December 6, 2025
Issues Politics & Society

#MerdekainThisEconomy: ‘Good Bye Passion’, Jalan Aman Gen Z buat Bertahan

Di kondisi ekonomi kini, kerja sesuai ‘passion seperti privilese. Padahal, itu hak fundamental kita sebagai warga negara.

  • August 20, 2025
  • 8 min read
  • 3588 Views
#MerdekainThisEconomy: ‘Good Bye Passion’, Jalan Aman Gen Z buat Bertahan

Notifikasi grup percakapan geng kuliah saya berbunyi, menampilkan pesan dari teman fresh graduate yang baru lulus awal tahun ini. 

Guys, ada HRD yang mau wawancara gue,” tulis dia di percakapan. 

Sontak saya dan teman-teman lain senang dengan kabar bahagia itu. Setelah luntang-lantung mencari kerja selama hampir enam bulan, akhirnya teman saya akan melepas gelarnya sebagai pengangguran

Namun, belum sempat saya mengucapkan selamat, ia mengirim pesan baru. 

Tapi, posisi finance,” tuturnya, melempar kebingungan ke grup. 

Selama ini, teman saya memang lebih banyak bergelut di community, bidang yang ia minati. Ia senang menyusun program dan kegiatan, menjadi jembatan komunikasi antara perusahaan dan masyarakat, serta terlibat dalam pemasaran dan promosi produk atau layanan perusahaan ke komunitas. 

Sementara finance atau keuangan bukanlah bidang yang ia minati. Menyentuhnya saja tidak pernah. 

“Terima aja. Urusan bisa apa enggak, belakangan,” komentar teman saya yang lain. Komentar itu dibalas dengan berbagai tanggapan serupa, yang menyuruh teman saya untuk mengiyakan ajakan wawancara.  

Kemudian, obrolan di grup seketika berubah menjadi deep talk. Salah satu teman saya curhat. Kata dia di kondisi ekonomi saat ini rasanya enggak ada pilihan buat kerja sesuai dengan renjana atau passion. Menurutnya, bisa dapat kerjaan saja sudah Alhamdulillah. Apa pun pekerjaan yang tersedia, selama gaji di kisaran Upah Minimum Provinsi (UMP) maka akan diambil, walaupun jauh dari passion

Meskipun yang disampaikan teman saya pahit, semua teman-teman di grup setuju. Di momen itu saya menyadari ternyata banyak teman-teman saya terjebak di dalam pekerjaan yang bukan passion-nya. 

Obrolan itu pun menjadi refleksi untuk saya. Saat ini saya bisa dibilang punya privilese karena bisa magang sesuai passion: Jurnalistik. Ditambah saya mendapat uang saku yang layak, lingkungan kerja nyaman, dan teman-teman suportif. 

Namun, bukan berarti saya bebas dari rasa khawatir. Di tengah kondisi ekonomi sekarang, saya kerap bertanya-tanya apakah menjadi jurnalis bisa menghidupi saya di masa depan. Apalagi, mimpi menjadi jurnalis datang dengan tantangan besar: Gaji tidak memadai, tekanan kerja tinggi, dan kerentanan profesi. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Mahasiswa Kelas Menengah Terimpit Privilese dan Beban Finansial 

Antara Mimpi dan Realitas Ekonomi 

Saya masih ingat saat pertama kali mengungkapkan cita-cita menjadi jurnalis kepada salah satu editor di sebuah media. Kala itu sedang ada pelatihan jurnalistik di lembaga pers mahasiswa yang saya ikuti. Sang editor bertanya kepada seisi ruangan siapa yang ingin jadi jurnalis

Dengan percaya diri saya tunjuk tangan. Tangan saya mengacung setinggi idealisme mahasiswa. Maklum, euforia mahasiswa baru. 

Tak lama setelah itu, sang editor terbahak. “Ngapain mau jadi jurnalis? Gajinya kecil,” ia berkelakar. 

Candaannya memecah seisi ruangan. Saya ikut tertawa dan menganggap itu sebagai angin lalu saja. Namun semakin ke sini, candaan tersebut kian melekat di kepala. Sejak mengalami magang di beberapa media, sedikit banyak saya paham dinamika dunia jurnalistik: Banyak yang digaji di bawah UMP, atau dibayar berdasarkan klik berita. 

Mengutip Good Stats, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2024, 34,2 persen jurnalis Indonesia belum mendapatkan upah yang layak berdasarkan UMP. Mayoritas jurnalis Indonesia (32,9 persen) menerima upah di rentang Rp2,5 juta-Rp4 juta. Kemudian 30,2 persen jurnalis mengaku mendapat gaji di bawah Rp2,5 juta perbulan. 

Sedangkan, mengutip Kompas, standar hidup layak di Jakarta membutuhkan biaya lebih dari Rp6 juta per bulan. Lebih besar dibanding upah minimum Jakarta yang sebesar Rp5,3 juta.  

Biaya sewa tempat tinggal, transportasi, makan sehari-hari, hingga kebutuhan darurat sering kali membuat gaji bulanan cepat habis bahkan sebelum akhir bulan. Angka Rp2,5 sampai Rp4 juta–yang menjadi kisaran penghasilan mayoritas jurnalis–jauh dari cukup jika dibandingkan dengan standar hidup layak.  

Belum lagi gaji tersebut enggak hanya dipakai untuk kebutuhan pribadi, tapi juga buat membantu kebutuhan keluarga. Dengan kondisi seperti itu, rasanya sulit membayangkan bagaimana profesi jurnalis bisa survive di Jakarta. 

Kenalan saya yang juga seorang jurnalis bahkan harus mencari pekerjaan sampingan. Ia sampai bekerja di lima tempat sekaligus untuk bisa bertahan hidup di Jakarta. 

Masalahnya, dengan gaji yang pas-pasan, jurnalis harus berhadapan dengan kerentanan yang tinggi. AJI Indonesia mencatat di tahun 2024 ada total 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media.  

Jenis-jenis kekerasan tersebut meliputi kasus kekerasan fisik, teror dan intimidasi, pelarangan proses peliputan berita, ancaman, serangan digital, panggilan klarifikasi pada polisi, kekerasan gender, gugatan perdata terhadap perusahaan media, kasus sensor di ruang redaksi, hingga yang paling parah pembunuhan. 

Kerentanan itu semakin berlapis saat negara enggak menunjukkan keberpihakan ke kebebasan pers. Contohnya di kasus kiriman kepala babi ke jurnalis perempuan Tempo, respons negara begitu tidak sensitif dengan menyuruh Tempo memasak kepala babi alih-alih menindak ancaman kebebasan pers dengan tegas.  

Ditambah dalam beberapa tahun ke belakang sedang ramai badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di media. Sampai beberapa media harus tutup karena enggak bisa bertahan di kondisi yang serba tidak pasti seperti sekarang. 

Berbagai risiko di atas adalah kumpulan kekhawatiran saya saat ini. Sebagai seseorang yang sebentar lagi lulus kuliah, dilema untuk mencari kerja sesuai passion atau gaji kerap menghantui kepala saya. 

Kekhawatiran saya hanya satu potret dari persoalan yang lebih besar. Banyak anak muda, terutama Gen Z, punya dorongan untuk mengejar passion dalam bekerja. Akan tetapi realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda: Tuntutan ekonomi membuat kami harus lebih dulu mengutamakan keamanan finansial dibanding mengejar minat atau idealisme. 

Berdasarkan penelitian Shinta Octavia dan Wulan Purnama Sari (2023), Gen Z sering melihat bekerja sesuai passion sebagai cita-cita yang ideal. Tetapi dalam kenyataannya, pilihan karier mereka juga dipengaruhi oleh faktor-faktor realistis seperti tekanan ekonomi, tuntutan sosial, serta peluang pengembangan karier.  

Dengan kata lain, keputusan untuk menentukan pekerjaan tidak semata-mata lahir dari keinginan pribadi, melainkan juga dari kondisi eksternal yang cukup kompleks. Karena itu, banyak Gen Z akhirnya mengambil jalur yang lebih aman dan pragmatis, misalnya dengan menjadi pegawai negeri atau masuk ke sektor industri yang dianggap lebih menjanjikan stabilitas finansial. 

Padahal, bekerja sesuai minat sebetulnya bukan sekadar soal idealisme belaka, melainkan juga bagian dari hak asasi manusia (HAM). 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Pesan untuk Putraku: Merdekalah dari Negaramu 

Bekerja Sesuai Passion itu HAM 

Hak kita untuk pekerjaan dan penghidupan yang layak telah dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), dan Pasal 28C Ayat (1). 

Enggak hanya hak bekerja, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) bahkan menegaskan, setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuannya. 

Bahkan, setiap orang juga memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Artinya, bekerja sesuai passion bukan sekadar soal idealisme, melainkan hak yang dilindungi hukum. 

Namun, jaminan yang seharusnya ditepati negara ini sering kali belum terwujud. Menukil IDN Times, berdasarkan riset Jakpat, sebanyak 85 persen Gen Z merasa sulit menemukan pekerjaan ideal di Indonesia. Dalam menentukan pilihan karier pun faktor utama yang dipertimbangan adalah gaji (65 persen), disusul dengan fleksibilitas waktu (48) persen.  

Artinya, Gen Z sulit punya ruang untuk bekerja di bidang yang ia minati sekaligus dengan gaji yang layak.  

Kondisi ini diperparah dengan ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Menukil Good Stats, pada 2024 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 909 ribu pencari kerja yang terdaftar, sementara lowongan kerja yang tersedia hanya 630 ribu. Akibatnya, sekitar 279 ribu pencari kerja tidak terserap. Situasi tersebut ikut mendorong tingginya angka pengangguran.  

Mengutip CNBC Indonesia, per Februari 2025 jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Dari angka itu, mayoritas berasal dari kelompok usia 15–24 tahun–rentang usia Gen Z–dengan jumlah mencapai 3,55 juta orang. 

Di tengah kondisi itu, bekerja sesuai passion seakan menjadi kemewahan. Seperti curhatan teman saya, in this economy pekerjaan apa pun akan diambil selama gajinya layak–meskipun sama sekali tidak sesuai dengan passion

Realitas memang membuat bekerja sesuai passion tampak seperti privilese. Namun, kita perlu mengingat kembali, konstitusi menjamin hak setiap orang untuk bekerja sesuai minat dan kemampuannya.  

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: 5 Bukti Perempuan Pekerja Belum Benar-benar Merdeka 

Kita Usahakan Bekerja Sesuai ‘Passion’ Itu 

In this economy, kerja sesuai passion memang tampak seperti utopia, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Tapi justru karena itu, kita enggak boleh berhenti menuntutnya.  

Kita perlu memandang kalau bekerja sesuai passion itu bukan privilese segelintir orang, melainkan hak fundamental yang dijamin konstitusi.  

Negara punya kewajiban untuk memastikan pasar kerja yang adil, membuka kesempatan yang lebih luas, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Karena itu, jangan biarkan kondisi hari ini dinormalisasi. Kita berhak atas pekerjaan yang sesuai passion, bukan cuma sekadar bekerja untuk bertahan hidup. 

Dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, Magdalene meluncurkan series artikel #MerdekainThisEconomy dari berbagai POV penulis WNI. Baca artikel lain di sini. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.