December 5, 2025
Issues Politics & Society

Konten ‘Jakarta Keras’: Potret Wajah Kota yang Tak Setara 

Buat saya, ‘Jakarta Keras’ bukan cuma soal macet dan gerbong KRL yang penuh sesak. Namun tentang kota yang gagal memahami kebutuhan warganya.

  • July 21, 2025
  • 5 min read
  • 1228 Views
Konten ‘Jakarta Keras’: Potret Wajah Kota yang Tak Setara 

*Peringatan pemicu: Mengandung cerita tentang pelecehan seksual. 

Pernah kan, konten “Jakarta Keras” berlalu-lalang di sosial mediamu? Seringnya lagu Nina dari Feast mengalun sebagai latar, menyertai visual gerbong KRL yang penuh sesak hingga kemacetan Jakarta. Yang lebih fatal lagi, beberapa orang terpaksa gawe, buka laptop sekenanya di sela-sela menunggu kendaraan tiba. Bahkan ada pemandangan perempuan benar-benar mengetikkan sesuai di laptopnya sembari naik ojek daring. 

Karena terlalu sering melihat dan mengalami hal-hal seperti itu, tanpa sadar kita mulai internalize, hidup di Jakarta memang keras. Kondisi yang melelahkan ini dianggap biasa. Seolah bagian dari rutinitas yang harus dijalani.  

Namun benarkah kita harus menormalisasi berdesak-desakan dan terjebak macet berjam-jam? 

Karena aku pun merasakan itu. Kantorku di Palmerah, Jakarta Pusat. Perjalanan pulang bisa makan waktu hingga tiga jam naik bus TransJakarta. Rasanya, belum juga terbiasa dengan macet yang seperti tanpa akhir. Sebenarnya, aku bisa memangkas waktu setengah jam dengan KRL. Masalahnya, aku masih harus berganti moda: Angkot, dilanjut dengan JakLingko. Ribet dan tetap makan waktu juga. 

Untungnya, aku hanya perlu ke kantor dua kali seminggu. Akan tetapi, membayangkan jadi mereka yang harus berjibaku dengan itu setiap hari, rasanya melelahkan. 

Bagi sebagian orang, transportasi umum bukan cuma pilihan, tapi cara untuk menghemat pengeluaran. “Neyra” (bukan nama sebenarnya), 21, misalnya, menggunakan transportasi umum untuk menjangkau tempat kerjanya di Kebagusan, Jakarta Selatan.    

“Kalau naik Gojek pulang-pergi bisa Rp40.000, tapi kalau pakai transportasi umum, meskipun rutenya ribet, cuma habis sekitar Rp6.000,” ujarnya kepada Magdalene (21/7). 

Meski murah, perjalanan ini jauh dari nyaman, terutama saat pulang kerja dan harus menghadapi rush hour. “Sebetulnya kena rush hour-nya cuma sebentar, tapi drained banget karena beneran sempit dan dempet-dempet.” 

Yang lebih menyulitkan, Neyra menyimpan trauma karena pernah menjadi korban kekerasan seksual

“Dulu ketika aku belum bisa menavigasi, aku masuk ke gerbong umum. Aku merasa enggak nyaman banget bersentuhan dengan laki-laki di tengah desakan,” katanya. 

Baca Juga: Perempuan Kelas Menengah Kota: Dianggap Kaya Negara, tapi Buat Bertahan Hidup Saja Sulit 

Ketika Transportasi Publik Tak Menjangkau Semua 

Jakarta dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Dengan segala peran pentingnya dalam ekonomi, perdagangan, hingga pendidikan, ia menjadi daya tarik banyak orang.  

Namun, menurut Asian Transport Observatory, dengan populasi penduduk 38,2 juta jiwa per 2020, Jakarta punya tantangan dalam mengelola sistem transportasi. Meski punya jaringan transportasi umum terluas di Indonesia, nyatanya Jakarta masih kesulitan memenuhi kebutuhan mobilitas warganya.  

Masalah ini salah satunya disebabkan oleh akses transportasi umum yang belum merata. Asian Transport Observatory bilang, hanya 14 persen warga Jakarta yang bisa mengakses transportasi umum. Jauh tertinggal dari Asia Tenggara yang mencapai 21 persen.  

Menurut peneliti Muttaqin dan Herwangi (2021), ketimpangan akses ini semakin parah karena sekitar 3,3 juta orang di Jakarta tinggal di daerah blank spot. Dalam artikel mereka, Public Transport Performance Based on the Potential Demand and Service Area (Case Study: Jakarta Public Transport) dijelaskan, kondisi ini bikin banyak orang kesulitan mengandalkan transportasi umum sepenuhnya. 

Gue udah coba naik MRT, tapi, dari rumah ke stasiun kudu naik ojek dulu. Terus pindah MRT, nyambung lagi jalan kaki,” ujar salah satu narasumber dikutip dari Mojok.  

Menimbang efisiensi dan fleksibilitas, kendaraan pribadi jadi satu-satunya jalan. Meski enggak ideal, buat mereka ini keputusan paling masuk akal. Namun dari sini, masalahnya jadi makin melebar. 

Ketergantungan warga pada kendaraan pribadi sudah lama menjadi biang kemacetan kronis di Jakarta. Data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2024), 80 persen orang di Jakarta masih mengandalkan kendaraan pribadi, hanya 12,3 persen menggunakan transportasi umum. 

Menurut Institute for Transportation and Development Policy, hal itu mencerminkan ketidakseimbangan antara ketersediaan transportasi umum dengan kebutuhan warganya untuk bepergian. Akibatnya, kemacetan kian tak terhindarkan. 

Baca Juga: Batuk Pejabat, Polusi, dan Upaya Setengah Hati Perbaiki Transportasi 

Untuk Siapa Kota ini Dirancang? 

Konten “Jakarta Keras” yang biasa kamu lihat, ternyata bukan cuma potret kerasnya kehidupan Jakarta. Ia adalah sinyal, seperti ujung benang yang, bila ditarik, mengurai kekacauan sistemik di baliknya. Pandangan serupa datang dari Dosen Sosiologi Universitas Negeri Medan Sry Lestari Samosir.  

“Sebetulnya, kondisi seperti berdesak-desakan di KRL atau TransJakarta dan macet parah setiap hari itu bukan hal yang wajar, tapi lebih kepada tanda bahwa sistem transportasi kita masih bermasalah,” ujarnya kepada Magdalene (16/7).  

Menurutnya, alih-alih memperluas akses transportasi umum yang terjangkau dan bisa dinikmati semua kalangan, kebijakan kota mengambil arah sebaliknya. Kota lebih sibuk membangun jalan layang, memperlebar jalan, dan menyediakan lebih banyak ruang untuk mobil dan motor. 

Fenomena ini juga menjadi perhatian akademisi asal Swedia Stefan Gössling (2016). Dalam artikel Urban Transport Justice, Gössling menyebut persoalan ini berakar dari pendekatan predict and provide, istilah yang ia kutip dari Hutton dan Whitelegg.  

Logikanya begini, kalau jumlah kendaraan bermotor diperkirakan terus naik, kota akan mengakomodasi lebih banyak jalan. Masalahnya, pendekatan ini hanya melayani mereka yang sudah memiliki kendaraan dan mengabaikan jutaan warga yang bergantung pada transportasi umum.  

Beyazit (2011) dalam Evaluating Social Justice in Transport: Lessons to be Learned from the Capability Approach mengkritik pendekatan  predict and provide. Ia bilang, cara berpikir semacam ini lahir dari logika neoliberal, di mana kebutuhan publik diukur dari permintaan pasar, alih-alih hak warga atas mobilitas yang setara.  

Pada akhirnya, mereka yang tinggal di pinggiran kota dan mengandalkan transportasi umum jadi kelompok yang paling dipinggirkan. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh Sry Lestari Samosir, transportasi bukan soal siapa yang punya kendaraan dan siapa yang tidak, tapi soal hak warga kota.  

“Negara memang wajib menyediakan sarana transportasi yang layak, aman, dan bisa diakses semua orang.” 

‘Jakarta Keras’ adalah narasi bersama yang seharusnya tidak kita terima begitu saja. Ia adalah bentuk kelelahan kolektif yang dibungkam lewat normalisasi penderitaan. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.