Yunus Prasetyo dan Yayasan Lentera: Rawat Anak-anak dengan HIV di Tengah Abainya Negara
Setiap orang punya cara mencintai hidup. Buat Yunus Prasetyo, cinta lahir dari keberanian untuk memeluk mereka yang paling dijauhkan dunia, yakni anak-anak dengan HIV. Merawat mereka bukan pekerjaan sosial semata, tapi panggilan hati untuk menjaga kemanusiaan di tengah stigma.
Perjalanan itu bermula pada 2013, ketika Yunus bekerja di lembaga swadaya masyarakat Yayasan Mitra Alam, yang mendampingi kelompok rentan seperti pengguna narkoba, pekerja seks, dan orang dengan HIV. Suatu hari, sebuah rumah sakit (RS) menghubunginya. Kata petugas RS, ada anak kecil dengan HIV yang baru kehilangan ibu, dan tak ada satu pun keluarga yang mau menjemput.
“Anak itu akhirnya kami bawa pulang. Kami bayarkan biaya perawatannya, lalu bergantian menjaga,” kenang Yunus.
Baca juga: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga: Kerentanan Berlapis Transpuan Pekerja Seks dengan HIV
Namun rutinitas kerja membuat mereka kewalahan. Mereka pun mencari pengasuh dan tempat kos sementara. Tak lama, satu per satu kasus serupa datang.
Bersama dua rekannya, Puger Mulyono dan Kevas Jibrael Lumatefa, Yunus memutuskan untuk mendirikan Yayasan Lentera. Sejak berdiri, Lentera telah merawat hampir seratus anak, dan kini menampung 37 anak. Semuanya dengan satu prinsip, setiap anak berhak dicintai dan diterima.
Bagi anak-anak Lentera, rumah tidak selalu berarti bangunan besar di tengah kota. Bagi mereka, rumah adalah tempat di mana bisa merasa aman, diterima, dan punya keluarga.
Dulu, rumah itu berdiri di area Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jurug, Surakarta, sebidang tanah milik pemerintah yang tak lagi digunakan.
“Lokasi itu tidak manusiawi sebetulnya,” kata Yunus Prasetyo, pendiri Yayasan Lentera. “Tapi saya mencoba melihat sisi positifnya. Tempatnya luas, rindang, anak-anak bisa main.”
Kini, Lentera menempati bangunan bekas sekolah dasar di Purwodiningratan, Jebres. Ruang kelas yang dulu kosong disulap menjadi kamar tidur, ruang belajar, dan dapur sederhana. Di situlah anak-anak belajar dan menutup hari bersama.
“Kalau saya konsepnya konsep keluarga memang, tidak seperti panti pada umumnya,” ujar Yunus. Karena itu, aturan di Lentera dibuat sesederhana mungkin agar anak-anak tumbuh seperti di rumah sendiri, bukan di bawah kontrol lembaga.
Di balik kesederhanaannya, Lentera juga menjadi ruang belajar tentang empati. Yunus mengaku tak pernah punya buku panduan dalam merawat anak-anak dengan HIV; semua dijalani dengan naluri dan pengalaman.
“Mereka itu kan orang yang paling rekoso (susah), tapi bisa bangkit kembali ketika ada orang yang mendukung,” tuturnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Yunus tak hanya mengandalkan donasi. Ia membuka warung mi kecil di malam hari. Hasilnya digunakan membeli beras dan kebutuhan harian anak-anak.
“Selama masih bisa masak dan kerja, Lentera akan terus hidup,” katanya.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV dan AIDS Berjuang dengan Stigma
Lentera yang Terus Menyala
Perjalanan Lentera jauh dari mudah. Di setiap tempat yang mereka singgahi, penolakan hampir selalu datang lebih dulu daripada dukungan. Di Kedung Lumbu, warga pernah berdemo menolak keberadaan mereka setelah tahu anak-anak di sana hidup dengan HIV.
Salah satu penolakan datang dari sekolah. Pada 2015, keberatan dari orang tua murid membuat 14 anak Lentera terpaksa berhenti sekolah.
“Waktu itu kami cuma bisa diam. Saya pikir, kalau mereka tak mau menerima, ya biar kami ajari sendiri di rumah,” ucap Yunus.
Saat Lentera akhirnya menempati bangunan baru, situasinya tak banyak berubah. Kabar cepat menyebar, warga kembali resah. Ada yang meminta agar bangunan itu dipagari tinggi, ada pula yang melarang anak-anak Lentera bermain di sekitar kampung.
Namun Yunus memilih bertahan. Ia percaya perubahan sosial tak lahir dari amarah, tapi dari keteguhan untuk terus membuka pintu. Bagi Yunus, Lentera bukan sekadar rumah. Ia menjadi simbol kecil perlawanan terhadap stigma, sekaligus pengingat anak-anak dengan HIV bukan ancaman, melainkan bagian dari masyarakat yang sama.
Penolakan yang mereka hadapi mencerminkan kesalahpahaman yang masih kuat di masyarakat. Penelitian Gcina Kheswa dari University of South Africa, Exploring HIV and AIDS Stigmatisation: Children’s Perspectives, menunjukkan stigma terhadap anak-anak dengan HIV sering lahir dari ketidaktahuan publik. Banyak orang masih percaya HIV menular lewat pelukan, sentuhan, atau berbagi ruang.
“Stigma itu masih kuat sekali. Orang masih takut, padahal HIV tidak menular lewat sentuhan atau kontak sosial,” tutur Yunus.
Sejak 2018, Lentera mendapat satu donatur tetap yang membantu setiap bulan. Sementara bantuan lain datang secara spontan, dalam bentuk pakaian, makanan, hingga biaya sekolah. Yunus menyebut mereka “orang baik” yang mungkin tak bisa merawat langsung, tapi tetap memilih untuk peduli.
Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?
Bertahan Saat Negara Memalingkan Wajah
Setelah lebih dari satu dekade berjalan, Lentera masih berdiri. Namun bagi Yunus, perjuangan belum selesai. Ia menyoroti lemahnya dukungan negara terhadap pemenuhan hak anak-anak dengan HIV.
“Dalam UUD itu kan tertulis bahwa anak-anak terlantar wajib dipelihara oleh negara. Tapi bagaimana mau memelihara, wong pantinya saja negara tidak punya,” katanya.
Menurut Yunus, lembaga seperti Lentera seharusnya tidak dibiarkan berjalan sendirian. Pemerintah perlu hadir, bukan hanya lewat kebijakan di atas kertas, tapi lewat pendampingan dan keberpihakan nyata.
“Kami ini berjalan dengan segala keterbatasan, tapi kami melakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara,” ujarnya.
Meski begitu, Yunus tidak menyimpan amarah. Ia hanya berharap Lentera bisa menjadi contoh kecil bahwa kasih sayang masih mungkin tumbuh di tengah stigma dan keterbatasan.
“Saya tidak minta semua orang seperti kami. Tapi tolong, bantu sesuai kemampuan. Jangan takut, jangan berlebihan menghadapi anak-anak ini. Mereka tidak berbahaya, mereka hanya ingin diterima.”
Bagi Yunus, Lentera bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang di mana kemanusiaan dijaga agar tidak padam. Di sana, setiap tawa, pelukan, dan kehangatan menjadi pengingat bahwa terang bisa tetap menyala, bahkan di tengah gelap stigma yang menolak mati.
















