Issues

‘Aging Society’ dan Kesejahteraan Lansia yang Dipandang Sebelah Mata

Populasi penduduk lansia semakin bertambah, tapi pemerintah Indonesia tampaknya masih belum memberi perhatian khusus untuk kesejahteraan mereka.

Avatar
  • March 15, 2023
  • 18 min read
  • 2264 Views
‘Aging Society’ dan Kesejahteraan Lansia yang Dipandang Sebelah Mata

Kini usiamu menginjak 70 tahun. Berbeda dengan bayangan tentang masa tua yang nyaman, kamu justru hidup dengan kondisi sebaliknya. Tak ada pasangan, anak-anak sibuk dengan keluarga baru masing-masing, kamu sendirian.

Ingin membunuh kesepian dengan bekerja menyibukkan diri, ternyata kesehatanmu tak lagi memungkinkan. Penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, dan peradangan sendi jangka panjang, membuatmu kurus dan susah beraktivitas. Bahkan untuk sekadar berjalan dari kamar hingga keluar teras rumah pun kamu kesulitan. Alhasil, waktu tuamu habis untuk berbaring di ranjang. Sementara, kesehatan mental semakin turun, dan kamu kehilangan motivasi untuk hidup.

 

 

Kondisi ini diperparah dengan keuanganmu yang cekak. Tabungan yang susah payah dikumpulkan bertahun-tahun, habis untuk mengobati penyakitmu. Untuk menyambung hidup dari hari ke hari, kamu pasrah mengandalkan bantuan orang lain.

Skenario di atas bukan adegan film atau serial dystopia terbaru, melainkan prediksi situasi terburuk untukmu di 2045. Tahun itu, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi sebesar 70 persen penduduk usia produktif. Namun, tahun itu pula, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memprediksi Indonesia akan mulai memasuki aging society atau masyarakat menua, yang ditandailewat lonjakan jumlah penduduk lanjut usia.

Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dikutip dari Antaranews mengatakan, menurut data Badan Pusat Statistik 2021, jumlah lansia usia 60 tahun ke atas sebesar 10,8 persen atau sekitar 29,3 juta orang. Angka tersebut diperkirakan terus mengalami peningkatan hingga 19,9 persen pada 2045.

Dengan laju penuaan populasi yang jauh lebih cepat daripada di masa lalu, World Health Organization (WHO) dalam artikelnya Ageing and Health menjelaskan, semua negara akan menghadapi tantangan besar. Khususnya dalam memastikan sistem kesehatan dan sosial mereka siap memanfaatkan perubahan demografis tersebut. 

Baca Juga: Seperlima Penduduk Indonesia Berusia 60 Tahun pada 2045, Apa Artinya?

Realitas Kehidupan Lansia Indonesia Kini

Dengan berbagai tantangan hari tua, banyak orang yang menyadari ini dan mempersiapkan diri sedari muda. Danny Yatim, lansia berusia 65 tahun, salah satunya. Ia pun masih terbilang aktif bekerja paruh waktu sebagai penulis, penerjemah, dan dosen Psikologi di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.

Secara fisik, ia masih cukup bugar. Walau sendi sudah mulai sakit akibat faktor usia, ia menolak untuk dimanjakan dan dianggap lemah. Ia berjalan kaki sehari-hari dan berolahraga rutin. Bukan tanpa alasan Danny memilih gaya hidup begini. Ia mau tetap mandiri dan sehat secara mental maupun fisik di usia kepala 7, kepala 8, dan seterusnya.

Dari segi finansial, kata Danny, uang yang didapat dari pekerjaan, ia tabung untuk menjalani hari tua dan menghadapi masa depan yang tak menentu. Ia juga berinvestasi, menabung deposito di bank, tak lupa menyisihkan uang untuk tetap membayar premi asuransi kesehatan.

Di sela-sela kesibukannya melakukan pekerjaan, ia tetap menyempatkan diri untuk berkumpul dengan lansia sebaya di café kekinian sembari bernostalgia. Kata pria lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM), Connecticut College, dan Harvard University bidang Psikologi itu, berkumpul membantu otaknya tetap bekerja dan tak mudah pikun.

Tak cuma itu, ia masih menyempatkan diri belajar hal baru, termasuk Bahasa Korea dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).

“Ini bukan hal yang memberatkan, tidak ada pressure untuk jadi hebat. Ini saya lakukan agar bisa tetap aktif. Saya percaya kalau kita mencintai hidup, hidup akan mencintai kita. Kalau kita pasif, cuma di rumah, enggak ngapa-ngapain, ya kita bakal cepat mati. Enggak sehat itu,” jelasnya pada Magdalene.

Cara Danny mempersiapkan dan menjalani hari tua memang patut diacungi jempol. Dengan caranya, Danny secara ideal telah memastikan kesejahteraannya sendiri. Sayang, tak semua orang punya privilese yang sama dengannya. Tak punya pendidikan, pekerjaan yang layak, apalagi pendapatan untuk membayar premi asuransi kesehatan dan jaminan pensiun.

Sukarsih adalah perempuan lansia yang kini tinggal sendirian di rumah kecilnya di kawasan padat penduduk Depok, Jawa Barat. Berkebalikan dengan Danny, perempuan berusia 75 tahun itu harus menjalani kehidupan tuanya dengan kondisi yang sulit.

Ia menjanda sejak 1985, sang suami meninggal akibat serangan jantung. Akibatnya, ia terpaksa harus memerankan dua peran sekaligus: Ibu dan pencari nafkah tunggal. Setiap pekerjaan yang bisa ia dapatkan ia jalani. Mulai dari penjaga toko di Sarinah, staf dapur di rumah sakit, jualan makanan ringan dan siap saji, hingga menjadi ibu-ibu kantin. Dengan beban tanggungan ini, ia tak sempat menabung untuk dirinya sendiri di hari tua. Apalagi terpikir membayar premi asuransi kesehatan. Untuk bisa makan dan punya tempat tinggal saja sudah syukur katanya.

Kondisi tak ideal itulah yang membuat ia terpaksa tetap bekerja keras bahkan saat berusia 60 tahun. Anak-anaknya yang telah dewasa tak bisa diandalkan secara finansial. Keempatnya hidup pas-pasan. Anak keempat Sukarsih menggantungkan nasib sebagai tukang ojek dengan pendapatan tak tentu untuk dua anaknya yang masih kecil.

Saat usia 70 tahun, ketika sendi kaki mulai sakit sehingga harus menggunakan tongkat, keadaan Sukarsih semakin terpuruk. Ia berhenti bekerja. Merelakan satu-satunya pendapatan yang bisa membuat Sukarsih bisa mandiri memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa membebani anak-anak.

Kini sudah lima tahun ia bergantung dengan uang Rp800 ribu pemberian anak sulungnya. Kadang tak bulat Rp800 ribu karena anaknya juga punya kebutuhan seabrek buat keluarga sendiri. Jumlah ini jelas tak ideal untuk hidup di kota besar macam Depok. Sekali dua kali ia mendapat bantuan sembako dari pemerintah desa, tapi kualitasnya sangat jelek hingga tak layak makan.

“Buat makan seminggu aja seratus ribu. Belum kebutuhan bulanan kaya beli sabun cuci piring, wipol (pembersih lantai), beras, minyak. Terus listrik dua ratus ribu. Kalau ada tetangga hajatan atau meninggal masa enggak ngasih? Uang segitu mana cukup. Mana bansos (bantuan sosial) yang dikasih cuma saudara-saudara RT RW saja,” tukasnya pada Magdalene.

Sukarsih pernah beberapa kali tak punya uang sama sekali untuk membeli beras. Walhasil ia pun cuma bisa bergantung pada belas kasih saudara dekat rumah atau tetangganya.

Kesehatan Sukarsih yang semakin menurun juga membuat keadaannya semakin rentan. Tak hanya sendi yang semakin sakit, penyakit hipertensi dan asma sering “kambuh” semenjak ia jadi lansia. Pada 2020, ia bahkan hampir kehilangan nyawa sendiri. Saat itu hipertensinya kambuh, darahnya sudah hampir masuk ke otak, membuat ia jatuh di depan kamar mandi. Beruntung ada tetangganya yang sedang main ke rumah, sehingga ia bisa cepat dibawa ke rumah sakit.

Sukarsih jarang mengecek kesehatannya. Bukan karena malas, tetapi akses menuju Puskesmas terdekat sulit dijangkau. Ia punya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, tapi apa gunanya jika ia susah melakukan mobilisasi ke fasilitas perawatan kesehatan.

Sukarsih yang punya kerentanan berlapis–tinggal sendiri dan status ekonomi rendah–tentu saja tak sendiri. Menurut laporan “Statistik Penduduk Lanjut Usia 2021” yang diterbitkan BPS, jumlah lansia seperti Sukarsih sekitar 9,9 persen. Itu setara dengan 1 dari 10 jumlah penduduk lansia dengan perempuan lansia sendiri jumlahnya lebih banyak dari laki-laki, yaitu sekitar 14,78 persen sedangkan laki-laki 4,74.

Lebih lanjut, menurut kondisi ekonominya, penduduk lansia juga lebih banyak berada pada status ekonomi rendah.  Pada 2021 tercatat sebanyak 43,29 persen lansia berada pada kelompok pengeluaran 40 persen terbawah dan 19,31 persen pada kelompok pengeluaran 20 persen teratas.

Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK dan Anggota Koalisi Masyarakat Peduli Keberlanjutusiaan (KuMPuL) mengatakan pada Magdalene, kondisi lansia sangat memprihatinkan. Mereka umumnya masih jauh dari kata sejahtera.

Para lansia ini rentan tidak tertolong saat mengalami sakit, juga berpotensi terlantar dalam pemenuhan kebutuhan dan hak dasar, seperti pangan atau perlindungan sosial. Situasi pandemi juga semakin memperparah kondisi lansia di Indonesia. Dalam penuturan Khotimun sesuai dengan kerja lapangan LBH APIK, banyak lansia yang tidak mendapatkan bansos dari pemerintah daerah. Sebab, banyak lansia yang namanya tercantum dalam Kartu Keluarga anaknya walau tinggal terpisah.

“Anaknya enggak di situ dan keadaannya miskin. Harusnya dia mendapatkan bansos sendiri tapi enggak bisa karena terkendala data ini. Di Deli Serdang, Sumatera Utara, lebih dari 100 lansia diadvokasi oleh legal LBH Apik, sehingga akhirnya mendapatkan bantuan. Tapi, ya, mayoritas seringkali tetap tidak terdeteksi dalam data kelompok yang mendapatkan bansos dan jaminan sosial,” jelasnya.

Pada 2021 tercatat sebanyak 43,29 persen lansia berada pada kelompok pengeluaran 40 persen terbawah dan 19,31 persen pada kelompok pengeluaran 20 persen teratas.

Senada dengan temuan lapangan LBH APIK, dalam penelitian SMERU pada 2020, di tingkat nasional dalam rumah tangga dengan lansia pada kelompok pengeluaran 40 persen terbawah, baru sekitar 46 persen yang mendapatkan bantuan sosial.

DKI Jakarta jadi salah satu provinsi yang dinilai punya kebijakan pro-lansia bahkan tercatat hanya sekitar 23 persen lansia dari kelompok pengeluaran 40 persen terbawah yang mendapatkan bansos.

Sri Murnianti, salah satu peneliti SMERU menambahkan, hanya sekitar 12 persen lansia yang memiliki akses terhadap program perlindungan sosial berbasis kontribusi berupa jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk dana pensiun untuk pegawai negeri. Sementara itu, lansia yang menerima manfaat program perlindungan sosial berbasis non-kontribusi atau bansos hanya sekitar 2 persen dari seluruh penerima program perlindungan sosial.

“Untuk jaminan hari tua pada studi yang kami lakukan, tidak ada seorang pun responden lansia di wilayah studi kami yang memilikinya. Mereka tidak pernah menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga tidak memiliki jaminan pensiun ataupun jaminan hari tua. Kondisi tersebut tidak terlepas dari pekerjaan yang mereka geluti sebelumnya, yakni bekerja di sektor informal,” jelas Murni.

Selain kondisi ekonomi dan status tinggal lansia, identitas gender lansia juga memengaruhi kerentanan mereka. Lansia perempuan lebih rentan dibandingkan dengan lansia laki-laki. Bukan saja karena jumlahnya yang lebih tinggi, tetapi mereka berpotensi mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Dikutip dari siaran pers Komnas Perempuan Oktober 2022, mitos bahwa perempuan menopause tidak mungkin jadi sasaran kekerasan seksual berakibat pada korban perempuan lansia tidak mendapatkan perhatian khusus. Pemantauan media massa pada 2020 memberitakan 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan lansia, dengan usia tertinggi adalah 76 tahun.

Cerita tentang kerentanan perempuan lansia ini juga muncul dalam pengaduan kasus yang diterima LBH APIK. Sayang, menurut Khotimun, masyarakat masih memandang kekerasan seksual pada lansia tidak sepenting yang menimpa penduduk usia muda.

“Terkadang lansia malah ditertawakan. ‘Masa, sih?’ Dianggap tidak mungkin dan padahal kasusnya banyak,” tukasnya.

Baca Juga: Ketika Mama Menua dan Tak Bekerja, Maukah Kamu Menampungnya?

Kebijakan Hukum yang Belum Memihak Lansia

Kerentanan berlapis lansia ini semestinya dijadikan perhatian khusus pemerintah. Sayangnya menurut Deshinta Vibriyanti, peneliti isu lansia dari  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pemerintah Indonesia sampai saat ini masih belum memperlihatkan keseriusannya terhadap lansia.

Hal ini terlihat dari bagaimana satu-satunya kebijakan hukum tertinggi, yaitu undang-undang terkait lansia hanya tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Undang-undang yang Deshinta nilai sudah sangat ketinggalan zaman dan tidak bisa menjawab perubahan sosial baru terkait lansia. Deshinta mencontohkan bagaimana asas partisipatif dan berkelanjutan tidak jadi fondasi utama dalam undang-undang ini.

Simpelnya, dalam undang-undang ini tak ada pasal-pasal yang secara spesifik mengacu pada hak partisipasi lansia. Berikut juga pasal-pasal dalam undang-undang ini masih belum memakai paradigma pembangunan berkelanjutan.

Padahal menurut Deshinta, partisipasi lansia dalam pembentukan kebijakan atau penyusunan program sangat dibutuhkan. Ini karena lansia sendiri yang mengerti paling mengerti keadaan serta kebutuhan mereka.

“Di tingkat rendah, seperti musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), keterlibatan lansia sebenarnya harus jadi pertimbangan. Kekuatan lansia harus diangkat, ditonjolkan, tapi nyatanya enggak, kan. Mereka tidak diikutsertakan dan di undang-undang tidak diatur agar partisipasi ini bisa bersifat mandatory,” jelas Deshinta.

Selain itu, keberlanjutan juga tak kalah penting. Dalam hal ini, program-program lansia tidak hanya terfokus pada pemberian bansos berupa dana tunai. Namun juga penguatan keterampilan dan pelayanan perawatan jangka panjang yang bisa mendukung kesejahteraan mereka.

Deshinta menyayangkan dengan kekurangan ini, penggodokan revisi Rancangan UU No. 13 Tahun 1998 ini belum juga mencapai titik terang. Bahkan tak masuk dalam daftar dalam Prioritas (Prolegnas) 2023.

Parahnya, pada 2020, Komnas Lansia dinyatakan wafat. Komnas lansia memang namanya tidak setenar Komnas HAM dan Komnas Perempuan, tetapi Komnas ini sempat dibentuk berdasarkan keputusan presiden pada tahun 2004. Setelah berkiprah selama 16 tahun, komisi ini resmi dibubarkan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2020 yang telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 26 November 2020.

Marya Yenita Sitohang, peneliti isu lansia dari Badan Riset dan Inovasi Nasional RI mengungkapkan, alasan pembubaran karena pertimbangan ‘perampingan’ birokrasi, dan kurang terlihatnya kinerja dari komisi tersebut. Namun, terlepas dari alasan pembubaran Komnas Lansia, ia sangat menyayangkan tindakan pemerintah. Mengingat fungsi Komnas Lansia sangat penting dalam melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dan memberi pertimbangan pada presiden terkait upaya mewujudkan kesejahteraan lansia.

Sebelum ada Komnas Lansia, besarnya jumlah penduduk lansia di Indonesia telah diantisipasi sejak zaman Orde Lama melalui bantuan penghidupan orang jompo. Namun demikian, menjamin kesejahteraan lansia tidak dapat dilakukan dalam satu dua cara saja. Tak cukup dengan bantuan uang tunai, tapi juga bantuan psikologis dan kesehatan yang perlu dipenuhi agar mereka lebih sejahtera.

“Nyatanya permasalahan dan upaya mewujudkan kesejahteraan lansia tidak pernah sederhana. Namun, kurang ‘seksinya’ topik lansia di kalangan pemangku kebijakan menjadi tantangan tersendiri. Wafatnya komnas lansia menjadi salah satu buktinya,” ungkap Marya.

Pemerintah memang menurut Marya kini sudah punya pegangan terbaru melalui Strategi Nasional (Stranas) Kelanjutusiaan. Stranas yang disahkan sebagai Perpres atau Peraturan Presiden yang mulai diberlakukan pada 15 September 2021.

Muatan Stranas Kelanjutusiaan menurut Marya cukup progresif karena memuat empat arah kebijakan. Di antaranya, meningkatkan perlindungan sosial bagi lansia; mengembangkan pendidikan keterampilan sepanjang hayat bagi lansia; dan mengembangkan program pemberdayaan lansia sesuai dengan kemampuan dan minat; dan menyelenggarakan pemberdayaan kelanjutusiaan terintegrasi bagi mereka.

Akan tetapi, menurut Deshinta, Starans tidak bisa dijadikan acuan tentang progresivitas pemerintah dalam mengawal isu lansia. Jika kita mau merunut kembali strata perundang-undangan, kekuatan hukum Stranas berada di bawah undang-undang.

“Ini hanya petunjuk atau pedoman pada lembaga-lembaga pemerintahan untuk melaksanakan program kelanjutusiaan. Ini payung hukumnya kalau mau buat senam sehat misalnya maka merujuk pake stranas,” ucap Deshinta.

Ia melanjutkan, “Tetapi Stranas ini tidak sebanding dengan UU yang kekuatan hukumnya lebih tinggi. Jadi will-nya dalam mengawal isu ini saya lihat juga kurang. Lihat saja terkatung-katungnya proses revisi UU Kesejahteraan Lansia.”

“Nyatanya permasalahan dan upaya mewujudkan kesejahteraan lansia tidak pernah sederhana. Namun, kurang ‘seksinya’ topik lansia di kalangan pemangku kebijakan menjadi tantangan tersendiri. Wafatnya komnas lansia menjadi salah satu buktinya,” ungkap Marya.

Baca Juga: Investasi pada Cuti dan Perawatan di Dunia Kerja Penting Dilakukan

Cepat Bergerak Hadapi Aging Society

Di tengah hiruk pikuk daerah Cibubur, Jakarta Timur terdapat rusun khusus lansia atau dikenal dengan Sasana Tresna Werdha (STW). Dikelola oleh Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan (YKBRP), STW itu pertama kali berdiri pada 14 Maret 1984.

Pembangunannya diinisiasi oleh Tien Soeharto untuk para pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan para janda-janda pahlawan yang memang tidak memiliki tempat tinggal. Sri Kusumo Amdani, biasa dipanggil Dani, Ketua Badan Penyelenggara STW Ria Pembangunan mengatakan pada zaman Orde Baru, rusun khusus lansia ini digratiskan. Semua biaya disubsidi oleh pemerintah.

Namun, sejak 1988, ketika krisis moneter melanda Indonesia, STW Ria Pembangunan harus beroperasi sendiri dan mulai mengenakan biaya kepada setiap orang yang ingin tinggal di rusun itu. Kini setelah berjalan lebih dari 38 tahun, STW Ria Pembangunan menampung lansia dari berbagai daerah dan latar belakang.

“Semua lansia asalkan tidak memiliki penyakit menular, bukan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), dan memiliki demensia berat, boleh mendaftar tinggal di sini. Mereka juga harus tinggal dengan kemauan mereka sendiri bukan karena terpaksa atau dipaksa oleh orang lain,” jelas Dani.

Per 2023, jumlah lansia yang tinggal sudah mencapai 50 orang. Ada yang tinggal sendiri, bersama saudara, maupun bersama istri atau suami mereka. Atiek Adiati, Bendahara STW Ria Pembangunan mengungkapkan biaya tinggal di rusun khusus lansia ini beragam tergantung dari fasilitas dan luas kamar. Kisaran harganya mulai dari Rp4 juta sampai yang tertinggi sebesar Rp8,8 juta sebulan.

“Dengan biaya itu, lansia mendapatkan makan tiga kali sehari, pemeriksaan kesehatan dengan dokter yang praktik di STW Ria Pembangunan, piknik, sampai kegiatan-kegiatan keterampilan seperti melukis, menyulam,” ungkap Dani.

Selain yang disebutkan Atiek, STW Ria Pembangunan juga menyediakan tempat olahraga khusus untuk lansia dengan pendamping dan caregiver dan perawat yang standby selama 24 jam. Alasannya, imbuh dia, lansia membutuhkan 3B, Berbicara, Bersosialisasi, dan Bergerak. Semua komponen yang bisa terpenuhi di rusun khusus lansia ini.

STW Ria Pembangunan memang jadi tempat ideal bagi lansia untuk menghabiskan waktu tuanya. Sayang, lagi-lagi tak semua lansia punya privilese yang sama secara finansial. Tidak ada data nasional terbaru yang tersedia tentang kesejahteraan lansia, namun pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat pada 2021 ada sekitar 33.129 lansia terlantar.

Mereka adalah lansia yang mengalami kekerasan ekonomi. Terabaikan oleh anak-anaknya dan hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian dari mereka ada yang kemudian tinggal di Panti Werdha atau panti jompo yang dikelola pemerintah. Akan tetapi dalam keterangan Marya, Panti Wredha jumlahnya masih sedikit. Kapasitas dan fasilitasnya pun terbatas dibandingkan dengan jumlah lansia yang ada.

“Menurut analisis saya pas penelitian, memang isu ini (lansia) kurang seksi maka dari itu kurang perhatian. Demand untuk panti juga kurang karena di Indonesia masih pakai pendekatan keluarga bahwa lansia itu akan dirawat anaknya, ya walau kenyataannya banyak juga yang akhirnya ditelantarkan. Itu ngaruh ke pengelolaan panti. Mereka (pemerintah) enggak terdesak untuk memperbaiki fasilitas,” tutur Marya.

Murni menambahkan, berdasarkan penelitian SMERU, dana yang dimiliki Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (LKS LU) untuk pengelolaan panti juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan panti selalu mengarahkan lansia dikembalikan ke keluarga. Panti hanya menampung sementara karena keterbatasan dana.

Untuk menyelesaikan masalah ini, menurut Murni, pemerintah sudah seharusnya mulai membangun skema inovatif terkait perawatan jangka panjang untuk lansia. Salah satunya lewat panti jompo dengan fasilitas memadai dan mudah dijangkau. Pasalnya, panti jompo dengan pegawai terlatih, punya peranan yang sangat penting untuk menjamin kehidupan lansia karena tidak semua anggota keluarga bisa merawat mereka.

Terkait perawatan jangka panjang, selain panti Wredha, pemerintah memang punya Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI). Program layanan rehabilitasi sosial yang menggunakan pendekatan berbasis keluarga, komunitas, dan/atau residensial melalui kegiatan dukungan pemenuhan kebutuhan hidup layak.

Program rehabilitasi berupa layanan langsung kepada lansia tersebut dilakukan oleh balai besar/balai/loka di lingkungan Kemensos yang dapat bermitra dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) di daerah. Tetapi sayang seperti layaknya program dari pemerintah, program ATENSI punya kendala.

“Sebenarnya program ATENSI ini sangat bagus, hanya cakupan sangat kecil. Ketika kami melakukan wawancara pada 2021 sangat sulit mencari responden yang menerima bantuan. Sehingga cakupan penerima bantuan masih menjadi PR tersendiri,” ujar Murni.

Diwawancarai oleh Magdalene, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menjelaskan, pemerintah melalui BKKBN juga punya program Bina Keluarga Lansia (BKL). Kegiatan pokok BKL meliputi penyuluhan, kunjungan rumah, dan pencatatan serta pelaporan. Ada juga program turunan seperti GoLantang (aplikasi untuk lansia) dan Sekolah Lansia (pemberdayaan lansia melalui pendidikan non-formal).

“BKL ini sangat penting karena kalau lansia tidak diberikan pengetahuannya tentang cara bertahan di masa tua mereka akan jadi beban ke generasi berikutnya. Kita ingin bonus demografi ini kan, tetapi kalau lansianya semua dependent akan berat juga. Akan ada sandwich generation yang terus-terusan lahir. Ini kan nanti larinya ke berkurangnya produktivitas generasi muda yang merawat lansia. Ngaruh ke ekonomi kita juga,” ungkap Hasto pada Magdalene.

Kendati BKKBN sudah memiliki program BKL yang cukup bagus untuk mempersiapkan lansia tangguh dan mandiri, bukan berarti program berjalan tanpa kendala. Secara umum kendala program BKL lain, sasaran target kegiatan BKL yang tidak tepat; partisipasi rendah baik lansia maupun keluarganya; minimnya ketersediaan kader lansia baik secara kuantitas maupun kualitas; jangkauan wilayah kegiatan BKL yang terlalu luas; dan anggaran yang terbatas. Ini dikutip langsung dari penelitian LIPI, Penyelenggaraan Program Bina Keluarga Lansia (BKL) di Wilayah Perkotaan: Potret Permasalahan Klasik (2020) yang ditulis oleh Deshinta bersama rekannya.

Deshinta pun menambahkan: “Idealnya satu desa itu ada penyuluh BKL, tapi dalam pelaksanaannya, mereka bekerja, gajinya enggak masuk, honor telat, ngobjek ke tempat lain banyak sekali permasalahan yang membuat sebuah program.”

Dengan kendala itu, menurut Deshinta RUU Kesejahteraan Lansia mendesak untuk dikebut. Ini harus segara disahkan oleh pemerintah karena sebagai produk hukum tertinggi, undang-undang punya peran besar dalam memastikan kesejahteraan lansia lewat mekanisme yang lebih terintegrasi. 

Kebijakan serta program berasal dari pemerintah pusat yang ditelurkan lewat undang-undang nantinya akan terintegrasi lewat pemerintah daerah. Pemerintah daerah paling pas mengkoordinasikan berbagai program lansia, karena paling memahami kondisi wilayah serta karakteristik masyarakatnya.

Deshinta menyadari, ada sejumlah kendala besar dalam pembentukan produk hukum baru. Dengan demikian, ada dua solusi lain yang bisa dilakukan dalam mengupayakan kesejahteraan lansia di masa sekarang dan masa depan.

Pertama, peningkatan literasi keuangan. Itu bukan hanya diberikan kepada lansia tetapi juga masyarakat usia produktif, terutama mereka dari kelas sosial bawah. Pemerintah bisa membuat program atau sosialisasi nasional terkait hal ini. Membiasakan masyarakat menabung untuk masa tuanya.

Ia pun mengatakan ini bisa dilakukan melalui kampanye pendidikan formal maupun informal. Dalam literasi keuangan ini pula, Deshinta menjelaskan dimuat sosialisasi terkait pentingnya jaminan sosial dan kesehatan. Tetapi dengan catatan, pemerintah juga sebelumnya juga harus melakukan skema persiapan jaminan pensiun atau jaminan hari tua, baik bagi pekerja formal maupun informal. Jika sudah melakukan skema persiapan dan barulah semuanya diberikan sosialisasi sesuai dengan kelas sosial dengan tingkat ekonomi masing-masing.

Deshinta pun menambahkan: “Idealnya satu desa itu ada penyuluh BKL, tapi dalam pelaksanaannya, mereka bekerja, gajinya enggak masuk, honor telat, ngobjek ke tempat lain banyak sekali permasalahan yang membuat sebuah program.”

Kedua, penting untuk melakukan sinergi dengan berbagai universitas guna mengembangkan kapasitas dan aktualisasi lansia. Misalnya, dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN), mahasiswa bisa digerakkan untuk peduli pada isu lansia. Ini sekaligus jadi cara efektif untuk mengoptimalkan sumber daya manusia yang tidak cukup dari pemerintah.

Selain kedua solusi ini, Murni juga menambahkan perlu adanya peningkatan penyediaan layanan kesehatan dan pendampingan yang memadai dan ramah lansia. Hal ini termasuk penjangkauan ke lansia, karena sebagian besar lansia akan sulit mengakses layanan kesehatan jika tidak didampingi. Bahkan berdasarkan responden yang SMERU wawancarai sebagian besar lansia merasa baik-baik saja, sehingga tidak merasa penting untuk memeriksakan kesehatan mereka.

“Sebenarnya pemerintah saat ini telah menyediakan layanan kesehatan ramah lansia. Seperti ketika di puskesmas antrian untuk lansia didahulukan kemudian adanya pelayanan door-to-door dari petugas kesehatan untuk lansia.  Namun sayangnya, belum berjalan baik dan belum merata dilakukan, sehingga perlu adanya perbaikan dan pemerataan,” jelas Murni.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Dalam rangka International Women’s Day 2023, Magdalene meluncurkan series liputan jurnalisme data bertema “Urgensi Ekonomi Perawatan”. Akan ada satu artikel utama dan 4 artikel lainnya yang tayang setiap Rabu. Jika kamu menyukai liputan visual, Magdalene juga membuat laporan berformat video yang bisa diakses di Youtube kami.

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani

Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky

Editor: Aulia Adam

Reporter/ Periset:

Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Chika Ramadhea

Desainer Grafis: Jeje Bahri, Della Nurlaelanti Putri

Juru Kamera dan Editor Video: Tommy Triardhikara

Web Developer: Denny Wibisono

Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian

Community Outreach: Paul Emas



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.