Issues

Pertumbuhan Ekonomi Meningkat, Tapi Tak Menambah Jumlah Pekerja Perempuan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat, tapi tidak menambah jumlah pekerja perempuan karena pembagian peran gender di rumah dan kesenjangan upah antargender.

Avatar
  • March 18, 2020
  • 4 min read
  • 325 Views
Pertumbuhan Ekonomi Meningkat, Tapi Tak Menambah Jumlah Pekerja Perempuan

Salah satu tantangan terbesar bagi tercapainya kesetaraan gender adalah jurang partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan. Di banyak negara, partisipasi perempuan di dunia kerja lebih kecil daripada laki-laki.

Di Indonesia, partisipasi pekerja perempuan stagnan pada angka 50 persen selama 30 tahun terakhir. Ini sedikit menjadi misteri mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dramatis selama kurun yang sama. Tingkat pendidikan bagi perempuan maupun anggaran kesehatan pun turut meningkat.

 

 

Di banyak negara, partisipasi perempuan di dunia kerja meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan level pendidikan. Di negara maju seperti Australia, misalnya, 62 persen perempuan berusia kerja memiliki pekerjaan. Negara berkembang seperti Cina, Kamboja, dan Thailand pun memiliki persentase di atas 60 persen.

Penting bagi perempuan untuk memiliki kesempatan bekerja jika mereka menghendakinya. Bekerja dapat membantu mengatasi permasalahan kesenjangan gender lainnya seperti kesenjangan pendapatan dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga.

Menurut estimasi terbaru oleh Badan Pusat Statistik (BPS), separuh populasi Indonesia tahun lalu atau lebih dari 130 juta jiwa adalah perempuan. Dengan demikian, adalah hal yang logis jika semakin banyak perempuan yang terlibat dalam pembangunan ekonomi. Estimasi yang sama juga memproyeksikan bahwa pada 2032 akan ada 149,19 juta perempuan dibandingkan 149,17 juta laki-laki. Ini pertama kalinya jumlah perempuan akan lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki di Indonesia.

Penelitian kami bertajuk “Partisipasi Pekerja Perempuan di Indonesia: Mengapa Stagnan?”, yang baru-baru ini diangkat oleh Melbourne Institute Research Insight, berupaya memahami mengapa tidak lebih banyak perempuan di Indonesia yang bekerja.

Baca juga: 6 Hambatan Bagi Perempuan Wirausaha di Indonesia

Apa yang membuat perempuan tidak bekerja?

Ada beberapa faktor yang membuat perempuan di Indonesia tidak bekerja. Salah satunya adalah urbanisasi yang mengakibatkan peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke manufaktur dan jasa. Pertanian adalah salah satu sumber pekerjaan terbesar bagi perempuan di Indonesia dan ini bermakna ada semakin sedikit pekerjaan yang tersedia bagi mereka.

Faktor utama lainnya adalah keluarga.

Di negara-negara lain, perempuan biasanya bekerja setelah menyelesaikan pendidikan mereka, dan jumlah perempuan yang bekerja memuncak tepat sesudahnya. Ketika mereka memiliki anak, banyak perempuan yang memutuskan untuk berhenti bekerja, tapi tak lama kemudian mereka kembali bekerja. Dalam banyak kasus, perempuan memilih untuk bekerja paruh waktu, hal ini berfungsi untuk meningkatkan keahlian mereka.

Namun di Indonesia, kami menemukan bahwa setelah perempuan menyelesaikan pendidikan mereka, mayoritas tidak masuk ke dunia kerja. Mereka justru berharap memulai keluarga. Partisipasi pekerja perempuan memuncak pada usia 45 tahun, ketika sekitar 70 persen perempuan berusia kerja memiliki pekerjaan. Ini adalah usia yang cukup senja di mana partisipasi pekerja perempuan memuncak.

Faktor lain yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah perbedaan antara sektor formal dan informal. Pekerjaan informal tidak diregulasi—pekerjanya biasanya langsung dibayar secara tunai setelah menyelesaikan pekerjaannya—dan di sanalah mayoritas perempuan Indonesia bekerja. Kami memperkirakan bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal mungkin akan beralih ke sektor informal ketika mereka sudah memiliki anak, karena adanya fleksibilitas yang ditawarkan. Ini tidak terjadi.

Baca juga: Perempuan Pekerja Rumahan: Terabaikan dan Tak Diakui Haknya

Pada kenyataannya, perempuan yang meninggalkan sektor formal justru berhenti kerja secara penuh. Ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di sektor formal tidak cukup aktif dalam mempertahankan para perempuan dan membantu mereka kembali bekerja setelah memiliki anak.

Faktor terakhir adalah kesenjangan upah antargender. Di Indonesia, perempuan dengan pekerjaan berpendapatan tinggi secara rata-rata berpendapatan 13 persen lebih rendah daripada laki-laki di posisi yang sejenis. Kesenjangan upah ini melebar di pekerjaan-pekerjaan berupah rendah yakni perempuan rata-rata mendapat upah 63 persen lebih rendah daripada kolega laki-laki mereka.

Apa yang dapat Indonesia lakukan?

Meningkatkan proporsi perempuan yang bekerja di Indonesia sebanyak 10 persen berpotensi meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia sekitar 1 persen. Meski terkesan tak banyak, ini merupakan peningkatan PDB sebesar US$123 miliar, atau $432 per kapita, dan cukup signifikan bagi negara berkembang yang berupaya pindah kelas dari negara berpendapatan menengah-rendah menjadi menengah tinggi. Memberikan kesempatan kerja yang lebih besar bagi perempuan sejalan dengan kepentingan Indonesia untuk mengembangkan ekonominya.

Ada dua kebijakan kunci yang Indonesia dapat lakukan agar dunia kerja lebih terbuka bagi perempuan. Pertama, kebijakan yang mendukung pembagian tanggung jawab membesarkan anak, seperti cuti bagi orang tua. Kami belajar dari negara lain, terutama negara-negara Skandinavia, bahwa cuti bagi ayah, bersama-sama dengan cuti bagi ibu, dapat membantu meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja.

Kebijakan yang kedua adalah pekerjaan yang fleksibel seperti pekerjaan paruh waktu. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini membatasi pekerjaan fleksibel hanya bagi pekerja kontrak dan pekerja lepas. Memberikan fleksibilitas kerja bagi pekerja penuh waktu, atau memberikan hak-hak pekerja penuh waktu bagi pekerja paruh waktu, akan membantu perempuan dalam membesarkan anak sekaligus berpartisipasi di dalam dunia kerja. Perusahaan-perusahaan juga dapat menyediakan layanan penitipan anak di tempat kerja

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Avatar
About Author

Diana Contreras Suárez and Lisa Cameron

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *