Hormati Gita Savitri, Perempuan Memang Bebas Pilih Punya Anak atau Tidak
Hanya perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun, bukan berarti mereka harus melakukannya jika tak mau.
Kreator konten Gita Savitri dan suaminya, Paul Andre Partohap baru-baru ini memutuskan untuk bicara terbuka soal keengganan punya momongan. Keputusan itu diungkapkan mereka dalam sebuah video di akun Youtube-nya. Buat keduanya, memiliki anak adalah tanggung jawab yang besar dan harus berdasarkan rencana yang matang.
“In my honest opinion, lebih gampang enggak punya anak daripada punya anak, karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya anak,” ujar perempuan yang berdomisili di Jerman tersebut.
Menjadi orang tua di sisi lain memang bukan hal yang relatif mudah, butuh kesiapan dari segala aspek. Sebab, tanggung jawab jadi orang tua tak selesai dengan hamil dan melahirkan saja, tapi juga mengurus pendidikannya dan menjamin mereka. Ini berlangsung seumur hidup, sehingga ada beberapa yang memilih untuk tak punya anak (child-free) karena pelbagai alasan, termasuk ketidaksiapan mental, fisik, dan finansial. Ada juga yang memang tak memiliki anak karena alasan keguguran, trauma, atau infertilitas.
Sayangnya, mayoritas warga terlanjur menormalisasi bahwa perempuan yang memilih tak punya anak adalah perempuan “durhaka”, tak tahu bersyukur, dan seterusnya. Tanpa merasa perlu menanyakan motif keengganan mereka untuk punya anak, berbagai tuduhan ini melayang tepat ke sasaran.
Buat saya sendiri, pemikiran semacam itu masih sangat konvensional di zaman yang sudah serba digital. Anggapan bahwa seorang perempuan sudah pasti menginginkan anak hanya asumsi mereka sendiri saja. Tidak pernah ada yang benar-benar bertanya kepada perempuan: “Ingin punya anak atau tidak?”, “Ingin punya anak berapa?”, “Siap tidak memiliki anak?”. Pasalnya, buat mereka, memang sudah seharusnya perempuan itu melahirkan seorang anak, seakan-akan perempuan adalah mesin produksi.
Baca juga: Investasi 3 Miliar dan Salah Fokus dalam Diskursus Soal Punya Anak
Hamil, melahirkan, menyusui, atau kerja reproduksi memang hanya dimiliki perempuan, tetapi perempuan sendiri lah yang menentukan ingin melakukannya atau tidak. Bagi perempuan yang belum siap atau bahkan sebenarnya tidak menginginkan keturunan, maka memaksakan atau mendesak hal ini salah alamat.
Sudah disuruh punya anak, begitu melahirkan masih harus menghadapi dunia pengasuhan yang tanggung jawabnya lebih besar ditimpakan pada perempuan. Banyak sekali beban yang harus ditanggung oleh perempuan.
Di sisi lain, jika seorang perempuan mengungkapkan kejujurannya untuk tidak memiliki anak, masyarakat akan kompak menyebut mereka menyalahi kodrat. Pun, bisa juga mereka dicap durhaka lantaran tidak mau menyenangkan pasangan, belum jadi perempuan seutuhnya, dan lain-lain.
Sudah Waktunya Menormalisasi Child-free
Child-free sendiri dimaknai sebagai keputusan pasangan untuk tak memiliki anak. Sebagian dari mereka cenderung merasa memiliki kebebasan tanpa dibatasi oleh keberadaan anak. Sah-sah saja sebenarnya keputusan untuk memilih tidak memiliki anak, hanya saja di Asia lebih tepatnya di Indonesia, fenomena ini masih asing dan tabu. Padahal dimanapun tempatnya, perempuan berhak akan tubuh dan dirinya sendiri. Bahkan, pasangannya tidak sepenuhnya berhak untuk ikut campur.
Baca juga: Takut Hamil dan Melahirkan? Kamu Mungkin Alami Tokofobia
Tak hanya itu, perlu diketahui perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak bukan termasuk orang yang egois. Buat saya, mereka tentu memiliki berbagai alasan yang tidak perlu kita semua harus tahu. Bisa jadi standar kebahagiaan mereka tak diukur dengan pencapaian ini. Bisa saja alasan itu berangkat dari kemampuan finansial, trauma masa lalu, sisi psikologis, terkait emosional, bahkan latar belakang keluarga.
Baca juga: Salah Sendiri Punya Anak: Derita Orang Tua di Era Pandemi
Dengan keputusan mereka untuk child-free, mereka justru bisa fokus ke diri sendiri maupun pasangan. Perempuan sudah jelas sejatinya akan tetap menjadi perempuan yang sempurna dan berharga dengan atau tanpa memiliki anak. Hamil dan memiliki anak bukanlah sebuah kewajiban bagi perempuan, tetapi jadi anugerah, sebagian bisa menjelma musibah jika tak siap.
Semua perubahan harus memiliki kesiapan, apalagi jika perubahan itu tergolong besar dan mampu mengubah hidup seseorang. Bebaskan saja perempuan untuk kapan ingin memiliki anak dan hormati keputusannya apabila tidak ingin memiliki anak. Apabila dipaksa, perempuan justru rentan mengalami depresi dan stres.
Karena ini pula, saya menyarankan agar pasangan sebelum memutuskan menikah, mendiskusikan terlebih dahulu soal ini. Bukankah berumah tangga harus saling mengerti dan menghormati keputusan satu sama lain? Buat saya, pernikahan tujuannya tidak melulu soal anak, tetapi memiliki pasangan hidup sampai akhir hayat, memiliki teman untuk berbagi cerita dan bertukar pikiran. Lagipula definisi keluarga juga kita yang ciptakan sendiri kok.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.