Politics & Society

Gundik yang Hidup Lagi

Kecuali bandot menampakkan diri, kemunculan kembali istilah gundik terkait pramugari Garuda adalah paket kombo patriarki dan bias moral.

Avatar
  • January 22, 2020
  • 5 min read
  • 741 Views
Gundik yang Hidup Lagi

Tidak, kamu tidak sedang membaca judul film horor. Pun kamu tidak sedang dikelabui oleh judul umpan klik—jika kamu memang terseret ke tulisan ini. Judul sudah apa adanya. Saya hanya tidak mau menambahkan tanda baca pada kata gundik.

Beberapa waktu lalu media sosial ramai dengan pembicaraan penyelundupan motor Harley-Davidson tipe Shovelhead keluaran tahun 1970-an oleh eks Direktur Utama Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara. Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir, memecat lelaki yang sepanjang tahun 2019 telah mendirikan lima anak perusahaan itu—yang salah satunya punya nama nyeleneh: Tauberes.

 

 

Perbincangan merentang begitu tersibak bahwa perbuatan lancung Ari tak cuma tentang motor retro, tetapi juga pramugari. Perselingkuhan itu mula-mula dibeberkan oleh satu akun anonim @digeeembok di Twitter, yang membuat hampir seantero jagat maya geger.

Ada yang menarik untuk diselisik dari pergunjingan ihwal hubungan Ari dan pramugari itu, bagi saya. Bukan tentang si pramugari yang konon merombak wajah di luar negeri dengan uang negara. Pun, bukan soal dirinya yang dikabarkan “memanfaatkan” kebobrokan manajemen yang dibawahi oleh Ari untuk kenyamanan pribadi. Yang menarik adalah kepopuleran gundik, label yang warganet sematkan pada si pramugari.

Kasus ini juga telah meluas. Pekan lalu, pramugari lain melaporkan akun @digeeembok yang menuduhnya sebagai perempuan simpanan alias gundik Direktur Human Capital PT Garuda Indonesia Heri Akhyar. 

Kata gundik ini begitu mengganggu. Coba saya ingat-ingat lagi. Sebelum ini, apa saya pernah melihat gundik muncul dalam teks-teks pada sarana modern, seperti media sosial? Buat saya, gundik terlalu lawas. Apa warganet sedang keranjingan kosakata “usang”? Kenapa yang lain-lain, misalnya indekos atau semaput, tak turut muncul?

Gundik pada masa kolonial

Saya tak mengada-ada saat mengatakan bahwa kata gundik terlalu lawas buat saya, bahkan terlampau rungkuh alias tua. Gundik telah jauh eksis sejak era kolonial Hindia Belanda, seperti dikisahkan oleh Historia.

Karena di wilayah bumiputra jumlah perempuan yang berstatus sosial setara dan berasal dari satu ras begitu rendah, banyak lelaki Belanda meminta perempuan lokal untuk dijadikan teman hidup. Reggie Baay, penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010), menuturkan bahwa tak jarang seorang istri direnggut dari suaminya atau seorang gadis diambil dari keluarganya dan kemudian ditebus dengan uang. Perempuan-perempuan itulah yang disebut gundik.

Baca juga: 9 Kata untuk Perempuan, 1 Kata untuk Laki-Laki

Hidup bersama laki-laki Belanda tak membuat perempuan penduduk asli bernasib lebih baik. Seorang gundik dapat diperlakukan dengan semena-mena, dicampakkan kapan saja, dilarang bersentuhan dengan anaknya, dan “dilelang” kepada lelaki Belanda lain. Anaknya yang berdarah campuran pun dianggap bermartabat lebih tinggi daripada dirinya. Itu belum termasuk tudingan “perempuan materialistis” yang dilemparkan oleh para kolonialis. Cemoohan berbau religius, moral, dan rasial pun tak luput.

Inferioritas yang datang dari dua kondisi sekaligus, yaitu sebagai bangsa terjajah dan orang kulit cokelat, membuat perempuan-perempuan itu tak memiliki pilihan lain. Jangankan melawan ketika diboyong oleh tuan kulit putih, membantah ayah atas perintah untuk “menyerahkan diri kepada majikan” saja mereka tak kuasa.

Jadi, gundik tak sekadar mengingatkan kepada pernak-pernik lampau, tetapi lebih jauh mengingatkan kepada memori pahit. Ada pengabaian saat kata gundik digunakan sedemikian rupa untuk menyudutkan perempuan yang dipandang beraib … seorang diri.

Bangkit, kemudian melejit

Jika kita berbalik kepada tempo sekarang, keadaan tak cukup berbeda. Praktik patriarkal belum putus umur; ia masih dirawat dengan baik oleh para simpatisannya. Kembalinya gundik ke banyak mulut—atau lebih tepat jari—awam adalah salah satu bukti langgengnya sikap memojokkan perempuan.

Ketenaran gundik yang sekonyong-konyong ini menimbulkan decak lidah saya. Maksud saya, dulu saya cuma menjumpai gundik—atau saya yang kurang piknik?—dalam novel-novel tahun 1980-an atau kitab-kitab suci agama samawi yang berbahasa beku. Sebelumnya pun masyarakat kiwari banyak menggunakan kata pelakor atau lonte untuk mengecilkan perempuan yang menjadi “kekasih gelap”, atau istri tidak sah lelaki yang sudah menikah.

Akun Twitter yang membeberkan skandal itu, saya pikir, merupakan yang pertama menyebut gundik dalam semesta pergosipan Ari dan si pramugari. Kemudian para pengikutnya dan pengguna Twitter pada umumnya mengekor.

Baca juga: Perempuan dan LGBT di Media Online: Direndahkan dan Dilecehkan Demi Konten

Sementara itu, sebagian dari mereka, saya amati, tadinya belum mafhum apa itu gundik. Menariknya lagi, begitu gundik saya tikkan pada kolom penelusuran Google, akan keluar saran pencarian seperti “gundik adalah”, “gundik bahasa apa”, dan “gundik kbbi”. 

Barangkali gundik tadinya pernah meragas ke permukaan ketika Bumi Manusia dikemas ulang oleh Hanung Bramantyo menjadi film pop yang meramaikan layar lebar arus utama. Itu tentu saja dipengaruhi oleh tokoh Nyai Ontosoroh. Namun, energi yang menempel pada gundik saat itu jelas tak negatif, sebagaimana pada gundik hari ini, yang ditudingkan kepada si pramugari.

Wah! Bukankah cara kerja warganet dalam bergibah begitu prima, sampai-sampai membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dilongok dan etimologi suatu kata dikorek? Eh, maaf, saya betulkan: bukankah cara kerja warganet dalam merendahkan perempuan begitu prima?

Kecuali saya melihat bandot juga menampakkan diri di tengah samudera cakap warganet, saya tak bakal tarik asumsi di atas. Namun itu nyaris mustahil karena Ari yang berotoritas di paling atas itu malah kebagian sedikit sorot lampu. Paket kombo patriarki dan bias moral yang gemar mengarak perempuan laris sampai kini.

Jadi, apa ini berarti warganet yang permisif terhadap laku diskriminatif dibutuhkan untuk memopulerkan kata yang pernah tenggelam atau belum memasyarakat? Juga, apakah dengan begitu hanya kata berkonotasi negatif yang punya peluang? Semoga tidak.


Avatar
About Author

Dini Febriani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *