December 7, 2025
Culture Events Issues

Program Impact Hadirkan Film ‘Planet of Love’ untuk Lawan Stigma Anak dengan HIV 

Program Impact hadir untuk menghapus stigma terhadap anak-anak dengan HIV dan mengajak publik membangun ruang pendidikan yang lebih manusiawi.

  • October 31, 2025
  • 3 min read
  • 1652 Views
Program Impact Hadirkan Film ‘Planet of Love’ untuk Lawan Stigma Anak dengan HIV 

Situasi kesehatan dan mental anak-anak dengan disabilitas kerap luput dari perhatian. Mereka hidup di antara kita, terlihat sehat, tapi membawa beban yang tak kasatmata. Mulai dari gangguan kecemasan, depresi, hingga Human Immunodeficiency Virus (HIV). Dalam sistem pendidikan, anak-anak dengan kondisi seperti ini bahkan menghadapi stigma, tekanan sosial, juga kehilangan hak belajar yang paling dasar.  

Berangkat dari sinilah, program Impact lahir. Sebuah inisiatif yang berfokus pada anak-anak dengan disabilitas tak tampak. Pada (24/10), di Gedung A Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Impact diperkenalkan kepada publik lewat acara “Pemutaran dan Pengenalan Program Impact.” Dalam acara itu, film menjadi kanal penghubung antara pengalaman dan kesadaran akan empati. 

“Melalui program ini, kami ingin membuka ruang inklusif bagi semua anak tanpa terkecuali,” ujar Putri Rakhmadhani, produser Impact. “Kami ingin membuat rintisan sekolah yang ramah bagi anak dengan HIV.” 

Baca juga: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga: Kerentanan Berlapis Transpuan Pekerja Seks dengan HIV 

Planet of Love: Tentang Luka, Cinta, dan Anak-anak yang Tak Dikenal Dunia 

Acara dibuka dengan pemutaran film dokumenter Planet of Love karya Ika Wulandari. Film ini lahir dari pengalaman personal Ika yang tumbuh di bawah bayang-bayang stigma keluarga dan rasa dikucilkan. Ketika ia bertemu anak-anak dengan HIV, Ika melihat dirinya sendiri—anak yang menanggung luka sosial orang dewasa. 

“Seperti Okta, karakter utama dalam film ini, saya dulu juga dibesarkan oleh nenek. Jadi ada rasa familiar ketika saya mengikuti mereka,” tutur Ika kepada Magdalene

Proses pembuatan film ini jauh dari gemerlap industri. Tanpa sponsor, Ika memulai syuting dengan kamera pinjaman dari sahabatnya, Fanny Chotimah. Ia lalu bergabung dengan program Asiadocs, yang membawanya pada dukungan teknis dari Forum Film Dokumenter untuk melanjutkan produksi. Hasilnya: dokumenter berdurasi 100 menit yang merekam kehidupan anak-anak dengan HIV di area pemakaman—tempat yang asing, tapi justru penuh kasih. 

Film ini menolak menjadi tontonan belas kasihan. Tak ada narasi yang memaksa penonton menangis, tak ada musik yang menggiring emosi. Justru dalam kesederhanaannya, Planet of Love menunjukkan anak-anak yang belajar, bermain, dan bermimpi seperti anak-anak lain—seolah berkata: kami bukan penyakit, kami manusia. 

Di situlah letak ironi paling dalam. Di tengah ketidakadilan dan stigma yang menindas, anak-anak itu tetap menemukan cara untuk tertawa. 

Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV dan AIDS Berjuang dengan Stigma 

Dare to Care: Saat Empati Tak Sekadar Kata 

Usai pemutaran film, para peserta diajak mengikuti sesi refleksi empatik bertajuk Dare to Care. Di ruangan yang sama, suasana berubah hening. Peserta berdiri membentuk lingkaran. 

Moderator membacakan pertanyaan satu per satu: “Pernahkah kamu ditinggalkan?” “Pernahkah kamu dikucilkan?” Setiap yang merasa pernah mengalaminya diminta melangkah mundur satu langkah. 

Perlahan jarak di antara mereka terbentuk. Sebuah jarak simbolik tentang bagaimana setiap orang memikul luka berbeda. Baru kemudian moderator mengungkapkan seluruh pertanyaan itu diambil dari pengalaman nyata anak-anak dengan HIV. Simulasi sederhana itu menjadi cara lembut namun efektif untuk menunjukkan ketimpangan kesempatan, juga jarak empati yang masih lebar di masyarakat. 

Kini melalui program Impact dan gerakan Dare to Care, pesan yang sama ingin diperluas. Bahwa empati bukan hanya perasaan, tapi tindakan. Planet of Love menjadi jembatan untuk memahami kemanusiaan dari sisi yang paling sunyi. Ia mengingatkan publik bahwa setiap anak, apapun kondisinya, berhak dicintai, bukan dikasihani; dirangkul, apalagi disisihkan. 

Ika Wulandari tidak pernah bermaksud menjadi aktivis. Ia hanya ingin dunia berhenti memalingkan wajah dari mereka yang paling sering dilupakan. Lewat Planet of Love, ia membuktikan empati bisa lahir dari kesunyian, dan cinta bisa tumbuh bahkan di tengah stigma paling keras. 

“Semoga Planet of Love juga bisa mengingatkan penonton bahwa kita semua ini dulunya adalah anak-anak juga,” pungkas Ika. 

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.