Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan
Selama pemikiran mengenai kebahagiaan perempuan adalah tabu, jadi fangirls K-Pop pun menghadapi stigma.
Pembahasan soal K-Pop tidak pernah surut dari dunia maya, mulai dari para idola itu sendiri, perilaku penggemar, sampai penggunaan avatar di akun-akun media sosial. Baru-baru ini beberapa media menyoroti para penggemar penyanyi pop Korea alias K-Pop lewat serangkaian infografik.
Infografik pertama muncul dari sebuah media berita dengan slogan “News We Can Trust” yang membahas dana minimal yang dikeluarkan untuk menjadi penggemar fanatik. Kemudian muncul infografik kedua tentang tingkat-tingkat penggemar, mulai dari penggemar tingkat rendah hingga tinggi. Infografik-infografik tersebut dilengkapi dengan data dari psikolog, dengan menuliskan di seluruh kategorinya bahwa para penggemar itu memiliki tahap halusinasi.
Infografik tersebut kemudian memicu kemarahan warganet, baik dari kalangan penggemar sendiri maupun bukan. Salah satu kecaman yang paling banyak muncul terhadap infografik itu adalah, “Penggemar, termasuk penggemar fanatik tidak hanya ada di K-Pop, tapi juga anime, dangdut, bahkan politik dan sepakbola. Lalu kenapa hanya K-Pop yang dipermasalahkan?”
Salah satu pelopor K-Pop masuk ke Indonesia adalah boyband Super Junior dan Bigbang. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak idola dari Korea Selatan, baik grup musik maupun aktor dan aktrisnya. Pangsa pasar mereka adalah perempuan, sama dengan pangsa pasar di negara asal mereka. Walaupun banyak juga laki-laki yang menjadi penggemar K-Pop, terutama karena maraknya grup vokal perempuan, namun penggemar fanatik cenderung didominasi perempuan.
Ketika perempuan memutuskan untuk menjadi seorang penggemar, ia dapat memilih untuk menyukai siapa yang ia mau, ia bisa mengandaikan bagaimana kehidupannya yang akan ia alami. Perempuan bisa memilih apa yang mereka ingin lakukan dan mereka bisa memutuskan untuk melakukan sesuatu. Pada sisi yang paling dalam, perempuan bisa memilih bagaimana mereka ingin bahagia.
Selama ini, perempuan selalu menjadi pihak menerima; menerima siapa yang datang padanya, menerima apa yang ditetapkan padanya. Perempuan kemudian dituntut untuk tidak mengandaikan masa depannya tanpa gambaran hidup bahagia bersama pasangan, termasuk dengan menuruti pasangan. Ketika perempuan kemudian hanya diberi pilihan bahwa kebahagiaanmu adalah apa yang ditetapkan orang lain atasmu, maka keadaan perempuan dapat memilih sendiri kebahagiaannya adalah hal tabu.
Stigma terhadap penggemar K-Pop mengacu pada bagaimana menjadi penggemar K-Pop melemahkan maskulinitas laki-laki. Mereka kemudian seakan dipaksa untuk mengungguli para idola Korea. Perasaan kalah kemudian membawa mereka menyalahkan para penggemar perempuan, karena mereka merasa perempuan itu seharusnya hanya melihat mereka, bukan laki-laki asing yang menari.
Soal maskulinitas ini juga terkait dengan para penggemar fanatik laki-laki, yang sebagian besar menikmati “hobi laki-laki” seperti sepakbola, Gundam, dan politik. Hobi-hobi ini selalu diangkat sebagai hal yang positif. Bahwa sangat wajar menggelontorkan uang sekian banyak karena ini adalah hobi yang “wajar”.
Ada satu minat laki-laki yang dipandang remeh, yakni terhadap anime atau animasi Jepang. Lalu mengapa mereka tidak dieksploitasi seperti para penggemar K-Pop? Beberapa menyebutkan bahwa wibu (panggilan akrab penggemar budaya Jepang) sudah termasuk yang disingkirkan dari lingkaran pertemanan secara alamiah, sehingga mereka hanya bergaul dengan sesama mereka. Ketika hobi anime ini bisa meningkatkan pandangan negatif perempuan terhadap laki-laki, maka pilihan terakhir adalah dengan memberikan mereka lingkaran pertemanan sendiri sehingga tidak mengganggu yang lain.
Laki-laki yang menjadi penggemar girlgroup juga menghadapi isolasi yang sama. Dalam pernyataan tentang maskulinitas disebutkan bahwa menyentuh “hobi perempuan” adalah hal yang mengurangi nilai maskulinitas seseorang. Para laki-laki “normal” menganggap fanboys sama dengan banci dan atau gay.
Stigma terhadap penggemar K-Pop tidak sekadar pada soal membuang-buang uang atau menyaksikan tarian yang tidak jelas, tapi juga merupakan opresi kepada perempuan yang memilih untuk memutuskan memiliki hobi ini dan terlibat jauh di dalamnya. Karena selama pemikiran mengenai kebahagiaan perempuan adalah tabu, maka pilihan menjadi fangirls ini akan selamanya menjadi bahan berita menarik di media.
Pada akhirnya, perempuan tetap diharuskan untuk kembali pada hobi-hobi yang underground, tidak terlihat. Perempuan terus dipaksa untuk “kembali ke jalan yang benar”. Jika lewat K-Pop perempuan naik ke permukaan, maka mereka harus merepresi hobi-hobi itu. Mungkin ada satu dan dua pihak dari para penggemar K-Pop itu sendiri yang memang memancing keributan, tapi selebihnya, kami hanya individu yang melakukan hobi kami, sama seperti anda yang melakukan hobi anda. Tekan kami ketika kami mencari kebahagiaan, maka kami akan semakin muncul untuk memperjuangkan kebahagiaan kami.