca juga: Hanya Sepetak Ruang untuk Perempuan di Rumah Tuhan
Refleksi perempuan Muslim di Tanah Suci
Salah satu kekhawatiran saya sebelum berangkat adalah soal pakaian. Banyak teman menyarankan saya memakai gamis hitam, putih, atau warna gelap, agar dianggap “syar’i”. Mereka bahkan meminjamkan busana yang menurut mereka sesuai standar. Saya pun sempat khawatir: apakah gaya berpakaian saya akan dianggap kurang layak?
Tapi sesampainya di Tanah Suci, saya menemukan hal yang membuka perspektif. Perempuan Muslim dari berbagai negara mengenakan busana beragam, dari corak polkadot, floral, hingga motif animal print. Semua tetap sopan dan tertutup, namun dengan ekspresi budaya dan gaya masing-masing. Saya tersadar bahwa Islam tidak seragam, dan ruang untuk menjadi diri sendiri tetap ada selama niat kita lurus dan ibadah kita khusyuk.
Saya pun teringat bahwa Islam tidak pernah mengekang. Yang sering membatasi perempuan justru konstruksi sosial dan budaya yang ditempelkan ke ajaran agama. Islam tidak pernah melarang perempuan bepergian, berpendidikan, atau berdikari. Justru dalam sejarahnya, banyak perempuan terlibat dalam dakwah, ilmu pengetahuan, dan bahkan perjalanan hijrah.
Baca juga: Peran Perempuan Terlupakan dalam Penyebaran Islam di Inggris
Bagi saya, kemerdekaan untuk berangkat umrah sendiri adalah langkah besar. Tapi saya juga sadar, kemerdekaan hukum tak serta-merta mengubah kenyataan sosial. Mayoritas perempuan Muslim masih hidup dalam masyarakat yang sangat patriarkal. Maka, perubahan harus dilakukan dari dua sisi: lewat kebijakan, dan lewat perubahan sosial-budaya yang lebih mendalam.
Perjalanan umrah ini tidak hanya meneguhkan keyakinan saya pada Tuhan, tapi juga memperdalam kesadaran saya akan pentingnya terus memperjuangkan ruang aman dan adil bagi perempuan—termasuk di ruang-ruang ibadah.
Retno Daru Dewi G. S. Putri adalah pengajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia. Topik-topik yang diminati oleh Daru adalah isu gender, kesehatan mental, filsafat, bahasa, dan sastra.
















