Aku Tahu Ghibli Jualan Nostalgia, tapi Aku Menikmatinya
Nostalgia katanya bisa bikin kita ketagihan dan bahagia. Enggak heran jika ini sering jadi bahan jualan di berbagai budaya populer kita.
Sejak kecil aku mencintai animasi. Saking cintanya, aku bisa menghabiskan waktu seharian menonton animasi di TV nasional, kaset, atau DVD yang papa belikan. Semua animasi, dari Barat atau Jepang aku lahap, tapi kecintaanku yang terbesar jatuh pada anime produksi Ghibli.
Rasa-rasanya sudah enggak terhitung berapa puluh kali aku tonton ulang film-film animasi Ghibli. Bahkan di usiaku yang menjelang 30 tahun ini, aku kerap curi-curi waktu nonton film Ghibli di jam istirahat kerja.
Kecintaan pada film Ghibli membuatku “nekat” menonton konser orkestra yang membawakan soundtrack film-film studio itu, (13/5) lalu. Datang bersama empat kawan–barisan berani mati demi Ghibli–aku merasakan momen paling bahagia dalam hidup di konser bertajuk “The Legends 8 – Symphonic Tales from Ghibli & DreamWorks”.
Aku menangis. Tubuhku merinding. Lagu-lagu yang familier sejak kecil itu demikian merasuk ke hati. Bahagia sekali sampai-sampai aku berharap bisa menekan tombol pause selamanya. Bahkan, aku merasa semua permasalahan terselesaikan dan beban hidoep terasa lebih ringan.
Baca Juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu
Nostalgia yang Bikin Kita Bahagia
Ternyata kebahagiaan yang berlarut-larut pasca-menonton langsung konser orkestra Ghibli tidak hanya dialami oleh diriku saja. Temanku Kei bercerita bagaimana konser orkestra Ghibli itu sukses membangkitkan nostalgia masa kecilnya.
Kei pertama kali menonton film-film studio Ghibli saat duduk di kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Kala itu ayahnya yang baru pulang dari Taiwan membelikan DVD kompilasi film Ghibli, mulai dari Laputa Castle in The Sky (1986) sampai Spirited Away (2001). Saat menonton, Kei pun tersihir oleh realisme magis film-film Ghibli dan membuatnya jadi cinta pada studio Jepang satu ini.
Enggak heran saat menonton konser orkestra tempo hari, Kei bahagia luar biasa. Apalagi sebelum datang ke konser ia mengaku sedang dilanda stres yang cukup berat.
“Terharu banget. Aku jadi mengenang kembali masa-masa bahagia yang masih simpel. Nostalgic banget dan bahagianya itu masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Apalagi sebelum nonton ini (konser orkestra) aku sempet ada di situasi di bawah tekanan yang enggak bisa aku tahan sampai aku kaya mau muntah,” curhat Kei kepadaku.
Hal senada dialami Anisa, temanku yang lain. Ia cerita betapa bahagia menonton konser itu. “Sumpah nonton Ghibli kemarin itu bisa lepas stres, paginya masih kebayang-bayang banget euforianya. Jadi bisa ngejalanin Senin lebih enteng. Beneran releasing anxiety dan another pain nostalgia itu. Gue sih merasa gitu ya,” kata Anisa.
Kebahagiaan yang dirasakan aku, Kei, dan Anisa karena nostalgia ternyata bisa dijelaskan dengan pengetahuan. Melansir dari Neurology Live, platform media digital untuk para profesional neurologis dijelaskan, nostalgia menstimulasi aktivitas metabolisme dan aliran darah di beberapa wilayah otak, terutama di area frontal, limbik, paralimbik, dan otak tengah. Pusat penghargaan di otak, termasuk hippocampus, substantia nigra, area tegmental ventral, dan ventral striatum diaktifkan selama aktivitas nostalgia.
Mendengarkan musik yang membangkitkan nostalgia misalnya, secara spesifik merangsang girus frontal inferior, substantia nigra, otak kecil. Keterlibatan pusat penghargaan di otak kita inilah jadi alasan kenapa kita bisa merasakan emosi yang menyenangkan.
Respons positif yang ditimbulkan oleh nostalgia juga membantu melindungi kita dari beban emosional akibat kekecewaan situasional serta kecemasan. Karena itu, nostalgia juga bisa digunakan sebagai strategi koping. Mendengarkan musik jadul, melihat foto-foto lama, atau mengunjungi tempat yang menyimpan memori indah masa lalu bisa membuat kita jadi lebih bahagia.
Baca Juga: ‘The First Slam Dunk’: Nostalgia Manis yang Berbalut Cerita Duka
Kekuatan yang Dijadikan Komoditas
Selain bikin happy, nostalgia juga ternyata punya kekuatan super lain. Krystine Batcho, PhD, profesor psikologi di LeMoyne College kepada American Psychological Association (APA) bilang, nostalgia membantu kita memperkuat keterhubungan sosial. Simpelnya, nostalgia membuat kita bisa lebih erat dan akrab dengan orang-orang di sekitar kita. Alasannya karena nostalgia mampu membangkitkan rasa empati dan welas asih.
“Ini adalah bagian dari apa yang mengikat kita dengan orang-orang terpenting dalam hidup, orang tua, saudara, teman-teman. Seiring dengan perjalanan hidup, nostalgia dapat meluas ke lingkup yang lebih luas dan fenomena keterhubungan sosial yang ditimbulkan nostalgia adalah emosi pro-sosial yang sangat sehat dan bermanfaat,” ungkap Batcho.
Apa yang diungkapkan Batcho tergambar jelas dari pengalaman Nadya, temanku yang ikut menonton konser Ghibli. Nadya bercerita nostalgia yang dibawa konser orkestra Ghibli itu membuatnya jadi ingin berbincang lebih banyak denganku, Kei, dan teman-teman kami yang lain. Tidak hanya soal konser tetapi hal-hal lainnya yang membuat perbincangan kami terus berlangsung hingga nyaris tengah malam
Dengan kekuatan itulah, enggak heran kita dibuat jadi ketagihan mengecap kenangan. gayung bersambut, industri pun cerdik melihat peluang, lalu menjadikan nostalgia sebagai barang jualan.
Elle dalam artikel khususnya soal industri nostalgia menjelaskan, sebagai komoditas panas, nostalgia bahkan sudah jadi bagian terintegrasi dalam banyak teknik pemasaran. Ini jadi cara baru memasarkan barang yang pasti akan menghasilkan cuan.
Baca juga: Batal Puasa hingga Minta Tanda Tangan Imam Tarawih: Nostalgia Puasa Saat Masih Kecil
Contohnya, selama beberapa tahun terakhir kita melihat kembalinya tren fesyen ’50-an, ’60-an, ’70-an, ’80-an, ’90-an, dan ’00-an. Crop top, baju rajutan, jaket retro hingga celana cutbray kembali ngetren. Mereka dipakai generasi milenial hingga Gen X dalam keseharian.
Selain itu, nostalgia juga terlihat dari industri film dan televisi yang belakangan banyak merilis film atau serial sekuel, reboot, dan reuni. Dari rilis terbaru seperti Top Gun: Maverick, Ghostbusters: Afterlife, Buzz Lightyear, reboot Gossip Girl, The Matrix Resurrection, reuni Friends dan Harry Potter hingga Enchanted 2 hingga Legally Blonde 3 semua mengandalkan nostalgia sebagai bahan jualan.
Industri musik pun enggak mau ketinggalan. Kate Bush sekarang jadi favorit Gen Z, Avril Lavigne membuat ulang sampul albumnya 20 tahun kemudian, atau musik ABBA yang menjadi tren di TikTok. Strategi pemasaran musik bergeser, enggak cuma dalam format digital tapi juga kaset dan piringan hitam.
Di Indonesia sendiri, banyak tempat yang terang-terangan menunjukkan betapa indahnya nostalgia. M Bloc Space, Blok M, Jakarta salah satunya. Dikutip dari The Finery Report, dulunya tempat ini merupakan kompleks perumahan milik Perum Peruri. Sekarang tempat jadul ini disulap jadi telah pusat kreatifitas anak muda, dengan kafe, toko-toko khusus, ruang seni, dan ruang pameran. Melalui semua itu, M Bloc Space tetap mempertahankan arsitektur asli 1950-an dan merangkul masa lalu yang bersejarah.
“Old is the new New,” kata Handoko Hendroyono, CEO PT Ruang Riang Milenial (M Bloc Space), kepada The Finery Report.
Ia percaya, nostalgia berarti menghargai siapa kita, di mana kita pernah berada, dan daerah yang akan tetap menjadi tren untuk waktu yang lama. Faktor-faktor yang membuat kita merasa bernostalgia akan tetap ada dan berkembang bersama kita. Dengan demikian, nostalgia juga akan selalu ada dan akan terus jadi tren yang tidak akan pernah mati.