Bra Perempuan dari Masa ke Masa: Sebuah Catatan
Fungsi bra lebih dari sekadar penutup payudara atau menawarkan kenyamanan, tapi juga fesyen dan melambangkan tuntutan masyarakat.
Sebelum nyaman dikenakan perempuan dan memiliki banyak model seperti sekarang, bra melalui revolusi panjang. Pada masa Yunani kuno misalnya, breast-band berbahan garmen digunakan untuk menutupi payudara, dengan pengikat atau pengait di belakang. Ada juga bra berbahan linen yang ditemukan pada abad ke-15 di sebuah kastil di Austria, menyerupai bra modern.
Namun, sejak abad ke-16, penggunaan korset didominasi perempuan dari kelas sosial menengah ke atas di Barat. Jill Fields, profesor sejarah di California State University Fresno, AS, dalam An Intimate Affair: Women, Lingerie, and Sexuality (2007) menyebutkan, bahan penting pembuat korset, boning dalam sejarah bra. Selain itu, perempuan juga mengenakan structured garment yang disebut peningkat payudara.
Sejak Mary Phelps Jacob, sosialita asal New York, mengalami kesulitan saat memasang rok di atas korset karena bahannya terus muncul di permukaan, ia mengakali pembuatan bra dengan dua sapu tangan dan sebuah pita.
Alhasil, kreativitasnya tersebut meraih popularitas di kalangan teman-temannya. Akhirnya, Jacob mendirikan Fashion Form Brassière Company, perusahaan bra yang menetapkan bra pertama sebagai backless brassière pada 1914. Bra tersebut juga dikenal awal mula bra modern yang dikenakan saat ini. Korset pun mulai ditinggalkan, karena Perang Dunia I membutuhkan logam untuk tank dan amunisi, sehingga tidak dapat disisakan untuk pakaian dalam.
Baca Juga: Antara BH, Drakor, dan Jemuran Kos
Perkembangan Desain Bra
Karena desain bra yang dirancang oleh Jacob menampilkan siluet monobosom dan memberi kesan payudara yang rata, pada 1922 Enid Bissett bersama Ida dan William Rosenthal, merancang model berbeda.
Di bawah perusahaan Maiden Form Brassiere, model itu didesain untuk menonjolkan bentuk feminin, dengan dua cup elastis. Bra tersebut banyak diminati lantaran membuat payudara terlihat indah. Melansir Elle, berkat Bisset dan Rosenthal inilah, saat ini terdapat berbagai ukuran bra yang menyesuaikan kebutuhan perempuan, mulai dari cup A hingga D.
Pada 1946, Frederick Mellinger mendirikan Frederick’s of Hollywood, merek pakaian dalam Amerika Serikat, memproduksi padded bra pertama diikuti push-up bra di tahun berikutnya. Pun terdapat beragam desain padded bra, mulai melingkupi payudara secara menyeluruh, menutupi puting susu, memberi efek push-up, dan membentuk payudara semakin berisi sekaligus menawarkan kenyamanan.
Lama kelamaan, perkembangan desain bra menjadi bagian dari fesyen. Misalnya plunge bra, modelnya yang menutupi puting dan payudara bagian bawah, tetapi mengekspos belahan dada, sempat menjadi tren di Barat. Ini juga disertai penonton Tom Jones (1963), yang senang menyaksikan perempuan dengan bra tersebut. Melihat maraknya antusiasme terhadap plunge bra, produsen lingerie dan shapewear seperti Gossard, Bali, Formfit, dan Warner Brothers turut memproduksinya.
Baca Juga: Seksualisasi Sampai Sakit Punggung, Problema Nona Payudara Besar
Bra Sebagai Fesyen
Popularitas bra dalam industri fesyen juga didukung oleh Victoria’s Secret Fashion Show, acara tahunan oleh brand pakaian dalam terbesar di Amerika Serikat, untuk mempromosikan model terkini. Pertama kali digelar pada 1995 di Plaza Hotel, New York, pagelaran busana tersebut melibatkan model-model ternama sebagai Victoria’s Secret Angels sebagai peraganya.
Bahkan, mereka menggandeng Mouawad, perusahaan perhiasan asal Swiss, untuk merancang bra yang mengandung lebih dari 2.500 karat berlian dan safir, senilai 10 juta dolar AS, setara 143 miliar rupiah.
Penggunaan bra pun tidak lagi dikenakan untuk menutupi atau memperbesar payudara. Menurut penulis dan akademisi di Clayton State University, AS, Wendy Burns-Ardolino dalam Jiggle: (Re)Shaping American Women (2007), perempuan dipengaruhi persepsi sosial dalam mengenakan model bra. Secara tidak langsung, ini mengikuti perkembangan bentuk tubuh ideal sesuai standar kecantikan yang terus mengalami perubahan. Contoh, model bullet bra pada 1940-an yang populer karena aktris Jane Russell dan Patti Page mengenakannya. Atau pada akhir 1990-an, ketika payudara berukuran besar dinilai lebih modis.
Kini, bra bukan hanya sebagai pakaian dalam. Penggunaannya justru diekspos, dilengkapi outer berupa kemeja, blazer, jas, dan kardigan. Meskipun bukan kali pertama, tren ini populer pada 2019 lantaran banyaknya figur publik yang mengenakannya. Misalnya, Hailey Bieber dengan bridal bra, dipadukan setelan jas putih usai pernikahannya. Lalu penyanyi Kacey Musgraves menggunakan sports bra dalam balutan outer dan celana berwarna neon, saat menghadiri fashion show Savage X Fenty di New York.
Tak hanya itu, ada aktris Kristen Stewart dan leather bra-nya, saat mempromosikan Charlie’s Angels (2019) di Good Morning America. Pun, model Emily Ratajkowski yang tampak powerful, sebagaimana disebut The Cut, ketika menampilkan bra putihnya di balik blazer cokelat muda dan celana sepeda berwarna hitam.
Namun, bukan berarti produsen bra selalu diuntungkan oleh perkembangan mode. Usai demonstrasi Miss America pada 1968—protes oleh feminis yang digagaskan oleh New York Radical Women, dengan memasukan produk perempuan ke tempat sampah, termasuk bra—mereka mengkhawatirkan perempuan tidak akan mengenakan bra lagi. Akhirnya, mereka mengubah pemasarannya, yakni mengklaim penggunaan bra seperti tidak menggunakannya.
Baca Juga: Menelusuri Sejarah Produk Pembalut dari Berbagai Era
Mengapa Perempuan Memilih Braless?
Meskipun bra merupakan salah satu kebutuhan perempuan, dalam praktiknya terdapat tren braless, atau tanpa bra, terutama di kalangan milenial. Permasalahannya tidak lagi berkaitan dengan politik seperti feminis pada 1960-an, tetapi sebatas pilihan bagi perempuan yang menandakan independensi, kebebasan, dan kenyamanan.
Alasan lainnya adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli bra, terkait masalah kesehatan, dan penerimaan diri. Sedangkan sebagian dari mereka menganggap bra digunakan bukan atas keinginan pribadi, melainkan tuntutan sosial.
Karena itu, penggunaan bra dilihat sebagai standar ganda bagi perempuan, karena mengekspos payudara dianggap tabu sehingga tidak dapat bertelanjang dada sebagaimana laki-laki.
Alasan tersebut melatarbelakangi kampanye Free the Nipple yang dilakukan pada 2015, agar puting perempuan dapat diterima secara hukum dan budaya. Mengutip Teen Vogue, sebenarnya gerakan ini bukan bermaksud benar-benar telanjang dada, melainkan tanpa bra di balik pakaian yang dikenakan.
Ada juga No Bra Day pada 13 Oktober, sebagai peringatan tahunan untuk mendorong kesadaran kanker payudara, dengan tidak mengenakan bra. Sama seperti Free the Nipple, kampanye ini juga dilakukan di media sosial.
Tentu pilihan ini menuai pro dan kontra, seperti perempuan di Korea Selatan yang mengunggah fotonya di media sosial saat tidak mengenakan bra, dengan tagar #NoBra.
Melansir BBC News, aktris Sulli memulai gerakan tersebut dengan mengunggah fotonya tanpa bra, di akun Instagramnya. Menurut mantan personel girlband f(x) itu, urusan menggunakan bra adalah kebebasan pribadi. Namun, segelintir orang menilai pilihan tersebut tidak perlu dipublikasikan, memalukan, dan membuat laki-laki maupun perempuan yang melihat tidak nyaman.
Pun sebagian perempuan masih belum cukup percaya diri, karena merasa diperkosa melalui tatapan. Atau memilih menggunakan penutup puting sebagai alternatif, memberikan kebebasan bergerak sekaligus fesyen, tanpa mengekspos sepenuhnya.
Terlepas dari kebebasan yang ditawarkan, ada beberapa manfaat kesehatan yang diperoleh dari braless, seperti kulit payudara yang lebih sehat, serta bentuk payudara dan sirkulasi lebih baik.
Namun, apa pun alasannya, biarkan perempuan memiliki kebebasan dalam penggunaan bra. Karena tubuhnya tidak bertanggung jawab atas tuntutan yang dibebankan masyarakat.