Apa itu ‘Patriarchy Extinction Burst’: Pukulan Mundur Kesetaraan Gender
Ia mewujud dalam berbagai konten yang tren di media sosial, dari 'feminine energy', 'tradwife', hingga 'red pill'. Lalu disebarkan juga oleh akun-akun populer.

Lintang, 30, yang aktif di TikTok, merasa risih dengan tren yang mengkotak-kotakan peran gender tradisional. Salah satunya lewat konsep “feminine” dan “masculine energy.” Tren yang sering muncul di F.Y.P. TikTok ini mendorong perempuan untuk memaksimalkan feminitas sebagai kunci keberhasilan dan relasi. Sementara, laki-laki harus menunjukkan logika dan ketegasan.
“Banyak banget ini muncul di TikTok. Kayak kalau ketemu orang yang cocok, kamu akan memancarkan feminine energy. Lah kalau dia (perempuan) lebih maskulin, dia not in the right energy gitu?” tanyanya.
Baca Juga: Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga
Upaya Kembalikan Peran Gender Tradisional
Tren feminine dan masculine energy memang sedang naik-naiknya dalam dua tahun terakhir. Di TikTok, tren feminine energy mencapai lebih dari 5,1 miliar penayangan. Akar tren ini dapat ditelusuri pada spiritualitas dan agama, seperti dalam filsafat Tiongkok yang menyatakan Yin mewakili energi feminin, sementara Yang mewakili energi maskulin.
“Laki-laki dan perempuan punya peran berbeda dalam hubungan. Dalam gagasan tradisional, laki-laki dimaksudkan untuk memberikan kekuatan dan perlindungan. Sementara, perempuan memberikan cinta dan pengasuhan. Dari definisi ini saja, jelas memperkuat beberapa peran gender tradisional,” ujar Dr. Grace Sharkey, Dosen Studi Gender dan Budaya di Universitas Sydney.
Sejak 1980-an, gerakan untuk menghidupkan kembali gagasan patriarki tentang feminitas berkembang, dipopulerkan oleh tokoh-tokoh seperti Andrew Tate dan Jordan Peterson. Di Indonesia, tren ini dipromosikan sebagai energi yang diberikan Tuhan dan mulai dikomersialkan. Produk, kursus, dan layanan muncul untuk “mengajarkan” atau “mengembangkan” energi ini.
Contoh komodifikasi di Indonesia termasuk pelatihan seperti Lovable Ladies atau gaya hidup yang dikenalkan influencer seperti Shasa Zhania, Jenny Jusuf, dan Michelle Halim. Michelle Halim, misalnya, terkenal dengan ungkapan “selain donatur dilarang ngatur,” yang mengukuhkan kembali peran perempuan dalam hubungan sebagai penerima sesuai dengan energi femininnya.
Komodifikasi feminine energy yang semakin populer di Indonesia membuka jalan bagi tren lain, yaitu tradwife (traditional wife). Tren tradwife melangkah lebih jauh dengan mengidealkan peran perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang sepenuhnya mengabdi pada keluarga. Baik feminine enegy atau tradwife, dua-duanya berangkat dari gagasan bahwa kodrat perempuan berbeda dari laki-laki, sehingga mesti fokus pada peran domestik dan mendukung kepemimpinan laki-laki.

Tren tradwife semakin berkembang seiring ketertarikan pada gaya hidup feminin yang dianggap “lebih alami” dan “sesuai dengan fitrah perempuan.” Di Indonesia, tren ini tidak selalu menggunakan tagar #tradwife, tapi tetap menekankan peran gender tradisional. Di media sosial, satu unggahan tentang narasi ini bisa mencapai puluhan ribu hingga 2 juta penayangan, dengan variasi pesan: Menjadi ibu dan istri yang baik, perempuan mandiri yang ingin dilindungi, atau perempuan yang ingin dimanja suami.
Meski beberapa perempuan merasa tren ini membebaskan mereka dari tekanan berkarier, kritik tetap bermunculan. Nisa, 29, khawatir tren seperti ini bisa membuat perempuan terjebak dalam hubungan abusif.
“Perempuan lewat tren ini diminta tidak keluar rumah, rentan mengisolasi diri. Diminta menuruti perintah suami, rentan menerima kekerasan, baik psikis maupun fisik,” ujar Nisa.
Ia menyayangkan banyak netizen yang menerima konten ini tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya. “Banyak perempuan yang langsung mengaminkan atau bahkan iri dengan cara hidup tradwife dan mengagungkan femininitas toksik,” tambahnya.
Baca Juga: 4 Cara Kapitalisme Diuntungkan oleh Kerja Domestik Perempuan
Red Pill dan Narasi Laki-laki jadi Korban
Selain dua tren di atas, narasi laki-laki sebagai korban kesetaraan gender juga turut memperkuat patriarki versi modern, dengan target audiens yang berbeda. Jika tren sebelumnya menyasar perempuan dengan pesan kepatuhan dan kelembutan sebagai kunci kebahagiaan, narasi tentang laki-laki sebagai korban lebih ditujukan pada laki-laki. Narasi ini, baik secara tersirat maupun eksplisit, mengajak laki-laki untuk kembali mendominasi hubungan dan masyarakat.
Di beberapa bagian dari gerakan hak-hak laki-laki dan manosphere ada istilah muncul, namanya red pill atau pil merah. Istilah ini diambil dari adegan dalam film The Matrix (1999) di mana Neo (Keanu Reeves) meminum pil merah untuk mempelajari kebenaran tentang masyarakatnya.
Dikutip dari Georgetown Journal of International Affairs, pil merah menggambarkan laki-laki yang menyadari, di bawah feminisme, perempuan menguasai dunia tanpa tanggung jawab, sementara laki-laki menjadi korban yang tidak diizinkan mengeluh.
Donna Zuckerberg dalam Not All Dead White Men menjelaskan, narasi laki-laki sebagai korban feminisme populer karena ketidakpuasan terhadap perubahan sosial-ekonomi yang cepat. Perempuan kini memiliki kekuatan finansial dan seksual atas hidup mereka, tidak lagi tunduk pada dominasi laki-laki.
Ketidakmampuan laki-laki menghadapi perubahan ini mendorong mereka mencari pembenaran ideologi seksis melalui teks-teks klasik Yunani dan Romawi, yang mendukung pandangan tentang peran gender tradisional. Tokoh seperti Jordan Peterson dan Rollo Tomassi turut memperkuat penyebaran ide red pill di kalangan laki-laki yang merasa terpinggirkan dalam dinamika gender modern.
Di Indonesia, red pill sulit dilacak karena tidak ada figur seperti Jordan Peterson yang memosisikan diri sebagai korban dinamika gender modern. Sebaliknya, red pill bergerak secara halus, berkamuflase dalam bingkai maskulinitas positif. Salah satunya terlihat pada akun Instagram House of Carl, yang dibentuk setelah perdebatan terkait cerita fiktif “ambilin nasi.”

Pemilik akun, Ifandi Khainur Rahim mengungkapkan, tujuan House of Carl adalah untuk “eredefinisi konsep laki-laki maskulin modern. Dalam keterangan tertulis kepada Magdalene, Evan mengungkapkan ingin mencoba memberi pandangan dan pertanyaan “sulit” terkait peran laki-laki di dunia modern.
“Main goal-nya adalah untuk melakukan redefinisi terhadap apa yang dimaksud dengan laki-laki maskulin modern,” begitu jelasnya dalam keterangan tertulis pada Magdalene.
Evan mendorong laki-laki untuk mengadopsi maskulinitas positif, yang jauh dari peran gender tradisional. Dalam penjelasannya, maskulinitas ini memungkinkan laki-laki mengekspresikan emosi, seperti menangis atau curhat, terlibat dalam pekerjaan domestik, dan tidak terlalu mempersoalkan perempuan sebagai pencari nafkah utama.
Namun, di balik narasi maskulinitas positif ini, banyak unggahan House of Carl yang justru menggambarkan laki-laki sebagai korban dinamika gender modern. Alih-alih membuka ruang diskusi, unggahan tersebut cenderung memperkuat bias gender dan mengabaikan permasalahan struktural yang mendasari fenomena tersebut.
Beberapa unggahannya adalah berikut:
“Korupsi Demi Gaya Hidup? Istrinya Maunya Enak, Suami yang Masuk Penjara!”
“Minta Gender Equality, Tapi Nafkah Masih 100% Tanggungjawab Suami?”
“Cowok Kerja Gaji UMR: Belum mapan. Cewek Kerja Gaji UMR: Go gurl independent wemen!”
“Kesetaraan Gender Cuma Berlaku Kalau ‘Menguntungkan.” Katanya cowok nggak boleh nyari cewek yang bisa masak & ngurus rumah karena itu patriarki. Tapi kalau cewek nyari cowok mapan, dibilang realistis dan bare minimum? Ini mah namanya standar ganda!”
Saat ditanya soal unggahan ini, Evan enggan memberikan komentar. Ia cuma menekankan tujuan akun ini untuk membangun percakapan bukan untuk membahas masalah struktural.
“Target kami laki-laki soalnya,” jawab dia.
Evan enggan mengulik permasalahan struktural di balik fenomena gender. Sebaliknya, ia lebih fokus pada pandangan soal feminisme dan kesetaraan gender, selama tidak merugikan laki-laki.
“Memarjinalisasi laki-laki sih, contohnya malah jadi timpang sebelah. Misal dulu yang awalnya 100 persen breadwinner dan 0 persen pekerjaan domestik, di beberapa rumah tangga malah jadi 90 persen breadwinner ditambah 70 persen domestik karena narasi left wing misalnya. Is it fair? Kami ingin laki-laki juga aware sama ini.”

Baca Juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Salah Kaprah Kesetaraan Gender
Nur Hasyim, co-founder Aliansi Laki-Laki Baru, menilai narasi marjinalisasi laki-laki kurang tepat. Mengacu pada teori hegemoni maskulinitas Raewyn Connell, sosiolog Australia, Hasyim menjelaskan, dalam tatanan patriarkal, marjinalisasi terjadi pada laki-laki yang dianggap “keperempuanan” atau yang punya orientasi seksual di luar norma heteroseksual. Laki-laki cis heteroseksual, menurutnya, tetap berada di lapisan atas kontrol dan dominasi.
“Jadi kalau dia bukan minority group, baik secara etnis, orientasi seksual mereka, maka ya dalam sistem patriarkal ini mereka punya power, dan mereka menikmati privilese,” ucap Hasyim.
Ia juga mengkritik pemahaman keliru tentang feminisme. Menurutnya, feminisme sejatinya melawan seksisme dan dominasi gender, alih-alih mendiskriminasi laki-laki. Dalam hal pembagian peran domestik yang dipermasalahkan Evan, Hasyim berpendapat, ini terkait dengan beban ganda perempuan. Jika satu pihak menanggung beban lebih besar, masalah yang harus diselesaikan adalah komunikasi dalam hubungan, bukan menyalahkan feminisme yang menentang struktur diskriminatif.
Pemahaman keliru tentang feminisme, lanjut Hasyim, membuat House of Carl enggan menyentil masalah struktural dari fenomena yang mereka angkat. Misalnya, terkait isu korupsi, alih-alih membahas struktur sosial patriarkal yang berkontribusi pada gaya hidup hedonis istri, House of Carl justru menyalahkan perempuan.
“Ini ada tendensi blaming kalau tidak melihat struktural. Kesadarannya jadi kesadaran yang naif. Kita lepas melihat ada struktur yang membuat mereka (istri-istri koruptor) memiliki gaya hidup seperti itu. Itu karena struktur sosial patriarki, eksistensi perempuan bergantung pada keberadaan suaminya,” jelasnya.
Nur Hasyim pun khawatir kesalahpahaman yang disebarluaskan lewat akun-akun seperti House of Carl bisa berdampak pada kemunduran gerakan kesetaraan gender. Ia mencontohkan bagaimana di Barat atau Korea Selatan, narasi laki-laki adalah korban membentuk serangan balik dalam wujud gerakan Men’s Right Movement (MRM) atau gerakan hak laki-laki.
Nur Hasyim mengkritik gerakan MRM yang mengeklaim memperjuangkan hak-hak laki-laki, seperti hak asuh anak, diskriminasi hukum, dan kesehatan mental, namun justru mengadopsi narasi anti-feminis. Gerakan ini, menurut Hasyim, berbahaya bagi kesetaraan gender karena memperkuat misogini, meremehkan ketimpangan struktural yang merugikan perempuan, dan menghambat upaya keadilan gender yang inklusif.
“Feminisme dianggap bertanggung jawab pada hilangnya hak-hak laki-laki. Laki-laki jadi memosisikan diri sebagai korban yang pada dasarnya kemudian digunakan untuk mengembalikan supremasi laki-laki atas perempuan,” tuturnya.

Kemunculan tren seperti feminine energy, tradwife, dan red pill mencerminkan fenomena patriarchy extinction burst, yaitu reaksi yang lebih keras dari sistem patriarki yang merasa terancam. Fenomena ini menggambarkan peningkatan sementara perilaku ketika sistem atau kekuasaan mulai goyah. Dalam hal ini, sistem patriarki menunjukkan penolakan yang lebih kuat terhadap upaya kesetaraan gender.
Sarah J. Baker, dalam artikelnya The Great Patriarchal Extinction Burst (2021) mencatat, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebagai reaksi terhadap hilangnya dominasi patriarki. Sosiolog Martha Beck menggambarkan hal ini sebagai keruntuhan piramida patriarki, di mana mereka yang diuntungkan dari sistem kontrol bereaksi keras saat kekuasaan mereka mulai goyah.
Peningkatan upaya mempertahankan patriarki ini sering kali datang dalam bentuk yang lebih halus, seperti konten-konten anti-feminis yang mendorong perempuan kembali ke peran tradisional. Influencer sayap kanan mencoba meyakinkan perempuan bahwa mereka lebih bahagia tanpa hak-hak yang diperjuangkan feminis, meromantisasi penindasan. Mereka juga memperdebatkan bagaimana kemajuan kesetaraan gender malah merugikan kelompok tertentu, seperti laki-laki.
Patriarchy extinction burst tentu menjadi kekhawatiran besar bagi kemajuan kesetaraan gender. Selain Nur Hasyim, Tata Yunita, pendiri Tenggara Youth Community yang aktif sebagai influencer feminis lewat akun @perempuantimor berbagi kekhawatiran serupa. Jika kekhawatiran Nur Hasyim berangkat dari akun seperti House of Carl, kekhawatiran Tata hadir saat melihat tren feminine energy dan tradwife yang makin hari makin massif.
Tata mengidentifikasi adanya permasalahan struktural di balik banjir konten feminine energy, tradwife, dan red pill, yaitu krisis sosial dan ekonomi global yang memperburuk kesetaraan gender. Dia menyoroti bagaimana kebijakan inklusif semakin terkikis dengan terpilihnya pemimpin sayap kanan yang memangkas hak-hak perempuan. Dalam konteks ini, perempuan sering kali terjebak dalam beban ganda, mengelola karier dan pekerjaan domestik, sementara narasi “kembali ke fitrah” menawarkan solusi sederhana.
“Ada perempuan yang jadi terbebani dengan karier, pekerjaan domestik, sehingga ketika ada narasi kembali ke fitrah (jadi istri yang dinafkahi dan dilindungi) itu jadi solusi sederhana dalam menerima perubahan ini. Dalam posisi terbebani, ada konten yang memvalidasi dan trennya jadi naik,” jelas Tata.
Namun, konten-konten macam itu sulit dilawan, salah satunya karena didukung algoritme media sosial. Studi Media Matters for America menunjukkan, interaksi dengan konten tradwife di TikTok akan mengarah pada rekomendasi video serupa, termasuk dari tokoh sayap kanan ekstremis.
Tata menyatakan, “Tren ini semakin memperkuat stereotip gender, memundurkan pencapaian gerakan perempuan kalau enggak ada counter khusus, ya kemudian pengakuan atas hak perempuan di ruang publik dan privat akan semakin jauh ke belakang.”
Meski demikian, Tata melihat beberapa cara untuk melawan “patriarchy extinction burst”. Pertama, meningkatkan literasi gender baik formal maupun informal, dengan media sosial sebagai alat penting untuk melawan konten regresif. Kedua, memperkuat kerjasama antar kolektif dan mendorong kebijakan kesetaraan gender di level negara agar perempuan tidak terjebak dalam sistem opresif. Ketiga, memperkuat jaringan aktivis dan organisasi untuk mendukung ekosistem yang saling mendukung. “Karena kalau kita tau ada teman yang satu perjuangan dengan kita, kita akan terus mendapatkan semangat untuk melawan ketidakadilan,” ujar Tata.
Nur Hasyim menambahkan bahwa ruang dialog sangat penting untuk mengatasi kesalahpahaman soal kesetaraan gender dan feminisme. Menurutnya, ruang ini memungkinkan klarifikasi bagi perempuan dan laki-laki, agar mereka memahami bahwa kesetaraan gender adalah soal memberikan akses dan partisipasi setara, bukan mendiskriminasi. “Misunderstanding itu yang perlu dibenarkan lewat ruang dialog. Agar mereka nantinya paham bahwa kesetaraan gender soal memberikan ruang akses, partisipasi setara bukan mendiskriminasi,” tutupnya.
“Misunderstanding itu yang perlu dibenarkan lewat ruang dialog. Agar mereka nantinya paham bahwa kesetaraan gender soal memberikan ruang akses, partisipasi setara bukan mendiskriminasi,” tutupnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
