Tragedi Kanjuruhan: Antara Gas Air Mata dan Silat Lidah Aparat
Sepanjang sejarah sepak bola global, penggunaan gas air mata telah menyebabkan banyak bencana di stadion.
Pada (1/10), kita diguncang oleh tragedi mematikan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa, Timur. Sebanyak 132 orang meninggal dunia, 370 lainnya luka. Di tengah perdebatan baru soal penggunaan gas air mata aparat polisi yang ditengarai menyumbang stampede massa, kejadian ini sendiri dilaporkan menjadi salah satu bencana olahraga terburuk di dunia.
Beberapa komunitas sepak bola di Jerman dan Spanyol menyatakan simpati mereka kepada para korban dan mengutuk polisi atas tindakan kekerasan yang memicu tragedi itu.
Tragedi berupa insiden saling injak itu terjadi setelah polisi menembakkan gas air mata ke kerumunan penonton di tribun, padahal FIFA telah melarang penggunaan “gas pengendali massa” dalam pertandingan sepak bola.
Sebagai akademisi Hubungan Internasional yang fokus pada isu keamanan nasional, saya berpendapat dari tragedi itu, kita patut menyoroti kembali masalah penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Catatan Penting tentang Manajemen Keselamatan Kerja
Polri, Sepak Bola, dan Gas air mata
Kerusuhan sepak bola sebenarnya sering terjadi di Indonesia. Hingga Agustus 2022, tercatat ada 79 orang yang tewas dalam insiden terkait kompetisi sepak bola Indonesia sejak gelaran Liga Indonesia 1994.
Polisi kerap menggunakan gas air mata untuk mengendalikan kerumunan di stadion.
Pada pertandingan final Piala Presiden 2019 antara Persebaya Surabaya melawan Arema FC di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, polisi menembakkan gas air mata untuk mencegah pendukung – yang tak memiliki tiket – masuk secara paksa ke dalam stadion.
Pada 3 Juni 2012, pendukung tewas setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah penonton di stadion GBT. Pada (15 /9), polisi kembali menembakkan gas air mata ke arah pendukung yang sedang rusuh.
Selepas tragedi Kanjuruhan, Kepala Kepolisian Jawa Timur justru membela penggunaan gas air mata oleh aparat di lapangan, dengan alasan tindakan tersebut sudah sesuai prosedur kepolisian.
Sepanjang sejarah sepak bola global, penggunaan gas air mata telah menyebabkan banyak bencana di stadion, termasuk tragedi Estadio Nacional di Lima, Peru, 1964; insiden Stadion Olahraga Accra di Ghana, 2001; dan kerusuhan Stadion Port Said di Mesir, 2012.
Di Indonesia, polisi juga menggunakan gas air mata untuk membubarkan protes di acara-acara selain olahraga. Pada 2020, dalam rangkaian aksi protes terhadap rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja – kini sudah disahkan menjadi UU — polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa di Jakarta, Semarang (Jawa Tengah), Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta, dan Jambi.
Tahun ini, Polri mengalokasikan sebesar Rp160 miliar (US$10,4 juta) untuk pengadaan gas air mata. Sejak 2013, pengeluaran terbesar untuk pengadaan gas air mata adalah sebesar Rp332,1 miliar (US$21,7 juta), yakni pada 2017. Kemudian yang terbesar kedua adalah Rp226,9 miliar (US$14,7 juta) pada 2020.
Baca juga: Heboh Tragedi Arema, Kenapa Polisi Suka Bertindak Represif?
Kepengurusan PSSI yang Bermasalah
Polisi mengklaim mereka tidak mengetahui adanya larangan FIFA atas penggunaan gas air mata di stadion. Pun, yang mereka lakukan telah sesuai dengan prosedur.
Rasanya aneh jika Kepolisian tidak mengetahui larangan gas air mata tersebut, mengingat Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) saat ini, Mochamad Iriawan, adalah seorang purnawirawan polisi. Seharusnya ia justru lebih bisa berkomunikasi dan berkoordinasi dengan polisi mengenai aturan itu.
Sebaliknya, Iriawan malah mengaku asosiasi yang dipimpinnya itu belum memasukkan larangan gas air mata ke dalam kerangka mitigasi risiko mereka. Hal ini jelas semakin memicu kemarahan publik.
PSSI jelas telah melanggar aturannya sendiri, yakni Pasal 56 Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI. Pasal tersebut menyatakan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan tersebut, termasuk larangan gas air mata, harus mengacu pada peraturan keselamatan dan keamanan FIFA dan Asian Football Confederation (AFC).
PSSI juga telah melanggar hak-hak pendukung sepak bola yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan (SKN) yang baru-baru ini disahkan.
Play the Game, sebuah lembaga yang diinisiasi oleh Institute for Sports Studies Denmark (Idan), dalam laporannya pada 2021, telah menyebutkan adanya ketidakefektifan dalam tata kelola PSSI.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa PSSI telah gagal menjamin integritas para pemangku kepentingannya. Dengan demikian, dapat diprediksi aspek penting lainnya dalam pengelolaan sepak bola oleh PSSI patut diawasi.
Kegagalan PSSI dalam memenuhi kewajibannya untuk menyelenggarakan liga sepak bola yang aman dan kondusif dapat dikaitkan dengan buruknya manajemen internal asosiasi dan mengakarnya korupsi dalam tubuh PSSI selama bertahun-tahun.
Tingginya popularitas sepak bola di Indonesia telah membuat olahraga ini menjadi sangat rentan dipolitisasi – sebuah fenomena yang sering dibahas oleh para akademisi dan media massa.
Singkatnya, kita harus memastikan bahwa PSSI dan institusi kepolisian dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam manajemen pertandingan, sehingga ke depannya, jangan sampai ada lagi pelanggaran terhadap hak asasi manusia maupun peraturan FIFA. Tidak ada pertandingan sepak bola yang seharga nyawa.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.