6 Hal yang Saya Sukai dari Ramadan di Tengah Pandemi
Tidak ada petasan, teriakan membangunkan sahur, atau pertanyaan banal; ibadah puasa Ramadan di tengah pandemi menjadi lebih khusyuk.
Ada beberapa hal yang menandakan puasa Ramadan sebentar lagi tiba, mulai dari iklan sirop yang intens ditayangkan di televisi, penjual kurma yang semakin banyak bermunculan, sampai banjir ucapan mohon maaf lahir batin karena sebentar lagi puasa.
Namun untuk tahun ini, intensitas semua hal itu jauh berkurang. Iklan sirop tidak lagi sambung menyambung menjadi satu, pun iklan bertema Ramadan lainnya berkurang. Penjual kurma dan takjil tidak kelihatan batang hidungnya di kompleks rumah. Dan ucapan-ucapan menyambut puasa tidak lagi sekerap tahun lalu.
Pandemi virus corona (COVID-19) memang mengubah segalanya dan menghantam perekonomian. Situasi pembatasan sosial/fisik dan karantina pun membuat nuansa Ramadan kali ini akan berbeda. Tidak ada lagi buka puasa bersama, salat tarawih berjamaah di masjid, apalagi itikaf atau berdiam diri di masjid. Semoga saja para pedagang kecil tetap bisa berjualan dan mendapatkan penghasilan.
Bagi saya pribadi, ada beberapa hal yang membuat saya menyambut gembira bulan puasa tahun ini. Meskipun lebih sepi…wait, justru karena sepi ini yang membuat Ramadan kali ini lebih asyik menurut saya. Selain itu ada hal-hal lainnya yang membuat Ramadan kali ini lebih bermakna dan nikmat, seperti yang saya tulis berikut ini.
- Telinga menjadi lebih adem
Berbahagialah mereka yang tidak pernah mengalami bangun sahur jam 3 pagi karena serombongan orang memukul-mukul panci atau entah apalah dan berteriak “sahuuuuur…sahuuuur.” Mengapa harus jam 3 pagi, ya Allah? Jam 4 menjelang injury time itu sangat pas untuk sahur, bukan?
Kali ini, saya sangat senang karena suara-suara ribut itu tidak ada, dan saya beserta ibu saya yang lansia bisa tidur sedikit lebih lama sebelum bangun untuk sahur. Selain itu, tidak ada lagi bunyi petasan yang sungguh mengganggu, yang sebetulnya sudah dilarang tapi tetap saja ada yang menyalakannya.
- No bukber means lebih hemat
Setiap bulan puasa, ada tradisi yang rada-rada sulit dihindari, yakni buka puasa bersama alias bukber. Setiap hari ada saja undangan buka puasa bersama yang enggak enak untuk ditolak. Dari hari pertama puasa, atau bahkan sebelumnya, undangan sudah berdatangan, mulai dari grup gibah, grup arisan, grup alumni sekolah, grup alumni pesantren kilat, dan sebagainya. Dan ini biasanya jadi kesempatan untuk reuni dengan teman-teman yang jarang ketemu.
Baca juga: 5 Cara Gunakan Momentum Ramadan untuk Perbaiki Diri
Dengan adanya pembatasan fisik dan larangan berkumpul, buka puasa bersama secara fisik jadi mustahil. Sebetulnya ada bagusnya, karena kita jadi hemat pengeluaran. Kedua, tidak perlu lagi antre di restoran di mal atau nongkrong dari jam 4 sore demi dapat tempat. Apalagi pas hari bukber sedunia atau Jumat malam. Ketiga, kita juga terhindar dari basa-basi pamer kesuksesan antar teman-teman angkatan semasa sekolah, yang bikin lebih lelah secara mental daripada puasa seharian.
Ada sih rasa rindu buat bukber bareng teman dekat, tapi ya sudahlah ya, diterima saja keadaannya.
- Salat tarawih lebih ringkas
Setiap Ramadan, ibu saya suka bersikeras agar kami (ayah saya sudah meninggal jadi kami hanya tinggal berdua) salat tarawih berjamaah di masjid. Tidak masalah sih karena masjid di rumah untungnya menerapkan salat tarawih 11 rakaat, bukan 23 rakaat. Tapi tetap saja waktunya lama karena ada khotbah plus bacaan salatnya suka panjang-panjang.
Ada waktu di mana saya lelah karena habis sekolah atau kerja, dan sempat tersungkur karena luar biasa mengantuk waktu membungkuk untuk gerakan ruku. Buat membiarkan ibu saya sendirian ke masjid tidak tega juga, apalagi dia gampang batal wudunya (alias sering buang gas atau air kecil) jadi harus sering ke WC.
Karena pandemi ini, bersyukur juga bisa terus salat tarawih di rumah, jadi waktunya lebih singkat. Tapi tadi malam Ibu bikin saya sport jantung, karena dia bilang, “Elma, karena kita enggak ke masjid, kita tambah aja ya rakaatnya, jadi 23 rakaat. Biar pahala makin banyak.” Saya cuma bisa ngunyah kolak.
- Budget Lebaran berkurang
Karena pandemi dan anjuran dari pemerintah, jelas kita tidak bisa mudik Lebaran. Yang berarti tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk tiket pulang kampung. Kami jarang mudik ke Padang karena sebagian besar keluarga juga sudah di Jakarta, plus rumah almarhumah Nenek ada di jalan jalur lintas Sumatera, jadi sungguh macet luar biasa saat Lebaran.
Tapi bukan berarti Lebaran tidak memakan biaya tinggi. Anggaran harus dialokasikan untuk makanan perjamuan tamu, angpau keponakan-sepupu-anak tetangga-anak tamu, serta baju baru (itu alasan saya saja sih supaya belanja baju). Belum lagi untuk bingkisan Lebaran bagi saudara, bekas kolega, dan sebagainya.
Baca juga: Refleksi Setelah Lebaran: Konsisten Menjadi Diri Sendiri
Kali ini, THR saya mudah-mudahan akan lebih awet (alhamdulillah masih dapat THR) karena tidak perlu baju baru, tidak perlu memberi angpau, dan tidak perlu menjamu tamu. Paling biaya menyiapkan kuota internet dan pulsa agar bisa video call dengan sanak saudara lintas Jawa-Sumatera. Mungkin bakal ada permintaan angpau lewat transferan atau dompet virtual, ya boleh lah. Hitung-hitung membantu keponakan dan anak tetangga membeli pulsa untuk kelas online.
- Tak ada pertanyaan banal
“Kapan menikah?”, “Kapan punya anak?“, “Gemukan ya?”, “Kurusan ya?”, dan pertanyaan-pertanyaan tak penting lainnya mudah-mudahan akan absen tahun ini karena tidak ada kunjungan ke rumah-rumah orang lain.
Apa?? Masih tanya-tanya di saat video call?? Saatnya mengeluarkan jurus, “Aduh, suara putus-putus! Gambar frozen!”. Tuuuuut. Mati.
- Ibadah puasa lebih khusyuk
Ibadah puasa, katanya ibadah yang paling personal antara kita dan Tuhan. Karena hanya yang berpuasa dan Tuhan yang betul-betul tahu ketulusan beribadah, apakah kita betul-betul menjalankannya atau enggak. Kita bisa riya alias pamer soal salat atau zakat, tapi untuk puasa, ya enggak ada yang tahu juga kalau kita diam-diam nenggak air wudhu karena haus.
Di tengah pandemi ini, aspek personal dari ibadah ini jadi lebih kuat. Tidak ada lagi ingar-bingar kesalehan komunal dan performatif. Tidak ada lagi tekanan sosial yang membuat orang-orang yang sebetulnya tidak bisa atau tidak ingin (boleh saja kan) berpuasa jadinya terpaksa berpuasa.
Kita semua sedang bertahan hidup saat ini dari ancaman yang tidak kelihatan bentuknya tapi bisa mematikan. Di saat tidak bisa dilihat atau bertemu orang lain kecuali keluarga, mari kita fokuskan ibadah kita hanya untuk-Nya. Seperti hadis yang dikutip oleh kyai feminis kesayangan kami, Husein Muhammad di akun Instagramnya pagi ini: “Tinggallah di rumah, dan menyendirilah sambil menatap hanya Dia. Tinggalkan urusan berkerumun.”
Selamat menjalankan ibadah puasa, teman-teman! Sehat-sehat selalu semuanya.