Marak Kriminalisasi Guru, Saya Ngobrol dengan Orang Tua dan Pengajar tentang Jalan Tengahnya
Ini tak sesederhana mengupayakan perdamaian guru dan orang tua siswa. Setiap kriminalisasi tenaga pendidik harus diselesaikan dari akar masalahnya.
Halimah, 26, mengaku khawatir ketika mendengar kabar penetapan tersangka terhadap Supriyani, guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia yang merupakan guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta di Jakarta menilai, nasib serupa bisa saja menimpa dirinya kelak. Pasalnya, seperti banyak guru lain di sekolahnya, mendisiplinkan siswa adalah salah satu tugas pengajar.
“Di ruang guru itu langsung sibuk ngobrolin hal ini (pemidanaan Supriyani). Masalahnya apa ya, kami di sini mau mendidik siswa, enggak cuma mengajarkan pelajaran aja. Kami jadi serba takut kalau mau bertindak untuk mendisiplinkan anak,” cerita Halimah pada Magdalene.
Menyadur Kompas, Supriyani dilaporkan oleh orang tua murid, Ajun Inspektur Polisi Dua (AIPDA) Wibowo Hasyim atas dugaan memukul kaki bagian atas anaknya dengan sapu ijuk, (24/4). Menurut Wibowo, anaknya mengalami luka memar selepas pemukulan ini. Supriyani dan pihak sekolah, termasuk siswa dan guru sebenarnya sudah berulang kali membantah tudingan itu. Mediasi gagal menyepakati uang ganti rugi senilai Rp50 juta yang diajukan pelapor. Supriyani pun dimasukkan ke balik jeruji dan menjalani rentetan persidangan setelahnya.
Supriyani bukan satu-satunya guru yang harus melalui proses pidana. Pada 2023 lalu, masih dari Kompas, guru Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Rejang Lebong, Bengkulu, Zaharman, dilaporkan atas tuduhan penendangan kaki siswa. Nahas, Zaharman tidak hanya dilaporkan ke pihak kepolisian. Ia juga harus mengalami kebutaan setelah diketapel terlapor, orang tua siswa, saat mediasi di sekolah.
Maraknya guru yang “dipidanakan” orang tua siswa ini membuat aliansi guru mengancam mogok mengajar. Di Konawe Selatan, Sulawesi Selatan, aksi ini dilakukan sebagai respons kriminalisasi guru Supriyani. Menyitir Merdeka, para guru mendesak penangguhan penahanan Supriyani sekaligus menolak anak polisi untuk sekolah di seluruh SD Baito.
Merespons ini, Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), mengaku prihatin. Ia menyayangkan, dari rentetan kasus pemidanaan guru, narasi yang dibangun sesederhana guru vs orang tua siswa saja. Sehingga, banyak guru yang ketakutan bahkan terpaksa melakukan pembiaran jika ada siswanya yang melakukan kenakalan. Sementara di balik pemidanaan ini, sebenarnya ada masalah struktural yang lebih besar.
Baca juga: ‘Monster Parents’: Intervensi Orang Tua Siswa yang Bikin Guru Merana
Kekerasan Tetap Tidak Dibenarkan
Retno menuturkan, pendisiplinan siswa adalah bagian dari proses belajar. Sebagai lingkungan pendidikan, sekolah memang memiliki kewajiban untuk turut serta mendidik karakter anak. Bukan sebatas memberikan mata pelajaran saja.
Namun, meski pendisiplinan siswa wajib hukumnya, praktiknya harus berdasar pada prinsip perlindungan anak. Pada dasarnya, kekerasan bukanlah opsi. Proses pembelajaran bisa tetap terjadi meski tanpa model pendisiplinan berbalut kekerasan, kata Retno.
“Kalau memang tidak melakukan kekerasan, guru tidak boleh dikriminalisasi. Pendisiplinan itu harus dilakukan, dan caranya ini bisa banyak. Tujuannya kan supaya anak belajar bahwa apa yang mereka lakukan salah. Misal, anak menumpahkan minuman di kelas, ya suruhlah untuk dia bersihkan dengan benar. Jadi, tetap harus bebas kekerasan, karena mendisiplinkan anak juga tidak lepas dari perlindungan hak anak,” jelasnya.
Di Indonesia, kita punya Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang selama ini menjadi salah satu landasan dalam proses mendidik siswa. Prinsipnya, UU itu menyebutkan, anak adalah pihak yang harus dilindungi, sebaliknya, guru sebagai orang dewasa wajib mendidik dengan cara yang terbaik.
“Mungkin balik lagi aja kali ya. Guru boleh mendisiplinkan anak tapi tanpa kekerasan, dan orang tua juga jangan main marah dan lapor sembarangan. Komunikasi aja sama pengajar. Kan niat disekolahkan itu biar terdidik,” ujar Nurul, orang tua siswa
“Janganlah kita jadi memisahkan diri dari siswa. Mereka itu anak, pihak yang harus dilindungi. Kita ini satu kesatuan,” ungkapnya.
Keterangan Retno senada dengan Pasal 54 UU Perlindungan Anak yang menyatakan, anak di dalam lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan. Perlindungan ini harus dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.
Lalu apa kata guru soal ini?
Halimah bilang, sebagai guru, ia tak setuju metode pendisiplinan yang sarat kekerasan. Ia bahkan pernah geram ketika melihat rekannya sengaja mencukur rambut siswa hingga meninggalkan bekas (pitak). Untung, sekolah tempat Halimah bekerja punya regulasi yang baik guna menyelesaikan kasus ini. Guru yang melakukan penggundulan sepihak disanksi dengan tegas, pun siswa yang menjadi korban kembali diedukasi terkait aturan rambut di sekolah.
Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia
Perlindungan Guru Menurut Pengajar dan Orang Tua
Saat kasus kriminalisasi guru semakin marak, banyak pihak angkat bicara termasuk Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka. Ia mengusulkan UU Perlindungan Guru didesain untuk mencegah kriminalisasi tenaga pendidik. Namun, menurut Retno hal ini belum perlu. Sebab, jauh sebelum ramai kasus Supriyani, aturan perlindungan guru secara komprehensif sudah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Di dalam UU itu disebutkan, guru berhak atas perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual. Perlindungan ini sendiri bertujuan agar guru dapat melaksanakan tugas dengan tenang dan baik.
“Di dalam UU itu, guru punya kewenangan dua, itu hak prerogatif namanya. Yang pertama adalah memberi nilai. Jadi guru dalam memberi nilai itu enggak boleh diintervensi pihak manapun, sekali pun dia anak presiden. Yang kedua adalah memberi sanksi. Jadi kita boleh ngasih sanksi, di dalam UU juga disebutkan,” papar Retno.
Selain itu, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menjamin bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual. Pun, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru juga kurang lebih menjamin perlindungan guru.
Karena itulah, ketika guru menegur atau menghukum siswa dengan maksud baik, yakni memberi efek jera, tak seharusnya ia dipidanakan. Syaratnya tentu saja hukuman ini perlu dilakukan dengan cara mendidik alih-alih kekerasan, seperti pendapat Halimah sebelumnya.
Halimah menambahkan, sebenarnya sekolah dan orang tua cukup kembali kepada UU dan peraturan yang sudah eksis. Sebab, jika ini jadi acuan, mestinya kejadian kriminalisasi guru sampai meja hijau dapat dicegah.
“Sebenarnya pihak sekolah punya peran besar untuk memediasi juga. Dari pengalamanku, sekolah punya regulasi yang jelas untuk mendisiplinkan anak. Guru juga jadi berpegangan dengan ini. Jadi kita bisa intervensi dan mendidik anak dengan tenang juga,” jelas Halimah.
Bagaimana pendapat orang tua?
Sebagai orang tua siswa, Nurul Almira, 29, menuturkan orang tua siswa memang perlu berkomunikasi dengan pihak sekolah, apabila ada hal yang tidak sesuai dengan harapan dalam mendidik anak. Menurutnya, penegakan sistem dan hukum yang jelas adalah kunci. Hal ini bisa mencegah perdebatan antara orang tua dan pengajar dalam proses mendidik anak.
“Memang penegakan sistem dan hukum yang jelas penting, sih ya. Selama ini mungkin memang masih ada kekerasan, lalu ujung-ujungnya kriminalisasi. Mungkin balik lagi aja kali ya. Guru boleh mendisiplinkan anak tapi tanpa kekerasan, dan orang tua juga jangan main marah dan lapor sembarangan. Komunikasi aja sama pengajar. Kan niat disekolahkan itu biar terdidik. Sebetulnya itu lebih dari cukup,” papar Nurul.
Baca juga: Guru Honorer: Jasanya Dibutuhkan tapi Haknya Diabaikan
Ada Masalah yang Lebih Mendesak: Kesejahteraan Guru
Pada beberapa kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa, Retno justru menyoroti beban emosional guru yang besar. Sebagai manusia, guru terkadang juga memiliki banyak beban yang membuatnya tidak stabil dalam proses mendidik. Kontras sekali dengan glorifikasi bahwa guru adalah pahlawan yang rela mengabdi demi mendidik generasi masa depan.
“Kembali lagi ya, guru ini juga manusia. Tentu pernah tersakiti, pernah merasa kecewa, pernah merasa jatuh. Sebagai orang dewasa, banyak faktor yang mungkin bisa membuat guru tidak stabil secara emosi dan hal ini berimbas pada proses mendidik yang kurang ideal,” jelas Retno.
Hal ini diperparah dengan kesejahteraan guru yang belum terjamin. Kata Retno, kurangnya penjaminan kesejahteraan guru, baik materi dan emosional, jadi inti permasalahan yang perlu diselesaikan.
“Menurut saya, kita perlu manusiawi juga memandang guru, sebagai seorang manusia begitu ya. Perlu pendekatan yang utuh agar guru juga bisa stabil secara emosi,” imbuhnya.
Untuk itu, ia menyarankan skrining kesehatan mental rutin buat para guru. Hal ini penting sebagai asesmen awal untuk mengetahui seberapa sehat guru ketika berhadapan dengan anak. Dari pengukuran ini, pemerintah juga bisa memetakan apa yang sekiranya perlu ditingkatkan dalam konteks kesejahteraan untuk para pendidik.
“Jadi sebenarnya kalau saya bisa memberikan masukan, andaikan UU Guru dan Dosen itu mau direvisi, saya memang meminta untuk ada screening kesehatan mental guru secara berkala dengan dibiayai APBD. Jadi tiap daerah harus siap membiayai, agar tidak ada efek domino ke depan,” ucap Retno.
Yang tak kalah penting adalah membuat guru menjadi profesi dengan upah yang layak. Ini menjadi ikhtiar untuk mengurangi beban dan men-deglorifikasi tugas guru. Sebagai informasi, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 menyurvei 403 guru di 25 provinsi Indonesia terkait upah mereka. Hasilnya, sebanyak 74 persen responden bergaji di bawah Rp2 juta. Yang lebih parah, sebagian lagi punya gaji di bawah Rp500 ribu. Ini artinya, gaji mereka masih di bawah Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) 2024 terendah.
Dalam banyak janji politiknya, Presiden Prabowo Subianto juga menyatakan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk guru honorer. Masalahnya, janji itu betulan direalisasi atau sekadar pemanis ayok gas ayok gas saja?
Ilustrasi oleh: Karina Tungari