Argo
Tubuhku bersiap-siap pada gigil yang sedari tadi bersembunyi di lekuk-lekuk jalan.

Malam sehabis badai, aku memutuskan untuk menemui kamu, orang yang tidak perlu kuingat namanya. Lewat jendela yang dibuka dan mobil yang merapat ke tepi jalan, kamu sempatkan berkata, “dua juta lima ratus lima puluh ribu”. Aku membuang nafas panjang. Aku membuka dompetku dan mengeluarkan enam pecahan seratus ribu rupiah edisi baru, dan kuserahkan padamu, “aku cuma bawa uang segini, sisanya aku transfer”.
Aku membuka pintu mobil dan duduk pada kursi yang entah diduduki oleh berapa perempuan lainnya. “Kali ini, untuk apa?”, kataku sambil menekan tombol- tombol pembayaran di telepon genggam. “Biasa, biaya sekolah anak,” jawabmu singkat Kamu mulai bercerita mengenai keluargamu, rencana perceraianmu dari tiga tahun lalu, anakmu yang mulai berlarian. Ceritamu seperti kaset kusut yang sudah usang.
Seharusnya aku membayar lebih untuk menyumpal mulutmu lebih lama lagi. Aku membesarkan suara radio yang sumbar, berharap bisa menenggelamkan kata-katamu.
Baca juga: Menertawakan Kesucian
“Aku hanya punya waktu sebentar, aku masih punya banyak pekerjaan,” keluhku, “Jadi sebaiknya kamu diam dan gunakan dirimu untuk hal-hal yang lebih penting.”
Malam itu, seperti malam-malam biasa, waktu bergegas ketika kita rasanya baru sejenak bertemu. Jarum takdir sudah tersenyum, detiknya berpacu dengan detak yang sudah tak berirama. Kamu membaca gerak resahku, geliatku terhenti meski rayu masih mendarat di tubuhku. Aku mendorong tubuhmu sembari tersenyum.
“Sudah aku transfer”, kataku sambil membenahi lipstik yang berantakan. Kamu tersenyum sambil mengecek saldo rekeningmu. Yang paling kusyukuri, dramamu telah usai. Aku memintamu memberhentikan mobil di penginapanku malam ini. Beruntungnya, kali ini penginapanku tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku mengacuhkan lambaian tanganmu dari balik jendela mobil.
Aku mengambil rokok dan mencari-cari korek api di dalam tas jinjing. Sial, tidak ketemu. Rupanya makin malam menjelang, makin remang jalan, makin bertambah kesialanku. Aku masih harus menjajakan cinta di jalan-jalan yang redup.
Aku bergegas masuk, menekan semua lantai tombol lift, menawar rasa bersalah, menakar waktu. Membeli alasan, menjual beberapa menit waktu yang terbuang, menunggu pintu satu persatu terbuka. Mengheningkan bicara.
Apakah semua manusia adalah hantu dari jiwa-jiwa yang resah?
Aku tidak pernah mau diusik saat aku tengah sibuk bekerja. Menyibukkan diri memoles dan merayu, bercumbu dan berpangku, berpangku dan melaju, melaju dan entah apa lagi. Aku tak peduli. Pekerjaan utamaku sebagai perempuan adalah berpura-pura bodoh. Laki-laki tidak menyukai perempuan yang pintar, katanya. Bahkan purnama enggan menyentuhku karena takut cahayanya meredup dalam bayanganku.
Pekerjaanku adalah mengumpulkan berbagai bentuk cinta, dari kerah putih hingga biru, yang berjalan tegap dalam ruang berpendingin. Yang merasa kekar dan sangar, namun menghamba meminta belas tatapku. Yang bersikap dingin dan angkuh, tapi sibuk mengelap jemari kakiku dengan bibirnya. Yang bertutur panjang dan lebar, namun tunduk pada ujung telunjukku. Yang sibuk nyinyir kesana kemari, namun tak henti mengharapkanku kembali. Juga yang lembut memintaku dengan janji-janji
manis yang sudah lapuk dimakan waktu.
Baca juga: Air Mata untuk Arcana
Untukmu, pekerjaan ini semudah berlibur, namun bagiku layaknya bekerja lembur. Aku tidak dibayar, aku membayar mereka! Pekerjaanku adalah membuang-buang uang untuk mereka. Sebagai ganti dari pesan mereka yang kebanyakan hanyalah sekadar kata-kata. Kalian juga tahu itu semua dusta, tapi mari kita pura-pura menutup mata. Perempuan harus pura-pura bodoh, kan?
“Sudah jam setengah dua, waktunya aku pulang,” aku mengeluh sendiri sembari melirik jam yang dari tadi terus tersenyum nyinyir kepadaku. “Punya korek?,” tanyaku. Laki-laki itu menggeleng sambil menatapku jijik. Korek api masih tidak dapat kutemukan, sementara batang rokok masih bertengger di sela bibirku. Aku berdecak menahan kesal. “Lain kali, bawa korek”, hardikku ketus sambil kembali menekan
tombol-tombol di telepon genggam. Malam itu, sungguh hanya seperti malam-malam biasa saat aku bertaruh dengan waktu yang lebih sering bermain curang. Tubuhku bersiap-siap pada gigil yang sedari tadi bersembunyi di lekuk-lekuk jalan.
Aku berjalan menuju lampu-lampu jalan dan lalu-lalang cahaya. Hari ini sungguh melelahkan. Aku hanya harus pulang. Aku tak bilang aku ingin pulang.
“Taksi!”, sahutku sambil melambaikan tangan ke arah mobil yang melintas.
Sopir taksi itu mengangkat tangannya, memohon maaf. Sepertinya ia juga diburu-buru waktu. Ternyata ada yang lebih menakutkan daripada manusia-manusia brengsek yang berburu cinta, yaitu waktu yang lajunya sungguh terlalu. Aku melirik high heels yang mulai melahap kakiku.
Kekesalanku digantikan dengan suara dering telepon. Dengan malas aku mengubek kembali tas yang berantakan. Belum sempat aku melirik telepon, sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di hadapanku. Dia turun dari mobilnya dan membukakan pintu. Aku berhenti dan mengecek dompet: benar-benar hanya tersisa beberapa pecahan mata uang asing dan deretan kartu.
Baca juga: Seperti Dinginnya Hujan
Dia hanya sempat mengecup keningku, mengusap kepalaku, kemudian menutup pintu. Dia berlari lari kecil ke arah bangku sopir dan merapikan kemejanya. Wangi parfum Dior Sauvage menyeruak dari balik lehernya. Ia menyetel musik pada volume minim, memastikan suaranya tidak memecahkan gendang telingaku. Aku sibuk menyimpan semua detail kecil raut wajahnya, alis dan bentuk matanya, serta bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di sekitarnya. Aku tak lagi sempat tertawa. Aku juga tidak perlu bertanya tentang siapa dia. Sihirku sudah hampir habis.
Bayangannya berlalu dengan cepat. Aku terkesiap, aku gugup belum sempat memungut sebagian pecahan kenanganku bersamanya, belum menyesap sisa-sisa wangi tubuhnya yang tetiba menguap dan memudar. Roda-roda mobil ini bergerak terlalu cepat. Mataku bersusah payah mencari keberadaannya. Aku belum sempat mencuri dekap hangatnya.
“Selamat malam, sayangku. Selamat datang. Selamat pulang”, kata laki-laki dari balik setir itu. Ia bertanya dengan lembut tanpa menoleh, “Bagaimana petualanganmu hari ini?”
“Hari ini aku akan menyalakan Argo”, katanya sambil menekan tombol di sebelah kiri setir.
Aku duduk terdiam, leherku tercekat. Ada rasa sakit yang mengiris tapi tak tahu entah. Satu-satunya yang nyata adalah angka-angka yang terus bergerak. Nominal yang saling berkejaran, kadang berlomba dengan hitungan waktu, atau hitungan jarak yang aku pun tak tahu.
Roda-roda berputar melebihi kecepatan yang seharusnya. Lampu-lampu sudah tidak lagi terlihat bentuknya. Kepalaku mulai pening seperti dihantam palu bertubi-tubi. Aku membuka sepatuku dan merebahkan diriku. Aku mengambil tas dan meletakkannya sebagai alas kepalaku. Sebelum menutup mataku, aku arahkan tubuhku ke arahnya dan berbisik, “Aku hanya ingin kita pulang, sayang.”