72 Jam Tanpa Suara: Diamnya Pejabat Perburuk Penanganan Banjir Sumatera
23 Desember 2025 | Ting Jen Kuo & Sharon Wongosari
Selama 72 jam krusial pascabencana, sejumlah pejabat dan lembaga pemerintah nyaris tak bersuara di media sosialnya. Analisis ‘Magdalene’ menunjukkan keheningan ini berpotensi memperparah dampak banjir di Sumatera, terutama buat perempuan dan anak-anak.
“Sudah tiga hari saya kehilangan kontak dengan keluarga. Saya enggak bisa menghubungi mereka. Benar-benar enggak bisa,” ujar Khalida Zia dengan suara bergetar saat mengisahkan banjir yang melanda sebagian wilayah Sumatera.
Kepada Magdalene (2/12), ia menangis mengenang pengalamannya terdampak banjir. “Enggak ada sinyal sama sekali di sini. Enggak ada listrik. Semua gelap dan air ada di mana-mana. Lumpur, air, lumpur.”
Dini hari (26/11), air banjir mulai masuk ke desa-desa di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Tak terkecuali, rumah keluarga Khalida di Bireuen pun sudah terendam lumpur dan air. Gardu listrik roboh. Seluruh desa mendadak sunyi. Dari ibu kota Provinsi, Banda Aceh, Khalida hanya bisa menyaksikan bencana itu lewat laporan berita yang terputus-putus. Ia enggak yakin apakah orang tuanya masih hidup.
“Saya lalu sadar sejak hari pertama tidak bisa menghubungi mereka (orang tua), sedih banget rasanya,” katanya. “Informasi yang saya dapat pun hanya dari media.”
Tanpa pengetahuan yang memadai tentang situasi maupun arahan pihak berwenang, Khalida melakukan satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan.
“Saya sempat menginisiasi gerakan mengumpulkan bantuan melalui akun media sosial pribadi. Ternyata, bantuan ini menjadi satu-satunya yang tiba saat itu.”
Selengkapnya