December 7, 2025
Environment Issues Politics & Society

Perampasan Pantai Sanglen: Ketika Pantai Tak Lagi Ramah Perempuan 

Di balik polemik proyek Obelix Beach di Pantai Sanglen, ada perampasan ruang hidup dan penghilangan peran perempuan sebagai pencari nafkah dan penyangga keluarga.

  • November 6, 2025
  • 5 min read
  • 1184 Views
Perampasan Pantai Sanglen: Ketika Pantai Tak Lagi Ramah Perempuan 

Setiap pagi di Pantai Sanglen, Gunungkidul, Yogyakarta, seorang ibu menjalani rutinitas dengan menjemput anak dari sekolah, kemudian bergegas membuka warung di tepi pantai yang menjadi sumber nafkah keluarganya. Namun kini, di balik deburan ombak dan senyum ramah kepada pembeli, kekhawatiran mendalam menggerogoti pikirannya.

“Kalau pantai ini nanti dibangun Obelix, saya nggak tahu lagi harus kemana,” ujarnya, suaranya hampir tenggelam oleh desir angin laut.

Baca juga: Halo Aku ‘Sound Horeg’, Teror Kamu sampai Masa Depan

Pantai Sanglen adalah salah satu pantai di Kabupaten Gunungkidul yang ditargetkan menjadi lokasi investasi pariwisata. Secara geografis, pantai ini masuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungsewu bagian timur, sebuah kawasan pegunungan karst di Pulau Jawa yang seharusnya dilindungi karena keunikannya. Kini, surga terakhir milik rakyat itu terancam tergantikan oleh proyek Resort Obelix Beach milik PT Biru Bianti Indonesia.

Sejak awal, rencana pembangunan resor itu menimbulkan kontroversi. Pada pertengahan 2022, PT Biru dan pemerintah setempat tiba-tiba meminta kepada para pedagang untuk segera membongkar warung dan meninggalkan Pantai Sanglen, seraya memberikan ganti rugi. Tak lama kemudian, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengeluarkan Serat Palilah (izin pemanfaatan tanah) pada akhir Juni 2022 sebagai dasar pembangunan. Namun, pembangunan ini belum dilengkapi izin operasional maupun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), menurut laporan Radar Jogja (2025). Proyek kemudian hanya berjalan selama satu tahun karena masa berlaku Serat Palilah habis.

Pada awal 2024, warga kembali masuk ke Pantai Sanglen untuk berdagang dan merebut kembali ruang hidup mereka yang dirampas korporasi. Namun, aparat pemerintah dan keamanan menekan mereka  untuk meninggalkan pantai dengan alasan “tidak berhak” dan stasus usaha mereka “ilegal” karena tanah tersebut milik Keraton (Sultan Ground). Tekanan terus berlanjut hingga mencapai puncaknya dengan penutupan Pantai Sanglen oleh Keraton pada Juli 2024.

Di bawah ancaman, para pedagang dengan berani membuka akses dan berjualan kembali di Pantai Sanglen pada Lebaran 2025. Meski pada Juli 2025 mereka kembali mengalami teror berupa pengrusakan warung hingga surat ancaman dari orang tak dikenal, warga tetap bersikeras mempertahankan usaha mereka di Pantai Sanglen.

Baca juga: Gara-gara Tambang, Tak Ada Lagi Jawa di Masa Depan

Proyek pembangunan yang merampas ruang hidup perempuan

Perampasan Pantai Sanglen sebagai ruang hidup berdampak khusus pada pedagang perempuan. Selama seminggu tinggal di Sanglen, saya mengamati bahwa lebih dari setengah warga yang mencari nafkah di sana adalah perempuan, baik sebagai pemilik warung maupun pekerja. Hampir semua pedagang perempuan juga sudah memiliki anak sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Artinya, selain mencari nafkah di Sanglen, mereka juga harus mengurus anak dan suami di rumah. Tidak jarang ibu-ibu ini membawa anak ketika berdagang.

Perampasan ruang hidup oleh investor dan Keraton menghilangkan sumber pendapatan para pedagang perempuan ini. Jika terpaksa meninggalkan Pantai Sanglen, mereka harus mencari pekerjaan lain. Masalahnya, tidak mudah bagi perempuan desa untuk mencari pekerjaan, apalagi jika ia adalah seorang ibu.

Salah satu kemungkinan adalah menjadi pekerja pada pengusaha di pantai lain. Solusi ini sudah diterapkan oleh “Bu Parti”, yang sejak Pantai Sanglen ditutup pada 2024 bekerja di Pantai Drini sebagai tukang masak.

Namun, solusi ini juga berpotensi terancam oleh proyek pembangunan lainnya. Menurut buku Profil Investasi Gunungkidul 2024‘, tidak sedikit pantai di Kabupaten Gunungkidul telah ditargetkan menjadi mega proyek pariwisata yang juga berpotensi berdampak ekologis secara luas. Padahal, mayoritas masyarakat pesisir Gunungkidul bergantung pada pariwisata karena akses air belum memadai untuk pertanian maupun peternakan.

Pedagang atau pengusaha pariwisata lokal akan kesulitan bersaing jika mega proyek dari investor menguasai tiap jengkal pantai di Gunungkidul. Jika tidak mampu bersaing, pilihan warga hanya merantau ke kota mencari pekerjaan.

Baca juga: Banjir Saat Pagerwesi dan Beban Adat Perempuan Bali

Berdasarkan Data Agregat Kependudukan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2024, mayoritas warga Gunungkidul merupakan tamatan sekolah dasar atau tidak bersekolah. Ini menunjukkan bahwa peluang warga untuk mencari pekerjaan di kota juga sama sulitnya sebab pendidikan formal kini menjadi syarat penting untuk melamar kerja di kota. Warga yang merantau justru berpotensi menjadi buruh kasar yang terjebak dalam ketimpangan ekonomi di kota.

Pembangunan yang menjanjikan lapangan kerja kerap menutup mata terhadap realitas lokal. Dalam sistem ekonomi yang menilai manusia berdasarkan nilai produktivitas formal, para perempuan yang sebelumnya berjualan di warung kecil dianggap tidak “efisien” atau “bernilai”. Padahal, kontribusi mereka terhadap ekonomi keluarga dan komunitas sangat signifikan.

Alhasil, pedagang perempuan Pantai Sanglen menghadapi risiko ‘pengiburumahtanggaan’, yakni proses di mana perempuan secara sosial didefinisikan sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada pendapatan suami, seperti dikutip Julia Suryakusuma dalam bukunya Ibuisme Negara (2011). Mengingat mega proyek pembangunan wisata nampaknya hampir menyeluruh di pesisir Gunungkidul, potensi pengiburumahtanggaan ini tidak hanya akan dialami pedagang perempuan Pantai Sanglen, tetapi juga pedagang perempuan di pantai-pantai lain.

Rencana pembangunan Obelix Beach tidak hanya merampas lahan, tapi juga merampas masa depan perempuan dan anak-anak di Sanglen. Sebab dampaknya bukan sekadar kehilangan tempat berjualan, melainkan hilangnya kesempatan untuk mandiri, untuk bertahan, dan untuk mempertahankan jati diri sebagai warga pesisir yang hidup dari dan untuk pantai.

Dari kasus ini kita belajar bahwa pembangunan tidak bisa hanya dilihat dari besarnya investasi atau menjulangnya bangunan. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang berhak menentukan masa depan ruang hidupnya sendiri.

Patricia Nerissa Krisna Putri adalah peneliti Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Law and Social Justice/LSJ) FH UGM.

About Author

Patricia Nerissa Krisna Putri