December 7, 2025
Issues Politics & Society

Polwan: Peran Utama di Kampanye Citra, Figuran di Institusi Kepolisian 

Polwan sering dimunculkan untuk menampilkan sisi ramah kepolisian, namun strategi itu dinilai sekadar lipstik yang menutupi krisis kepercayaan publik.

  • October 24, 2025
  • 4 min read
  • 558 Views
Polwan: Peran Utama di Kampanye Citra, Figuran di Institusi Kepolisian 

Setelah kematian Affan yang memicu gelombang kritik terhadap aparat, kepolisian tampak berupaya memulihkan kepercayaan publik lewat berbagai cara. Salah satunya, dengan menonjolkan sosok Polisi Wanita (Polwan) di media sosial. 

Dalam sejumlah unggahan di Instagram, Polwan tampak membagikan makanan gratis, mengatur lalu lintas sambil tersenyum, hingga menenangkan massa aksi. Di akun @Tni.Polri1 misalnya, hingga 21 Oktober tercatat puluhan video dengan judul serupa: Polwan Cantik. Narasi yang dibangun pun senada—menampilkan sisi lembut dan humanis dari institusi kepolisian. 

Namun, strategi itu justru memunculkan kritik. Publik menilai langkah tersebut hanya memoles permukaan, tanpa menyentuh akar masalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Tagar #CopotKapolri kembali menggema di media sosial, menyoroti beragam kasus: dari kekerasan aparat, manipulasi hukum, hingga praktik suap dan pungli yang tak kunjung tuntas. 

Baca Juga: Ironi di 40 Hari Kematian Affan: Polisi Bebas, Ratusan Demonstran Masih Ditahan

Tubuh Perempuan di Balik Strategi Citra 

Penulis Okky Madasari menilai, kemunculan Polwan dalam kampanye citra hanyalah bentuk baru objektifikasi terhadap perempuan

“Karenanya, wanita selalu dijadikan alat untuk memoles wajah kekuasaan. Ketika kepolisian kehilangan kepercayaan publik, mereka tampilkan sosok ‘polwan cantik dan ramah’ untuk membungkus kekerasan dan arogansi, yang melekat pada institusi kepolisian,” ujarnya kepada Magdalene

Menurut Okky, cara ini bukan penghargaan terhadap perempuan, melainkan bentuk subordinasi. “Wanita dijadikan alat legitimasi, bukan subjek yang berdaya. Ketika institusi yang sering melakukan kekerasan terhadap perempuan menjadikan perempuan sebagai alat citra, ini cara memanipulasi publik,” katanya. 

Ia menambahkan, Polwan seolah hanya dimunculkan di permukaan untuk menutupi struktur dan kepemimpinan Polri yang masih sangat patriarkis. 

Penelitian Citra Kepolisian dan Penampilan Polisi Wanita di Media (2015) oleh Yugih Setyanto dari Universitas Tarumanagara juga mencatat pola serupa. Kepolisian disebut kerap menempatkan Polwan layaknya Sales Promotion Girls (SPG) untuk menarik simpati publik agar polisi tampak lebih humanis. Menurut Yugih, perbaikan citra sejatinya hanya bisa dibangun lewat profesionalisme dan kinerja yang nyata. 

“Parasnya ditonjolkan, tapi fungsi dan perannya dipersempit,” kata Okky. 

Baca Juga: Bagi-bagi Helm dan Bansos ke Ojol ala Polisi, Taktik Basi Poles Citra?

Minim Kesempatan Jabatan Strategis bagi Polwan 

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, D. Nicky Fahrizal, menilai strategi menampilkan Polwan di garis depan hanya bersifat simbolik. “Strategi ini mungkin efektif meredam emosi sesaat, tapi tidak menyentuh akar persoalan,” ujarnya. 

Ia menekankan, kemampuan meredam ketegangan di lapangan seharusnya dimiliki semua personel, bukan hanya Polwan. “Menonjolkan Polwan di media sosial tanpa memberi mereka peran signifikan sama saja mengobjektifikasi tubuh perempuan,” katanya. 

Menurut Nicky, pembenahan seharusnya dilakukan lewat pemberian ruang strategis bagi Polwan. Mereka harus ditempatkan di posisi penting dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar wajah lembut di garda depan. 

Pandangan serupa juga disampaikan Kepala Laboratorium Indonesia 2045, Jaleswari Pramodhawardani. Dalam tulisannya memperingati HUT Polwan ke-77, ia menilai Polwan perlu diberi kesempatan bertugas di unit operasional yang selama ini dianggap dominasi laki-laki. “Polwan harus diberi kesempatan untuk bertugas di unit-unit seperti reserse, intelijen, dan detasemen khusus,” tulisnya. 

Hingga kini, dari 36 Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) di Indonesia, belum ada satu pun yang dijabat perempuan. “Dalam jangka panjang, kepemimpinan wanita perlu mendapat ruang di jabatan struktural dan strategis, agar reformasi kultural dalam tubuh Polri dapat benar-benar berjalan dan menghasilkan kepolisian yang inklusif, profesional, dan humanis,” kata Nicky. 

Ia menambahkan, reformasi Polri harus dimulai dari perubahan struktural, instrumental, dan kultural—termasuk menata ulang fungsi Polwan agar bukan sekadar simbol citra. “Saat ini wacana reformasi kepolisian mengalami stagnasi sejak peristiwa Affan, sehingga perlu dorongan dari masyarakat sipil. Masyarakat sipil harus menagih janji komitmen Presiden Prabowo mereformasi kepolisian yang telah dibentuknya,” ujarnya. 

Baca Juga: Penculikan hingga Manipulasi Hukum: Praktik Kusut Polisi dalam Perburuan Aktivis

Dua tim reformasi kepolisian memang telah dibentuk, yakni Komite Reformasi Polisi di bawah Ahmad Dofiri dan Tim Transformasi Reformasi Polisi dipimpin Chrysnanda Dwilaksana. Namun, langkah itu belum menjamin perubahan substansial. 

Bagi Okky Madasari, reformasi sejati baru akan terjadi ketika nilai-nilai kemanusiaan ditanamkan dalam pendidikan polisi dan pelanggaran anggota diadili secara terbuka. “Nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan gender harus ditanamkan di sekolah-sekolah polisi, agar Polwan tidak terus dijadikan alat pencitraan,” ujarnya. 

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.