December 9, 2025
Lifestyle Opini

Sepotong Terasi dalam Harmoni Rumah Tangga

Di banyak rumah diaspora, sepotong terasi bisa memicu rindu, kompromi, bahkan negosiasi kecil tentang perbedaan. Dari Brussel sampai Sydney, aroma dapur menguji cara pasangan lintas budaya menjaga keseimbangan.

  • December 8, 2025
  • 5 min read
  • 280 Views
Sepotong Terasi dalam Harmoni Rumah Tangga

“Boro-boro terasi, ikan teri asin saja dikomplain sama meneer,” begitu isi pesan WhatsApp dari Dewi, sahabat dekat saya yang tinggal di Belgia. Saya tertawa membaca pesannya, karena kalimat itu begitu akrab di telinga diaspora seperti kami—orang Indonesia yang kini hidup bersama pasangan asing dan rindu aroma dapur kampung halaman. 

Sebagai orang Indonesia yang puluhan tahun tinggal di luar negeri, saya tetap sesekali ingin makan nasi hangat ditemani lalapan dan sambal terasi pedas. Namun rindu itu datang bersama kenyataan lain: Kami tidak tinggal di rumah sendiri melainkan hidup bersama seseorang dengan latar berbeda, dan di lingkungan dengan banyak aturan. 

Dewi tinggal di apartemen kecil di tengah Kota Brussel. Dapurnya mungil, ventilasinya minim, dan apartemennya punya larangan tegas soal memasak bahan berbau kuat. Bukan hanya terasi, aroma ikan asin pun sudah bikin suaminya protes sambil menutup hidung. Maka demi damai rumah tangga (dan ketenangan para tetangga), Dewi memilih tidak memasak terasi sama sekali. 

Saya membaca pesannya sambil lega sekaligus sedih. Lega karena saya tidak sendirian menghadapi ini, sedih karena rindu kuliner lama-lama seperti barang mewah. 

Baca juga: Makan Bersama dan Kebiasaan yang Kita Bawa ke Mana-Mana

Dapur Teras dan Seni Menyiasati Bau 

Ternyata pengalaman kami tidak unik. Diah, diaspora Indonesia di Italia, juga menghadapi dilema serupa. Di akun Instagramnya, @diahgiordano88, ia sering bercerita bagaimana ia rela membeli kompor portable hanya untuk bisa menggoreng terasi dan ikan asin… di teras rumah. 

Suaminya tidak tahan baunya. Mereka lalu membuat kesepakatan sederhana, yakni terasi hanya boleh dimasak saat suami tidak berada di rumah. Akibatnya, Diah sering menunggu momen langka ketika rumah kosong, lalu bergerak cepat seperti penyelundup yang sedang mengambil kesempatan. 

Semua itu dilakukan demi satu piring makanan yang aromanya bisa mengantarkan kita pulang ke kampung halaman. 

Bagi diaspora, kesulitan mengakses makanan bukan hanya soal bahan, tapi juga soal ruang. Apartemen di kota-kota mahal seperti Paris, London, Amsterdam, atau Brussel membuat kami harus patuh pada aturan yang bahkan terasa aneh. 

Ada apartemen di Singapura yang melarang penghuni memasak, hanya boleh menghangatkan makanan. Ada pula apartemen di Irlandia yang melarang memasak daging karena pemiliknya vegetarian. Kita hanya bisa geleng-geleng kepala. 

Jika sudah begitu, rindu makan masakan Indonesia harus diakali. Ada restoran Indonesia, tetapi rasanya sering kali berbeda. Biasanya karena rasa sudah disesuaikan dengan lidah lokal. Alhasil, diaspora mengandalkan masak sendiri. 

Contohnya Pinny Kennedy, diaspora Indonesia yang tinggal di Sydney. “Susah cari makanan Indo yang pas di lidah di Sydney, Mbak,” katanya kepada saya lewat WhatsApp. Ia akhirnya belajar memasak pastel lewat YouTube—makanan yang di Jakarta tinggal beli di warung dekat rumah. 

Di tanah rantau, dapur sering menjadi ruang paling personal untuk mempertahankan identitas. 

Baca juga: Bikin Oncom di Kanada: Hidupkan Kuliner Tradisional bagi Diaspora Indonesia

Food Shaming: Luka Kecil yang Kadang Tidak Terlihat 

Persoalan makanan sering kali dianggap remeh, padahal bisa menjadi sumber gesekan dalam rumah tangga lintas budaya. Terutama ketika menyangkut aroma, cara makan, atau jenis makanan. 

Misalnya, pasangan vegetarian sedangkan kita pemakan daging sejati, tidak nyaman melihat kita makan pakai tangan, atau tak tahan aroma terasi padahal itu makanan kesukaan kita. Dalam hubungan campuran, hal-hal kecil seperti ini bisa menjadi benturan jika tidak dibicarakan dengan baik. 

Makanan bukan hanya soal kenyang. Ia adalah simbol kenyamanan, identitas, dan ingatan masa kecil. Ketika makanan direndahkan, sering kali rasanya seperti jati diri kita ikut diserang. 

Fenomena ini disebut food shaming—menertawakan, meremehkan, atau mencemooh makanan orang lain. Banyak diaspora Indonesia pernah mengalami komentar seperti “your food stinks” atau “go back to your country” saat makan dengan tangan. 

Zohran Mamdani, Wali Kota New York berdarah India, pernah jadi sasaran komentar semacam ini setelah difoto sedang makan pakai tangan. 

Jika komentar itu datang dari orang asing di ruang publik, kita bisa marah lalu pergi. Namun kalau datang dari pasangan? Rasanya jauh lebih menyakitkan. 

Baca juga: Tentang Jodoh, Rindu, dan Bagaimana Aku Jadi Koki Dadakan

Gastrodiplomacy: Diplomasi Dapur untuk Rumah Tangga Campuran 

Makanan punya kekuatan menyatukan. Dalam diplomasi internasional, ada istilah gastrodiplomacy atau penggunaan makanan sebagai soft power untuk mencairkan ketegangan. Indonesia melakukannya dengan sangat cantik saat G20 di Bali. 

Prinsip ini bisa diterapkan juga di rumah. 

Di banyak perkawinan campuran, perbedaan budaya makan bukanlah masalah yang harus dihindari, tetapi ruang negosiasi. Makanan bisa menjadi jembatan, asal kedua pihak bersedia membuka diri. 

Dewi memilih jalan diplomasi: Ia memasak masakan negara lain untuk suaminya dan masakan Indonesia saat suaminya pergi. 

Saya sendiri punya versi diplomasi yang lebih sederhana. Sebagai orang Indonesia yang tumbuh dengan pepatah “tak ada rotan, akar pun jadi”, saya sering tertawa sendiri saat mengganti terasi dengan alternatif yang lebih “ramah hidung asing”. 

Tidak ada terasi? 

Anchovy pun jadi. 

Bukan karena saya meninggalkan budaya saya, tetapi karena kompromi kecil inilah yang menjaga harmoni rumah tangga lintas budaya. 

Pada akhirnya, dapur bukan hanya tempat memasak. Ia adalah ruang di mana dua dunia bertemu, bernegosiasi, dan saling mengenal. Kadang, sebuah kompromi kecil—sepotong terasi yang ditunda, atau pastel yang dibuat dari resep YouTube—cukup untuk membuat dua orang tetap berjalan berdampingan. 

Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.