December 7, 2025
Issues Opini Politics & Society

Menulis Halus Tegak Bersambung: Usaha Lain Prabowo Hidupkan Nostalgia Orba 

Kembalinya wacana menulis halus tegak bersambung bukan cuma nostalgia masa kecil. Ia membuka kembali ingatan tentang bagaimana tubuh, pernah dijadikan proyek kedisiplinan oleh negara.

  • October 30, 2025
  • 4 min read
  • 531 Views
Menulis Halus Tegak Bersambung: Usaha Lain Prabowo Hidupkan Nostalgia Orba 

Sebagai generasi cohort 1990-an, saya masih ingat masa sekolah dasar (SD) ketika pelajaran menulis halus huruf tegak bersambung jadi semacam ritual harian. Setiap lekuk huruf harus sempurna, pun garis miring mesti di sudut yang tepat. Di balik latihan yang tampak sederhana itu, selalu tersimpan ketegangan: Takut pada nilai merah, guru yang memeriksa buku satu per satu, dan pada label “anak rajin” yang cuma diberikan kepada mereka yang tulisannya rapi. 

Kini, ketika Presiden Prabowo Subianto menyerukan agar pelajaran menulis tangan kembali diterapkan di sekolah-sekolah, nostalgia itu kembali dihidupkan. Saya merasa deja vu. Dalam kunjungannya ke sejumlah sekolah, Prabowo mengaku prihatin melihat banyak siswa menulis dengan huruf sangat kecil. Konon untuk menghemat kertas karena keterbatasan biaya, lapor Tirto.id.  

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Dear Prabowo-Gibran, Ekonomi Kami Tak Tumbuh Seperti Katamu

Ia lantas ngide meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah meninjau kembali pengajaran menulis, termasuk menulis dengan baik, menulis halus. Ia juga menyinggung kesehatan mata dan menyarankan agar anak-anak menulis dengan huruf besar dan jelas. 

Sekilas, seruan ini terdengar harmless dan bahkan penuh niat baik. Namun jika ditelusuri lebih jauh, kebijakan semacam ini tak bisa dilepaskan dari jejak panjang Orde Baru dalam membentuk tubuh dan pikiran warga negara. 

Di masa Orde Baru, terutama antara 1970–1990-an, pelajaran menulis halus bukan sekadar latihan tangan. Ia bagian dari proyek besar pembentukan warga yang tertib dan patuh. Tulisan rapi, seragam, dan indah dianggap cermin moralitas. Anak dengan tulisan acak-acakan sering dicap malas atau nakal. Di ruang kelas, tubuh anak diatur: duduk tegak, menulis dalam garis, tak bersuara, tak boleh salah. 

Filsuf Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menyebut cara semacam ini sebagai pembentukan “tubuh-tubuh yang patuh” (docile bodies). Disiplin, katanya, bekerja lewat kebiasaan kecil yang diulang terus-menerus—duduk lurus, menulis dengan benar, melangkah seragam—hingga kepatuhan terasa alamiah, bukan paksaan. 

Dalam kerangka ini, menulis halus adalah bentuk politik tubuh. Ia cara negara menanamkan logika keteraturan dan keseragaman ke dalam tubuh anak. Dengan huruf-huruf yang rapi dan sama, mereka belajar bahwa yang ideal adalah kerapian, bukan keberagaman. 

Setiyawan dalam Reproduksi Kekerasan Sejak Belia: Kurikulum Pendidikan di SD dan SMA pada Masa Orde Baru (2025) menjelaskan, pendidikan masa itu memang dirancang untuk mencetak warga yang disiplin dan berkarakter pembangunan. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang pembentukan tubuh dan pikiran sesuai ideologi negara. 

Maka ketika seorang presiden berlatar militer kembali menggaungkan pentingnya menulis halus, sulit untuk tak membaca ini sebagai kebangkitan memori lama: Hasrat menertibkan tubuh, menormalkan pikiran, dan mengembalikan masa ketika keteraturan dianggap bentuk tertinggi dari moralitas. 

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Agenda Perempuan (Masih) Tak Masuk Prioritas Negara

Romantisisme Sekolah Lama dan Politik Gender di Baliknya 

Di era digital, anak-anak menulis cepat di ponsel dan laptop, mencipta narasi sendiri di media sosial. Tulisan mereka spontan, bebas, kadang berantakan, tapi jujur. Bagi sebagian pihak, kebebasan ini terasa berlebihan, maka muncul dorongan untuk “mengembalikan” mereka pada bentuk lama: Tulisan tangan, buku bergaris, aturan rapi. 

Namun, seperti diingatkan Sara Ahmed dalam The Cultural Politics of Emotion (2004), nostalgia sering menjadi alat ideologis untuk memulihkan rasa kontrol. Saat dunia berubah terlalu cepat, kita mencari kenyamanan pada hal-hal yang tampak stabil. Dalam konteks ini, “menulis halus” bukan sekadar keterampilan klasik; ia simbol masa ketika negara punya kendali penuh atas ruang belajar dan cara berpikir warganya. 

Yang jarang dibahas, pelajaran menulis halus juga sarat nilai gender. Di masa lalu, tulisan rapi identik dengan anak perempuan: lembut, sabar, dan indah. Sementara tulisan acak sering dimaafkan jika pelakunya laki-laki, karena dianggap tegas dan efisien. Tulisan menjadi cermin moralitas, dan dari sana, stereotip gender terus direproduksi. 

Jika kebijakan “menulis halus” dihidupkan kembali tanpa refleksi kritis, kita berisiko mengulang cara lama menilai tubuh dan pikiran. Bahwa yang rapi itu baik, dan yang berantakan itu buruk. Padahal, kreativitas dan keberanian justru sering lahir dari ketidakteraturan. 

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Institusi Pendidikan Tertiup Angin Kekuasan

Pendidikan semestinya jadi ruang kebebasan, bukan ruang pengulangan disiplin masa lalu. Kita butuh generasi yang bukan hanya bisa menulis dengan halus, tapi juga berpikir dengan tajam. Buat saya, yang membuat bangsa ini maju bukan tulisan yang rapi melainkan pikiran yang berani. 

Uswah Sahal adalah jurnalis di Universitas Muhammadiyah Surabaya yang menaruh perhatian pada isu gender, sosial, dan lingkungan. 

About Author

Uswah Sahal

Uswah Sahal adalah peneliti di Universitas Muhammadiyah Surabaya.