December 7, 2025
Culture Opini Politics & Society Screen Raves

‘The Secret Agent’: Surat Cinta untuk Sinema dan Brasil dalam Cengkraman Rezim Militer

Sejarah kelam itu tak pernah pergi, cuma berganti wajah. Meneruskan trauma ke generasi berikutnya. Seharusnya, bukan warga Brasil saja yang dekat dengan cerita ini.

  • October 24, 2025
  • 5 min read
  • 1061 Views
‘The Secret Agent’: Surat Cinta untuk Sinema dan Brasil dalam Cengkraman Rezim Militer

Di adegan pembuka The Secret Agent (2025), Armando (Wagner Moura) berhenti di pom bensin pinggiran Recife, di bawah terik matahari yang jaraknya seperti cuma sejengkal dari kepala. Tak jauh dari pom, sesosok tubuh manusia membusuk, dikerumuni lalat dan anjing jalanan. Pemilik tempat itu, dengan wajah datar, bergumam: “Aku mulai terbiasa dengan ini.”

Dari sini, kita tahu bahwa The Secret Agent berlatar di sebuah negara, yang warganya dipaksa menyesuaikan diri dengan kebusukan yang dibiarkan terlalu lama.

Kleber Mendonça Filho, sutradara Brasil yang sebelumnya membuat Aquarius (2016) dan Bacurau (2019), merangkai The Secret Agent sebagai film politik yang bergulir pelan-pelan, dengan atmosfer yang terasa menghantui. 

The Secret Agent, yang menang Best Director dan Best Actor di Festival Film Cannes 2025, adalah karya yang menyorot  cara sejarah kelam tidak pernah benar-benar berakhir; ia hanya berganti bentuk, menunggu saat yang tepat untuk kembali.

Baca juga: Diam juga Kekerasan: Pengalaman Saya Jadi Pelaku dan ‘Bystander’ Perundungan

Surat Cinta pada Sinema

Film ini mengambil latar Recife pada 1977, di tengah kediktatoran militer Brasil. Armando, seorang profesor teknik elektro, hidup dengan identitas palsu setelah menentang pejabat korup yang berkuasa. Ia menyewa kamar di kompleks apartemen milik Dona Sebastiana (Tânia Maria), tempat yang menjadi semacam rumah perlindungan bagi para pelarian politik dan orang-orang buangan. 

Ada Thereza Vitória (Isabél Zuaa), penyintas perang saudara Angola; Claudia (Hermila Guedes), dokter gigi yang menyimpan rahasia; dan di luar sana, ada polisi brutal Euclides (Robério Diógenes) yang menebar teror bersama dua anaknya. Sementara itu, dua pembunuh bayaran, Bobbi (Gabriel Leone) dan Augusto (Roney Villela), dikirim untuk mencari dan membungkam Armando.

Semua berlangsung di tengah suasana karnaval—sebuah pesta rakyat khas Brasil yang meriah—menambah lapisan ironi dalam jalinan plotnya. Dari balkon apartemen, Armando melihat kerumunan menari di jalan sambil mengenakan topeng warna-warni, sementara di sisi lain kota, jenazah tak dikenal ditemukan di dalam perut seekor hiu. Mendonça menyeimbangkan absurditas dan realisme seperti seseorang yang sadar bahwa kekerasan politik sering bersembunyi di balik perayaan.

The Secret Agent adalah film yang tidak keberatan untuk memanfaatkan waktu yang ia punya. Ia tidak tergesa-gesa menjelaskan masa lalu Armando, juga tidak menawarkan jawaban absolut tentang siapa dia secara utuh. Dalam film ini, waktu terasa elastis—kadang melompat ke masa kini, ketika dua peneliti di São Paulo mendengarkan rekaman kaset dari tahun-tahun kelam itu. Mereka mencoba memahami siapa Armando, seolah meneliti hantu yang masih gentayangan di arsip negara. 

Dalam salah satu momen paling menyentuh, kamera berhenti lama pada wajah Moura yang nyaris tanpa ekspresi, menahan ketakutan yang sudah menjadi rutinitas.

Baca juga: Skenario Terburuk Jika BBM Tetap Langka di SPBU Swasta

Wagner Moura memberi penampilan yang relatif subtil tapi punya kedalaman yang luar biasa. Setiap keputusannya terasa seperti menimbang hidup dan mati. Mendonça memang menulis peran ini khusus untuknya. Karakter Armando mengingatkan pada tokoh-tokoh dalam film noir klasik: pria yang ingin percaya pada kebaikan, tetapi tahu sistem di sekelilingnya terlalu busuk untuk diselamatkan.

Keindahan film ini juga terletak pada cara Mendonça memperlakukan kota Recife. Ia tidak hanya latar yang pasif, alih-alih, denyutnya begitu terasa dan napasnya nyata. 

Gedung-gedung tua, bioskop yang memutar Jaws dan The Omen, jalan-jalan yang penuh warna Tropicália—semuanya disorot dengan sinematografi Evgenia Alexandrova yang indah sekaligus memuat nuansa mengancam. Mendeskripsikan Recife tahun 1970-an dengan warna cokelat, oranye, dan kuning yang dominan, Mendonça menghidupkan suasana nostalgia yang samar-samar.

Di satu adegan, Armando menatap kota dari ruang proyeksi bioskop Cinema São Luiz, tempat mertuanya, Sr. Alexandre (Carlos Francisco), memutar film-film lokal dan Hollywood. Dari tempat tinggi itu, ia melihat cahaya proyektor menembus debu udara, seperti memproyeksikan kenangan yang belum selesai. Momen ini terasa seperti pernyataan cinta Mendonça kepada sinema—medium yang ia gunakan untuk melawan lupa.

Perlawan Itu Tak Selalu Heroik, Ia Melelahkan, tapi Butuh Kedisipilinan

Dalam sebuah wawancara, Mendonça pernah berkata bahwa ia menulis film ini di tengah rasa malu atas arah politik Brasil di masa pemerintahan Jair Bolsonaro. Saat itu, negara kembali terjebak dalam romantisasi terhadap masa militer, dengan retorika “ketertiban” yang menutup mulut kritik. 

Kini, ketika Bolsonaro dijatuhi hukuman 27 tahun penjara atas percobaan kudeta 2023, The Secret Agent terasa semakin relevan. Film ini muncul di saat masyarakat Brasil sedang berjuang melawan amnesia kolektif, kecenderungan untuk “memaafkan demi ketenangan” yang justru membuka jalan bagi kekuasaan yang berulang.

Fenomena ini tentu tidak asing bagi penonton Indonesia. Kita tumbuh dalam tradisi melupakan. Banyak peristiwa kekerasan politik disapu bersih dari buku sejarah, banyak keluarga kehilangan nama-nama yang tak pernah ditemukan lagi di catatan negara. Dalam konteks itu, perjalanan Armando terasa sangat dekat. 

Ketika ia menyusuri kantor arsip untuk mencari bukti bahwa ibunya pernah ada, kita seperti melihat diri sendiri sedang mencari kebenaran yang terus dihapus.

Mendonça tampak sadar bahwa perlawanan terhadap kekuasaan tidak selalu harus meledak-ledak. Dalam The Secret Agent, resistensi hadir lewat hal-hal kecil: kesepenuhan hati dalam membantu menyembunyikan seseorang, menulis nama di catatan palsu, menyelundupkan rekaman suara, dan sebagainya. Film ini menunjukkan bahwa perjuangan sering kali tidak heroik, melainkan melelahkan dan membutuhkan kedisiplinan.

Meski diwarnai intrik politik, film ini juga dipenuhi rasa humor dan absurditas. Seekor kucing berkepala dua muncul tanpa penjelasan; sebuah kaki manusia ditemukan di hiu; dan penggambaran hantu-hantu lokal dari legenda urban di Brasil. Semua ini membuat The Secret Agent di beberapa titik terasa seperti mimpi yang kamu dapatkan saat demam tinggi.Di pengujung film, seorang peneliti menyerahkan flashdisk berisi data masa lalu kepada anak Armando. Wajah sang anak berubah pucat, seperti sedang menolak warisan yang berat. Momen ini menyakitkan justru karena sederhana. Trauma generasi tidak hilang; ia hanya berpindah tangan, dari ayah ke anak, dari masa lalu ke masa kini.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.