Mulut Perempuan, Tantangan Muslimah di Akhir Zaman
Kata siapa mulut perempuan itu racun? Faktanya, perempuan vokal justru mampu membawa banyak perubahan.
“Mulut perempuan itu seperti racun.”
Komentar tajam ini kerap saya temukan belakangan, baik di dunia maya atau nyata. Terlebih setelah dua kasus berikut viral di Tanah Air. Pertama, kasus Ferdi Sambo yang divonis hukuman mati karena pengaduan istrinya, Putri Chandrawati. Kedua, kasus David yang sempat terbaring koma karena diduga ada andil AG, sang mantan pacar.
Kasus dengan tendensi menyalahkan perempuan memang rajin mengisi ruang digital kita. Kasus perebut laki orang (pelakor) misalnya. Jika kasus seputar itu muncul, banyak perempuan yang turun gunung dengan semangat jihad untuk menghujat pihak ketiga. Para perempuan ini kompak menjadikan dia musuh bersama, sehingga layak diberikan komentar-komentar mengerikan, slut shaming, body shaming.
Setiap baca komentar itu, saya cuma bisa bertanya, memang iya mulut perempuan demikian beracun? Apa betul, lisan perempuan didesain untuk berkata-kata yang tajam, bahkan melebihi senjata mematikan?
Baca juga: ‘The Power of Gossip’: Bisa Membunuh tapi Tak Melulu Buruk
Perempuan Lebih Banyak Bicara
Anggapan mulut perempuan beracun sebenarnya terkait dengan hobi “ngomong” mereka. Asumsi itu didasarkan pada survei bahwa perempuan tiga kali lebih talkative dibandingkan laki-laki. Setiap harinya perempuan akan berbicara lebih dari 20 ribu kata. Jauh lebih aktif dibandingkan laki-laki yang hanya berbicara sebanyak 7 ribu kata per hari. Survei ini seolah menegaskan, perempuan memang makhluk yang suka ngomel, merepet, ghibah, gosip, nenangga, dan hal-hal yang dicap negatif lainnya.
Saya tak menyangkal data di atas. Namun, bukankah kesukaan perempuan pada bicara tak melulu bertujuan untuk memancing keributan? Lisan ibu yang mendidik anak-anak adalah contoh yang baik. Perempuan yang vokal mengritisi ketidakadilan gender adalah contoh baik. Perempuan yang yang bicara di forum, kegiatan, dan organisasi juga tak kalah baik. Jadi, menyebut lisan perempuan selalu terasosiasi dengan racun, hal mematikan, membahayakan adalah sesat pikir.
Sejarah peradaban Islam sendiri mencatat muslimah-muslimah teladan yang “banyak bicara”. Ada Asma binti Yazid, Shahabiyah yang bergelar orator ulung (khatibatul Arab). Ia banyak berbicara menyampaikan keluhan kaum perempuan kepada Nabi Muhammad Saw saat itu. Kemampuan berbicaranya bahkan diapresiasi oleh Rasul karena menjadi jembatan bagi Shahabiyah dan ummahat mu’minin lainnya untuk berdialog dengan Nabi.
Suatu ketika, Asma menghadiri majelis Rasul untuk menanyakan suatu masalah. Saat itu Nabi sedang bersama para sahabat membicarakan beberapa hal. Asma spontan mengangkat tangan, menandakan ia ingin berbicara pada Nabi. Setelah Nabi mempersilakan, Asma menyampaikan keluhan.
Kata Asma, kaum perempuan tidak seberuntung kaum laki-laki. Mereka tak mendapatkan kesempatan untuk berbuat baik dan maksimal dalam ibadah di jalan Allah. Laki-laki bisa dengan mudah salat berjemaah di masjid, ikut dalam pengurusan jenazah, bahkan bisa berjuang bersama Nabi di medan perang. Perempuan tidak.
Nabi cermat mendengarkan Asma tanpa sekali pun memotong kata-katanya.
Asma melanjutkan, perempuan kerap kali disederhanakan seperti konco wingking, menjadi teman di tempat tidur, mengurusi keperluan domestik suami dan anak-anak, menunggui rumah sampai semua penghuni kembali di sore atau malam hari.
Ia menanyakan, apakah yang dikerjakan oleh kaum perempuan mendapatkan pahala yang sama dengan apa yang dikerjakan oleh kaum laki-laki? Dapatkah perempuan juga mendapatkan kesempatan yang sama sebagaimana laki-laki, khususnya kesempatan berjuang fi sabilillah?
Setelah Asma menyelesaikan ucapannya, Nabi kemudian mengatakan kepada para sahabat dengan penuh senyuman.
“Adakah pertanyaan yang lebih baik dari apa yang ditanyakan oleh Asma?”
Baca juga: Gosip, Penyihir, dan Usaha Mencabut Taring Perempuan
Nabi mengapresiasi keluhan Asma dengan kalimat menyenangkan lalu menjawab, “Wahai Asma. Ketika engkau kembali kepada kepada teman-temanmu, kaum perempuan, katakanlah kepada mereka. Bahwa apa yang mereka kerjakan saat di rumah, bergaul baik dengan suami, mencari ridhonya, mengerjakan amalan kebaikan lain, pahalanya setimpal dengan yang dikerjakan lelaki.”
Pertanyaan dan kejujuran Asma binti Yazid inilah yang kemudian jadi contoh betapa perempuan bisa menggunakan lisannya dengan baik, tulis Nizar Abazhah dalam bukunya, Sejarah Madinah (2017). Melalui kisah Asma kita juga melihat, cerewet dan banyak omong justru berguna jika dihadapkan pada jalan kebaikan, seperti dakwah, pendidikan, kritisisme, dan sejenisnya.
Contoh cerewet yang baik juga dicontohkan oleh Aisyah binti Abu Bakar. Ia adalah perempuan cerdas, produsen pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan bicaranya. Ia andal dalam ilmu tafsir, fiqih, hadis, tarikh, sastra, juga kedokteran. Imam az-Zuhri menyebutkan, ilmu Aisyah bahkan melebihi ilmu semua ummahat mu’minin bila dikumpulkan. Tidak heran bila kemudian Aisyah masuk ke dalam top empat mukatsiruuna fir riwayah (paling banyak meriwayatkan hadis). Aisyah menjadi satu-satunya perempuan yang mendapatkan gelar mulia tersebut.
Setelah Nabi wafat, Aisyah mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Aisyah. Wadah tempat ia menyebarkan keilmuan ia miliki untuk mencerdaskan para ummahat dan shahabiyah saat itu.
Dari Aisyah kita belajar, menjadi perempuan cerdas dan banyak bicara justru bisa membawa banyak perubahan bahkan warisan kebaikan.
Dari Indonesia, kita mengenal sosok Raden Ajeng Kartini, tipikal pembelajar sejati yang fasih berbahasa Belanda. Ia membaca berbagai media cetak, dari terbitan Koran Semarang, de Locomotief, hingga koran terbitan Belanda, De Hollandsche Lelie. Kartini membaca banyak tulisan yang menarik perhatiannya, terutama tentang kebebasan perempuan Eropa dalam mengakses pendidikan.
Hal inilah yang kemudian mendorong Kartini mendirikan sekolah bagi perempuan Jawa. Sekolah yang ia dirikan dengan semangat untuk mengangkat derajat perempuan pribumi yang masih terbelakang dan berada di strata terbawah masyarakat Jawa saat itu.
Selain mendirikan sekolah, Kartini rajin mencurahkan kegelisahannya lewat korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Tulisan tersebut diterbitkan di Koran Belanda De Hollandsche Lelie, dan pada akhirnya mendobrak pemahaman Penjajah Belanda terhadap perempuan Jawa.
Baca juga: Perempuan Bergosip, Laki-laki ‘Boys Talk’
Tak Sepakat dengan Anggapan “Mulut Perempuan itu Racun”
Melihat contoh-contoh figur di atas, membuat saya makin yakin, tidak tepat jika mulut perempuan dianggap racun.
Bukankah perempuan secara fitrah lahir sebagai makhluk yang memiliki kelembutan? Bagaimana tidak lembut, bila Asma Allah sang Maha Penyayang, ar-Rahim, dijadikan sebagai salah satu organ yang dimiliki oleh perempuan. Dengan rahim, jika mau perempuan bisa mengandung selama sembilan bulan dengan penuh kasih sayang dan perjuangan. Saat melahirkan, perempuan bertarung nyawa untuk memberi kehidupan bagi anaknya. Dilanjutkan dengan proses menyusui selama dua tahun dengan segala problematikanya.
Singkatnya, menyebut mulut perempuan beracun adalah tuduhan ngawur, tanpa dasar. Ini sebagaimana menyebut bahwa lelaki seperti buaya yang banyak tipu daya. Toh..sebenarnya, manusia terhina bukan karena gender atau orang di sekitarnya. Jatuh dan terhinanya seseorang lebih dikarenakan lemahnya iman dan kontrol terhadap diri.
Kalau sudah begini, saya cuma berangan-angan kita jadi lebih bijak menarasikan lisan perempuan. Sudah saatnya kita menggeser paradigma terhadap perempuan secara lebih berkeadilan. Memandang bahwa perempuan sebagaimana laki-laki berpotensi sebagai sumber fitnah, namun di sisi lain juga dapat berpotensi sebagai sumber anugerah. Wallahu a’lam…