Kalau Kamu Tenang dan Santai Saat Nonton Animasi Ghibli, Kamu Enggak Sendiri
Meski animasi dan fiktif, tapi dunia Ghibli terasa begitu hidup dan nyata bagi pecintanya. Kenapa bisa begitu?
Aku bukanlah tipe orang yang suka menonton film lebih dari tiga kali. Membosankan rasanya menonton sesuatu yang sudah kamu ketahui plot dan jalan ceritanya. Hanya film-film tertentu saja yang jadi pengecualian. Salah satunya adalah film-film garapan Studio Ghibli.
Baca Juga:Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
Sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga berusia 26, sudah tak terhitung berapa kali aku memutar ulang film-film mereka. Berbeda dari film kebanyakan, film-film Studio Ghibli selalu bisa memberikan aku perasaan hangat dan nyaman. Tak hanya itu, dunia fantasi yang dibangun terasa begitu nyata. Setiap frame yang penuh dengan pemandangan indah serta pergerakan setiap karakternya membuatku ingin tinggal dalam dunia mereka.
Mungkin buatmu terdengar berlebihan. Tapi, perasaan yang aku rasakan saat menonton film Studio Ghibli juga dirasakan Sinta. Ibu dari dua anak yang kini berusia 36 tahun. Ia mengaku akan timbul perasaan hangat dan nyaman setiap menonton film-film Ghibli. Perasaan ini ia katakan bersumber dari kelihaian animator Ghibli yang mampu membangun dunia fantasi sarat emosi dan membuatnya ingin singgah ke dunia itu.
“Menurutku yang membedakan Ghibli dan animasi lain adalah emosi dan perasaan tiap karakternya. Ini sih yang bikin salut banget sama animator-animatornya, mereka berhasil nyiptain dunia fantasi yang rasanya nyata secara emosi. Daun jatuh aja bikin kita mellow dan aku kayak pengin ketemu sama Howl,” jelas Sinta.
Hal yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Chika, salah satu reporter Magdalene. Chika memang baru-baru ini menyelami film-film Studio Ghibli, tapi ia mengaku seperti tersihir oleh dunia yang berusaha mereka bangun. Semua terasa nyata dan menimbulkan perasaan nyaman dan rasa ingin masuk di dalamnya.
“Pas nonton Spirited Away berharap bisa naik kereta terus nikmatin pemandangannya. Hati serasa damai dan tentram gitu. Atau pas Howl’s Moving Castle aku pengen bisa tiduran di padang bunga kayak gitu sambil disepoi-sepoi angin, sambil baca buku atau sekedar bawa bekal sambil ngobrol. seru banget kayaknya. Boleh tinggal di dunia ghibli aja enggak sih,” ucapnya.
Sejenak Merasakan Kehidupan Seutuhnya Lewat ‘Ma’
Perasaan hangat dan rasa ingin singgah atau tinggal di dunia Ghibli mungkin sulit untuk dijelaskan tanpa kita mengerti tentang masyarakat Jepang dan filosofi hidup yang mereka bawa. Pada 2002 Roger Ebert melakukan wawancara bersama Hayao Miyazaki. Animator, sutradara, produser, penulis, penulis, dan seniman manga Jepang yang juga merupakan pendiri Studio Ghibli. Dalam wawancara itu untuk pertama kalinya Miyazaki memperkenalkan filosofi hidup orang Jepang yang dijelaskan melalui konsep ‘Ma’ (間).
Dikutip dari tulisan Donna Canning, seniman Ikebana dan Takahiko Iimura yang diterbitkan Millenium Film Journal, ‘Ma’ dalam bahasa Jepang berarti celah atau ruang. Dalam konsep filosofisnya ‘Ma’ berbicara tentang keheningan dan kekosongan. Dalam keheningan dan kekosongan itu kita bebas dari kebisingan serta kesibukan. Membuat kita kembali terhubung dengan jiwa kita. Sehingga secara filosofi poin penting yang dapat saya ambil dari konsep Ma adalah untuk memperlambat dan melangkah mundur, merasakan dan melihat dari sudut pandang yang utuh.
Hal ini tidak hanya mengarah pada pertumbuhan pribadi, tapi juga mengingatkan kita bahwa tindakan kita berperan dalam membentuk dunia yang kita tinggali. Manusia butuh memberi jeda pada tiap aspek dalam hidupnya, karena di sinilah mereka bisa merasakan hidup dan kepuasannya.
Dalam masyarakat Jepang kita melihatnya dari cara mereka membungkukkan badan untuk menghormati sesuatu atau Kamisama (dewa dewi dalam ajaran Shinto) dan melakukan percakapan. Dalam membungkuk orang-orang Jepang sengaja memberikan jeda sebelum mereka kembali berdiri. Alasannya adalah untuk memastikan bahwa ada cukup ‘Ma’ untuk menyampaikan perasaan mereka.
Sedangkan dalam percakapan, orang Jepang sering memberikan jeda pada ucapannya. Cara komunikasi orang Jepang penuh dengan kekosongan, subjek kalimat sering kali tidak diucapkan. Kejelasan dalam kata-kata tidak selalu diperlukan karena yang dibutuhkan ada rasa memahami dalam keheningan suasana.
Filosofi dari ‘Ma’ inilah yang sangat terasa dalam film-film Garapan Studio Ghibli. Jika pada umumnya film mengandalkan rentetan aksi atau adegan yang hampir setiap menit ditampilkan tanpa jeda, Studio Ghibli justru memanfaatkan banyak adegan untuk menampilkan pemandangan alam atau tempat-tempat tertentu di penjuru kota tanpa ada dialog satu pun.
Kita melihatnya saat Kiki dalam Kiki’s Delivery Service (1989) yang tidur di padang rumput yang bergoyang karena angin seraya memandang langit. Saat Satsuki dan Mei dalam My Neighbor Totoro (1998) berdiri diam di tengah hutan menunggu kedatangan ayahnya bersama Totoro saat hujan. Atau dalam beberapa adegan dalam Only Yesterday (1991) yang menampilkan Taeko tengah diam melihat suasana pedesaan dan para petani yang sibuk memetik panen.
Kate Maria Weedy dari Universitas Edinburgh dalam penelitiannya pun mengatakan dengan menggunakan ‘Ma’ dalam adegan-adegan ini Studio Ghibli mengajak penontonnya untuk merasakan dan menyambut sebuah kesadaran baru tentang kehidupan yang tidak ditunjukkan secara eksplisit. Degannya, penonton dibiarkan menjadi pengamat handalnya sendiri yang aktif.
Lewat adegan kosong, penonton diberikan ruang sejenak untuk mengamati berbagai pergerakan mulai dari makhluk hidup (manusia, hewan, serta tumbuhan), raut wajah karakter (karakter utama atau karakter pendukung dalam latar), hingga suasana yang coba dibangun. Hal yang jarang kita lakukan selama menonton film apalagi dengan ketakutan para sineas yang disebut Miyazaki sebagai “ketakutan akan keheningan” yang membuat mereka memenuhi film dengan rentetan adegan tanpa henti.
Cara terlibat aktif sebagai pengamat di momen keheningan ini, membuat penonton bisa mencapai keterlibatan emosional mendalam dengan karakter dan dunia yang mereka tinggali. Hal ini gilirannya mampu mengubah adegan tersebut jadi momen-momen refleksi, kata Weedy. Momen yang Miyazaki inginkan selalu ada dalam film-film garapan Studio Ghibli agar penontonnya bisa merasa hidup secara utuh. Merasakan segala emosi di dunia yang memiliki ritme yang serba cepat.
“Jika kamu hanya melakukan aksi tanpa henti. Tanpa ada ruang untuk bernapas sama sekali, itu hanya kesibukan. Tetapi jika kamu meluangkan waktu sejenak, maka ketegangan yang terbangun dalam film dapat tumbuh menjadi dimensi yang lebih luas.”
“Jika kamu hanya memiliki ketegangan yang konstan sepanjang waktu, kamu akan mati rasa. Padahal yang paling penting adalah emosi yang mendasarinya dan bahwa kamu tidak akan pernah hidup tanpa merasakannya.”
Baca Juga:Liar dan Imajinatif: 6 Anime Ghibli yang Wajib Ditonton
Menghargai Kehidupan Lewat Dunia Fantasi
Selain ‘Ma’ yang membuat film-film Ghibli terasa hangat dan ingin kita tinggali, ada aspek lain yang tak bisa dilepaskan dari studio animasi satu ini. Aspek ini adalah ‘Funiki’ (雰囲気). Susan Jolliffe Napier, profesor studi Jepang dalam bukunya Miyazakiworld: A Life in Art (2018) menjelaskan ‘Funiki’ dapat diartikan sebagai suasana yang memiliki resonansi emosional kuat. Suasana ini dibangun lewat dua hal. Pertama dengan menempatkan manusia dalam konteks budaya dan alam yang lebih besar. Hal yang bisa dilihat dari bagaimana dalam Nausicaa Valley of The Winds (1984)dan Mononoke Hime (1997) memusatkan diri pada konflik antara manusia dan alam serta cara perempuan terhubung dan memulihkannya.
Kedua dengan memperlakukan setiap karakter sebagai makhluk hidup sungguhan (real beings). Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama NHK World, 10 Years with Hayao Miyazaki misalnya Miyazaki selalu menekankan pada semua staf yang terlibat dalam pembuatan film-film Ghibli untuk memberikan mereka nyawa pada setiap karakternya.
“You’re drawing people, not characters. It’s important to draw them as full human beings,” ucap Miyazaki dalam dokumenter itu.
Pandangannya dalam memperlakukan karakter sebagai makhluk bernyawa, membuat Studio Ghibli selalu menekan pada pergerakan dan motivasi dibaliknya. Ini tak hanya disampaikan lewat karakter utamanya yang selalu punya alasan menginisiasi tindakan. Berjuang untuk terus hidup bagi dirinya sendiri dan orang lain. Tetapi ini juga disampaikan lewat kerumunan orang di dalam latar.
Di dalam film-film Ghibli, kerumunan orang digambarkan lengkap dengan wajah, gerak-gerik dan raut muka mereka. Bukan sebagai figur-figur gelap atau sosok tanpa wajah. Mereka terlihat punya kesibukannya masing-masing. Pergerakan mereka timbul atas motivasi untuk melakukan sesuatu. Dan inilah yang ingin ditekankan Miyazaki bahwa dalam masyarakat yang berfungsi dengan baik, setiap manusia punya perannya masing-masing. Tak ada satu pun yang tak berharga.
Bersamaan dengan nyawa dalam karakternya, dalam penelitian Hiroshi Yamanaka, profesor dari universitas Tsukuba The Utopian “Power to Live”: The Significance of the Miyazaki Phenomenon (2014), dituliskan. Hal yang membuat film-film Ghibli terasa hangat dan punya daya magis sendiri untuk tinggal di dalamnya juga tak terlepas dari cara Studio Ghibli yang dibangun oleh Miyazaki untuk menselebrasi kehidupan.
“We depict hatred, but it is to depict that there are more important things. We depict a curse, to depict the joy of liberation.”
Yamanaka lalu melanjutkan dalam penelitiannya bahwa usaha Miyazaki memotret dan menggambarkan selebrasi kehidupan dalam karya-karya Studio Ghibli terlihat dari bagaimana ia mencoba untuk mengekspresikan kekayaan hidup tanpa berurusan dengan kematian dan jarang membahas realitas kematian secara langsung dalam karya-karyanya.
Dalam Spirited Away (2004) dan Ponyo on the Cliff by the Sea (2008) misalnya, dengan unsur fantasi yang begitu kental Miyazaki tetap bisa mengeksplorasi keseruan petualangan Chihiro di dunia para Kamisama dan pencarian jati diri Ponyotanpa membuat keduanya harus berhadapan dengan situasi hidup dan mati yang begitu mengerikan.
Napier dalam bukunya pun menambahkan. Selebrasi dari kehidupan dari film-film Ghibli juga terlihat dari intensi Miyazaki menekankan pada penonton bahwa ada kesempatan bagi manusia untuk bisa memperbaiki diri dan mengapresiasi hidup yang mereka punya.
Baca Juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Pada dokumenter NHK yang samaMiyazaki sebagai jantung dari Studio Ghibli sering kali mengubah dialog antar karakter. Dalam film Wind Rises (2013) misalnya, adegan di akhir film yang asli menceritakan Naoko yang mengatakan 来て(Kite) atau berati datanglah kepada Jiro yang menunjukkan bahwa Naoko mengundang Jiro untuk bergabung dengannya di dunia kematian. Adegan ini kemudian diubah oleh Miyazaki. Dalam versinya yang sekarang, Naoko justru mengatakan 生きて (Ikite) pada Jiro yang artinya “Hiduplah”.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Miyazaki saat menggarap Mononoke Hime dengan kata 生きろ(Ikiro) oleh Ashitaka kepada putri Mononoke. Perubahan diksi ini terdengar sederhana, tetapi ini menandakan filosofi Miyazaki. Bahwa di tengahnya kacaunya dunia masih ada pertemuan dan hal-hal indah lain yang bisa temui dalam kehidupan ini. Sehingga kita perlu hidup dengan seutuhnya. Semampu yang kita bisa.
“People must live their lives fully. Within their given boundaries in their own era. Live as fully as possible. That’s all we can do.”