Lifestyle

Promosi Produk Anti-Pelakor dari ‘Influencer’: Problematis dan Nihil Perspektif Gender

‘Influencer’ mestinya tak menggunakan kata pelakor dalam mempromosikan produk jualan.

Avatar
  • January 19, 2023
  • 5 min read
  • 1310 Views
Promosi Produk Anti-Pelakor dari ‘Influencer’: Problematis dan Nihil Perspektif Gender

Ketika membicarakan digital marketing di media sosial, digital creator, atau influencer, dipandang sebagai sosok yang efektif menjadi key opinion leader (KOL). Dengan masifnya pengikut di media sosial, mereka diyakini mampu menciptakan tren yang diikuti orang. Harapannya, produk yang dipasarkan akan lebih banyak terjual.

Sayangnya, entah tuntutan dari brand atau bukan, sejumlah influencer menggunakan kata-kata yang berdampak negatif saat promosi. Misalnya, belakangan influencer Sania Leonardo menggunakan diksi perebut laki orang (pelakor), saat mempromosikan serum payudara lewat Instagram ads. Dalam narasinya, Sania bilang, produk tersebut sekaligus bermanfaat untuk mencegah pelakor.

 

 

Baca Juga: Kontroversi Iklan Rabbani Pelecehan Seksual

“Halo para wanita yang anti-pelakor. Buat gue nih, untuk mencegah pelakor datang, gue tuh pakai Prisa. Jadi, dia adalah serum untuk PD (payudara) alias tewtew. Ini, tuh bisa ngenyelin PD lo, mengencangkan, dan lain sebagainya,” kata Sania.

Selain Sania, ada juga affiliate Twitter yang menggunakan narasi serupa ketika mempromosikan lip mask. Dalam utas, mereka menjadikan maraknya kasus perselingkuhan sebagai latar belakang penjualan produk. Bahkan, perawatan bibir disebut menjadi hal penting untuk mempercantik diri, agar tidak diselingkuhi.

“Belakangan ini lagi marak banget tentang perselingkuhan, dan bikin gue jadi punya trust issue dengan laki-laki. Ini buat gue mikir, laki-laki itu semua sama aja, apalagi sebelumnya ada pengalaman diselingkuhin,” tulis affiliate dengan handle @biatsabina.

Ia hanya satu dari sekian affiliate yang terlibat dalam promosi lip care itu. Sementara lainnya, kurang lebih juga memberikan “tutorial” serupa. Kemudian di akhir utas, para affiliate menyematkan tautan produk ke e-commerce.

Kalau melihat sebelah mata, narasi Sania dan para affiliate hanya berusaha relate dengan hal-hal yang sedang happening. Namun, apakah ada dampak dari penggunaan kata “pelakor” dalam promosi produk tersebut?

Narasi yang Merefleksikan Kondisi Masyarakat

Narasi yang disampaikan Sania dan para affiliate itu, sebenarnya bukan dibuat sekadar relate dengan kasus perselingkuhan yang marak. Faktanya, ada cerminan kondisi masyarakat dalam narasi tersebut.

Bahwasanya, perempuan dipandang sebagai satu-satunya penyebab perselingkuhan hingga rumah tangga rusak. Baik sebagai pelakor, maupun enggak bisa menjaga rumah tangga dengan baik.

Perihal yang kedua, mungkin kamu juga pernah mendengar narasi tentang suami selingkuh, lantaran istrinya enggak pernah dandan. Pun mertua yang menyuruh menantunya mempercantik penampilan, dengan alasan kasihan pada suaminya.

Secara enggak langsung, kedua narasi tersebut mencerminkan, penampilan istri yang menarik memengaruhi ketahanan rumah tangga. Hal itu kemudian menormalisasi keputusan laki-laki untuk berselingkuh, dengan perempuan yang dianggap lebih menarik. Sejumlah penelitian–salah satunya Gender Differences in Mate Selection: Evidence From a Speed Dating Experiment (2006) oleh ekonom Raymond Fisman, dkk.–menyebutkan, laki-laki cenderung lebih mementingkan penampilan pasangannya.

Namun, penelitian juga bukan untuk membenarkan perselingkuhan–terlebih dengan alasan, penampilan istri dianggap celah untuk melanggar komitmen. Bukan juga untuk menggeneralisasi ketertarikan laki-laki.

Di samping itu, ada pandangan penampilan istri yang menarik tidak mempermalukan suami. Anggapannya, suami ingin menunjukkan perannya sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama–sekalipun perempuan bekerja dan mampu membiayai kebutuhannya sendiri.

Walaupun narasinya dibuat berdasarkan realitas di masyarakat, bukan berarti cara influencer mengiklankan produk tersebut dibenarkan. Apalagi mengingat mereka memiliki platform dengan audiens besar, sehingga berpotensi dinormalisasi oleh pengikutnya. Sania sendiri memiliki lebih dari 400 ribu followers di Instagram. Sementara twit para affiliate mencapai puluhan ribu views.

Artinya, banyak orang terpapar dengan narasi “pelakor”. Dikhawatirkan, masyarakat menormalisasi penggunaan kata tersebut, yang maknanya menyudutkan perempuan sebagai satu-satunya pelaku perselingkuhan.

Buktinya, “pelakor” bukan hanya digunakan untuk mempromosikan produk oleh Sania dan affiliate. Kalau kamu mengetik kata tersebut di e-commerce, akan muncul sejumlah produk yang juga menyematkan “pelakor” sebagai bagian dari pemasaran.

Baca Juga: Teknologi dan Obsesi Cantik yang Problematik

Misalnya “serbuk perawan anti pelakor”–untuk merapatkan vagina, mengobati keputihan, dan membersihkan darah kotor usai menstruasi. Ada juga suplemen dan teh “anti pelakor”, alias peluntur lemak kotor, untuk menurunkan berat badan. Kemudian, “jamu empot ayam anti pelakor”, untuk meningkatkan performa saat berhubungan seksual.

Produk-produk tersebut memiliki satu persamaan: “Mengajak” perempuan mempercantik diri, dengan tujuan memelihara hubungan sekaligus menghindari pelakor.

Dengan kata lain, narasi itu akan semakin beredar di masyarakat, termasuk lewat penggunaannya yang berada di luar konteks.

Influencer dan Tanggung Jawabnya terhadap Audiens

Tidak adanya kebijakan yang mengatur influencer dalam mengulas produk endorsement, membuat pekerjaan mereka berada di ranah abu-abu.

Pasalnya, pekerjaan itu sebatas kerja sama pihak influencer dengan brand. Begitu sesuai dengan rate card, influencer akan menerima brief terkait postinganproduk. Kemudian, kewajiban influencer selesai, setelah memproduksi dan mempublikasikan konten di media sosial.

Masing-masing influencer memiliki standar dan idealismenya sendiri ketika mengiklankan produk. Namun, tidak semua mengulas produk berdasarkan pengalamannya setelah menggunakan, maupun memperhatikan narasi yang disampaikan. Seperti sederet influencer dan selebritis yang mempromosikan Undang-undang Cipta Kerja dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Sebagai figur yang belakangan mendapat sorotan publik dan pengikut besar di media sosial, influencer dapat merefleksikan adanya tanggung jawab sosial. Dengan mempromosikan produk, influencer bukan sekadar menerima penghasilan dan memengaruhi keputusan pembelian audiensnya. Mereka dapat menciptakan tren dan membentuk persepsi publik. Bahkan memengaruhi keberpihakan politik followers-nya.

Baca Juga: Ria Ricis dan Perkara ‘Semua Demi Konten’

Peneliti Verna Vulkko justru mengatakan sebaliknya. Dalam riset Social Media Influencers and their Social Responsibility: Factors that Affect Micro Influencers’ Decisions to Collaborate with a Company (2021), Vulkko menyebutkan, influencer tidak memiliki tanggung jawab sosial. Yang ada, influencer mengambil keputusan untuk bekerja sama dengan brand, dipengaruhi oleh nilai-nilai dan minat mereka sendiri.

“Influencer yang lebih aware secara sosial, cenderung bekerja sama dengan perusahaan atau produk yang bertanggung jawab,” tulis Vulkko dalam penelitiannya.

Temuan Vulkko menggarisbawahi, produk yang diiklankan influencer adalah cerminan dari individunya. Terlepas dari tidak adanya tanggung jawab sosial, setidaknya influencer dapat mempertimbangkan hasil dari konten yang diproduksi pada skala masyarakat.

Mengingat sebagian orang memandang merekasebagai figur yang berpengaruh, sesuai dengan titel yang disematkan, “influencer”.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *