Solusi Hindari Drama Mertua-Menantu, POV Orang Tua Lansia
Mau tinggal di mana kita saat tua nanti?
Kehidupan masa tua kini makin relevan untuk didiskusikan oleh kaum muda, karena berkaitan dengan persiapan diri, terutama secara finansial.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menunjukkan sekitar 70 persen lansia tinggal bersama keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar. Pendapat pakar pun menyebutkan bahwa mayoritas lansia masih tinggal bersama anak dalam rumah tangga multigenerasi.
Menariknya, banyak dari mereka tinggal di rumah milik sendiri. Artinya, mereka tetap jadi pemilik rumah dalam keluarga multigenerasi. Bahkan, sekitar 54 persen lansia masih berperan sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga.
Kondisi ini membuat mereka tetap rentan menghadapi tekanan ekonomi dan psikologis, meskipun angka harapan hidup meningkat dari 70 tahun (2015) menjadi 72 tahun (2024).
Dari 2023 sampai 2024 lalu, saya melakukan penelitian kualitatif sebagai bagian dari riset Doktoral di The University of Queensland, Australia.
Saya mewawancara 20 lansia yang telah berusia 60 tahun ke atas serta 30 anak dewasa berusia minimal 21 tahun. Mereka terlibat dalam rumah tangga multigenerasi (naskah publikasi saat ini sedang dalam proses review di Journal of Cross-Cultural Gerontology)
Secara umum, penelitian ini menemukan bahwa makin banyak lansia yang memilih untuk tinggal terpisah dari keluarganya, termasuk anak dan menantunya, guna menghindari konflik. Yang terpenting bagi mereka adalah tetap menjalin relasi sosial.
Artinya, pengaturan tempat tinggal lansia tidak hanya didasarkan pada norma sosial dan ekspektasi personal mereka, tapi juga situasi nyata, dinamika relasi antaranggota keluarga, dan situasi finansial.
Tinggal Bersama Anak: Rentan Drama Mertua-Menantu
Orang tua yang menjadi partisipan dalam penelitian saya berharap anak yang sudah bekerja dapat membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sementara mereka menyediakan tempat tinggal.

Hal ini wajar karena pemasukan lansia cenderung terbatas, sedangkan anak memiliki penghasilan rutin. Di sisi lain, banyak lansia juga mengizinkan anak dewasa tinggal bersama mereka tanpa batas waktu tertentu.
Namun, ada satu hal yang sering menjadi pertimbangan: hubungan dengan menantu.
Relasi antara mertua, khususnya ibu, dan menantu perempuan kerap lebih rawan konflik. Salah seorang lansia perempuan berusia 71 tahun yang berpartisipasi dalam penelitian mengatakan:
“Iya, kalau anak sama ibu sendiri mungkin mudah komunikasi. Jadi bisa sangat jalan diskusinya. Cuma hal ini akan berbeda dengan mertua dan menantu. Ada tenggang rasa dan upaya menahan diri. Tapi lama-lama bisa meluap. Jadi sulit rasanya kalau tinggal bersama.”
Beberapa lansia mengaku lebih memilih hidup terpisah jika potensi konflik tinggi, agar anak laki-laki mereka tidak berada di posisi sulit.
Pertimbangan serupa juga dimiliki oleh anak dewasa yang memilih tinggal bersama orang tua. Mereka biasanya memastikan pasangan mereka bisa membangun hubungan yang baik dengan mertua yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Relasi dengan menantunya yang dia juga pertimbangkan mungkin. Karena sudah usia tua, takut nanti ada hal yang susah untuk diterima oleh menantu perempuannya.” _(partisipan perempuan, 27 tahun)
Dari wawancara dengan 30 anak menikah yang tinggal di rumah orang tua, terlihat bahwa anak perempuan lebih sering menetap bersama orang tuanya dibandingkan anak laki-laki.
Alasannya, urusan rumah tangga antara mertua dan menantu perempuan lebih banyak bersinggungan, sehingga lebih rentan konflik. Temuan ini sejalan dengan studi sebelumnya pada 2018 yang menyebutkan hubungan mertua-menantu perempuan memang cenderung lebih kompleks.
Para lansia yang saya wawancarai tersebut menekankan bahwa tinggal bersama anak tidak boleh dipaksakan. Keputusan tinggal bersama sebaiknya didasari kesiapan menerima kebiasaan anak dan menantu.
Bagi mereka, bakti anak tidak dapat diukur dari tinggal serumah, melainkan dari kualitas komunikasi rutin dan terbuka.
Relasi Sosial untuk Jaga Kualitas Hidup
Selain dengan anak, relasi sosial di luar keluarga inti juga penting. Jalinan dengan teman sebaya dan komunitas lokal membantu lansia mempertahankan kualitas hidup. Dukungan sosial membuat mereka merasa tetap berarti dan tidak sendirian.
Keikutsertaan dalam kegiatan lingkungan, seperti pengajian, posyandu lansia, atau arisan, bisa menjadi pelindung dari kesepian dan depresi.
Dengan kata lain, kualitas hidup lansia sebetulnya lebih ditentukan oleh jejaring sosial yang memberi rasa dihargai dan didukung, bukan semata-mata tempat mereka tinggal.
Panti Wreda Swasta Jadi Opsi
Empat dari 20 lansia yang diwawancarai dalam studi ini juga mulai memandang panti wreda secara lebih positif. Menurut mereka, banyak panti swasta kini menawarkan fasilitas yang layak: Perawatan kesehatan (termasuk fisioterapi), bimbingan rohani, aktivitas sosial, bahkan ruang pribadi untuk menjaga kemandirian.
Mereka juga menilai tinggal di panti bisa membantu mereka tetap mandiri, yang penting bagi kesejahteraan psikologis.
Masalahnya, biaya panti berkualitas relatif tinggi, yaitu sekitar Rp10-30 juta per bulan di area Jabodetabek, sehingga hanya bisa diakses kalangan menengah ke atas.
Tantangan Panti Pemerintah
Pemerintah masih berusaha memperbaiki layanan panti sosial lansia. Kendala yang sering muncul adalah ketidakseimbangan antara kapasitas tampung dan ketersediaan tenaga ahli.

Banyak panti menampung ratusan lansia, tapi tidak diiringi tenaga perawat yang memadai. Akibatnya, pelayanan lansia menjadi tidak optimal.
Selain itu, meski panti memberi kesempatan bersosialisasi dengan teman sebaya, ini tidak selalu cukup mencegah rasa kesepian dan depresi akibat perubahan hidup yang drastis. Apalagi, banyak lansia di panti pemerintah datang dalam kondisi sudah diterlantarkan keluarga, sehingga sudah merasa terbuang sejak awal.
Pilihan tinggal di masa tua bukan sekadar soal di rumah bersama anak, mandiri, atau di panti. Bagi lansia, yang terpenting adalah tetap merasa dihargai, memiliki ruang untuk mandiri, dan memiliki jaringan sosial yang mendukung.
Dukungan keluarga, lingkungan, dan kebijakan pemerintah yang responsif akan sangat menentukan apakah masa tua dapat dijalani dengan bermartabat dan sejahtera.
Lathifah Hanum, Lecturer at Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Universitas Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
















