3 Cara Setop Normalisasi Perundungan di Sekolah
Kasus dugaan perundungan yang dialami mendiang Timothy Anuegrah Saputra jadi sorotan. Masalahnya, Timothy bukan satu-satunya terduga korban perundungan di Indonesia. Studi nasional yang terbit pada 2019 menunjukan satu dari lima remaja di Indonesia pernah mengalami kekerasan di institusi pendidikan.
Dalam perspektif hukum, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 menjelaskan perundungan merupakan tindakan kekerasan fisik, verbal, seksual, dan psikis yang dilakukan secara berulang karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Namun, studi kami pada 2022 di lima provinsi di Indonesia (belum dipublikasikan) menunjukkan, kita tidak bisa hanya menempatkan perundungan sebagai masalah individu antara pelaku dan korban. Hukuman seperti mengeluarkan pelaku dari sekolah, bukanlah solusi. Apalagi jika kasus ini melibatkan anak.
Kita perlu melihat perundungan dari perspektif yang lebih luas. Perundungan merupakan masalah struktural mendalam yang melibatkan berbagai aktor dan faktor sistemik sekolah.
Terlebih, penelitian kami juga mengungkapkan perundungan di sekolah dianggap sebagai hal lumrah dan menjadi bagian dari budaya siswa. Tindakan mengejek teman berdasarkan fisik atau latar belakang keluarga kerap dianggap normal oleh siswa maupun guru pelaku.
Ini menegaskan perundungan tidak hanya terjadi karena agresivitas individu. Faktor lingkungan dan budaya sekolah yang terbentuk sejak lama turut berperan besar.
Literasi Cuma Langkah Awal
Banyak guru dan siswa tidak memahami definisi dan cakupan perundungan yang baik. Mayoritas menganggap perundungan sebatas kekerasan fisik dan verbal. Sementara bentuk perundungan lain seperti isolasi sosial dan kekerasan seksual sering diabaikan.
Program berskala besar ROOTS Indonesia yang dilakukan melalui kemitraan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan UNICEF tahun 2021-2022 untuk menangani dan mencegah perundungan di 1.800 sekolah dan berlanjut hingga 2024 menjangkau puluhan ribu sekolah jenjang SMP, SMA, SMK menunjukkan hasil positif (tidak dipublikasikan).
Program ini melibatkan siswa sebagai agen perubahan yang mempromosikan perilaku positif di sekolah. Siswa diajak untuk mengenali berbagai bentuk perundungan dan memahami peran mereka dalam mencegahnya. Hasil ini selaras dengan program sebelumnya di Indonesia pada 2015.
Meskipun program ini meningkatkan pengetahuan siswa dan guru tentang perundungan, hambatan struktural masih menjadi tantangan besar untuk mengubah perilaku yang ada. Banyak sekolah tidak memiliki sistem pelaporan dan rujukan perundungan yang efektif bagi siswa, seperti penuturan siswa SMP di Jawa Tengah berikut:
“Pernah luapin kayak gitu di depan gurunya, cuma gurunya kayak cuma ngeliat, ya sudah…enggak diurus gitu.”
Parahnya lagi, pihak guru masih enggan menganggap kasus perundungan secara serius. Mereka menormalisasi perundungan sebagai “dinamika pertemanan” yang wajar. Bahkan guru pun masih memiliki nilai yang pro terhadap kekerasan,
“Anak jika tidak diberi efek jera akan melakukan sesuatu yang lebih parah lagi. tidak ada ‘punishment’ seperti disuruh lari” (Guru SMP, Jawa Timur)
Libatkan Semua Elemen
Untuk menghentikan normalisasi perundungan, Indonesia membutuhkan solusi menyeluruh yang mencakup:
1. Penanaman nilai anti-perundungan sejak dini
Pendidikan tentang anti-perundungan harus dimulai sejak dini dengan menanamkan perilaku positif dan saling menghormati. Anak-anak perlu diajarkan tentang pentingnya empati, keterbukaan, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan sejak di bangku sekolah dasar.
Nilai-nilai ini tidak hanya diajarkan secara formal, tetapi juga harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di sekolah, baik dalam hubungan antarsiswa, maupun siswa – guru.
Telaah sistematis di Amerika Utara terhadap 10 intervensi anti perundungan di sekolah dasar menunjukkan pentingnya penanaman nilai akan bahaya dan dampak dari perundungan, perilaku agresif, dan viktimisasi.
2. Pelibatan seluruh insan sekolah
Pendekatan pencegahan perundungan yang efektif harus melibatkan seluruh insan dan komunitas sekolah, termasuk siswa, guru, staf, dan orang tua. Inilah yang disebut sebagai whole school approach atau pendekatan menyeluruh.
Setiap elemen sekolah perlu memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu perundungan, bagaimana mendeteksi dini perundungan, serta bagaimana mencegah serta menanganinya dengan mengedepankan perspektif hak anak.
Ini penting karena ketika ada pemahaman dan nilai yang sama mengenai kekerasan dan hak anak, intervensi yang dilakukan akan lebih mudah dilakukan tanpa penolakan dari berbagai elemen sekolah.
Guru dan staf sekolah harus dilatih untuk memahami berbagai bentuk perundungan, termasuk yang tidak selalu terlihat, seperti perundungan sosial atau daring (cyberbullying).
Selain itu, orang tua juga perlu lebih terlibat. Sebab, lingkungan keluarga seringkali memengaruhi perilaku anak di sekolah.
Program pelatihan bagi orang tua tentang pencegahan perundungan, disiplin positif, dan pentingnya membangun komunikasi yang baik dengan anak dapat melanjutkan pesan dari sekolah ke rumah.
3. Penerapan sistem pelaporan yang ramah anak
Salah satu masalah yang ditemukan dalam studi kami adalah kurangnya sistem pelaporan yang ramah anak di sekolah-sekolah. Siswa yang mengalami perundungan kerap merasa sia-sia jika melapor.
Oleh karena itu, sekolah perlu membangun sistem pelaporan yang jelas dan mudah diakses oleh siswa. Sistem ini harus memberikan jaminan keamanan dan kerahasiaan bagi siswa yang melapor.
Selain itu, sekolah harus memiliki mekanisme yang terstandardisasi dalam menangani laporan perundungan, sehingga setiap kasus dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Ini termasuk penyediaan layanan yang dibutuhkan siswa, seperti konseling bagi siswa yang dirundung dan konsekuensi yang logis dan mendidik bagi perundung.
Melalui penerapan nilai-nilai anti-perundungan sejak dini, pendekatan yang melibatkan seluruh komunitas sekolah, dan sistem rujukan yang ramah anak, kita dapat membangun lingkungan sekolah yang aman dan mendukung perkembangan siswa secara maksimal.
Perundungan berdampak bagi korban dan pelaku tidak hanya dalam jangka pendek, tapi juga dalam jangka panjang. Tak hanya anak akan mengalami gangguan dalam perkembangan psikis hingga performa akademis, konsep diri hingga kemampuan membangun hubungan interpersonal dan sosial mereka juga akan terganggu.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk melihat masalah perundungan sebagai masalah sistemik dan struktural, bukan sekadar permasalahan pergaulan antar-anak.
Artikel ini juga mendapatkan saran dan masukan dari Nurul Fitriani dari Asosiasi Kesehatan Remaja Indonesia dan Pritta Novia Lora Damanik, konsultan kebijakan pendidikan. Tim penulis mengucapkan terima kasih atas kontribusi pemikiran yang diberikan.
Rinaldi Ridwan, Research fellow, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ; Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, Dosen, Universitas Negeri Jakarta, dan Pradytia Putri Pertiwi, Lecturer, Universitas Gadjah Mada.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
















