Lagi-lagi Ribut tentang Nikah Beda Agama
Pernikahan beda agama di Indonesia memang tidak pernah sederhana. Mendukung mereka yang menjalani harusnya tak setengah-setengah.
Pernikahan staf khusus (stafsus) Presiden Ayu Kartika Dewi dan pasangannya yang berbeda agama sempat jadi topik ramai di Twitter. Apalagi setelah salah seorang kawannya mengucapkan selamat dan menuliskan bahwa pernikahan itu bentuk dari toleransi agama yang diterapkan sang stafsus di kehidupan nyata.
Twit itu tentu saja, sekejap saja, langsung direspon diskusi liar tentang pernikahan beda agama di Indonesia. Sebagian merasa ucapan selamat tersebut tak sensitif pada mereka yang pernah berjuang menikah beda agama. Sebagian lain merasa ucapan itu tak paham konteks permasalahan. Menikah dengan orang berbeda agama tentu bukan cuma perkara seberapa besar toleransimu. Ada permasalahan kompleks di dalamnya: antara keyakinan, penerimaan masyarakat, dan hukum negara yang diskriminatif.
Sebagai muslim yang bertahun-tahun menjalin hubungan dengan pasangan yang seorang Katolik—situasi yang sama dengan Ayu—isu ini, well, too close to home, for me.
Kejadian ini bikin saya berefleksi. Lagi. Sering saya berpikir, hubungan ini sebetulnya sederhana. Harmless. Setidaknya begitu, buat kami berdua yang menjalaninya. Lebih sering bikin pusing, jika ada pihak ketiga yang merungsing. Kalau bukan cibiran tetangga atau kawan yang pura-pura peduli, ya datang dari aturan diskriminatif negara.
Baca juga: Ayu Kartika Dewi Tanamkan Nilai-nilai Keberagaman dan Toleransi pada Anak Muda
Tak Ada Dukungan Negara dan Buruknya Sorotan Media
Meski hubungan beda agama merupakan urusan-amat-sangat-privat antara dua individu, ia tetap selalu jadi perdebatan publik dari masa ke masa. Masih banyak orang yang merasa pernikahan macam ini harus dihindari, kalau tak mau punya masalah di hari nanti.
Sering kali, orang-orang begini tak paham kalau merekalah bagian dari masalah itu juga.
Sebagaimana pengetahuan umum, Indonesia terdiri dari beragam ras, suku, dan agama. Latar beragam yang beragam ini menjadikan hubungan campur, macam hubungan beda agama, mungkin sekali—kalau tidak bisa dibilang sering—terjadi.
Meski logika dasar ini seperti gampang dipahami, hukum kita ternyata belum dirancang untuk mengamininya. Pernikahan beda agama tidak didukung negara.
Sebetulnya dalam Undang-undang Perkawinan tidak ada larangan secara eksplisit. Namun, dukungan itu juga tidak ada. Malah ada poin yang menyebutkan bahwa pernikahan sah apabila institusi agama mensahkan. Sehingga, yang sering terjadi, petugas pencatatan sipil terang-terangan menolak mencatatkan pernikahan beda agama. Konsepsi ini yang lalu terinternalisasi di masyarakat kita. Sampai-sampai tiap anak tak mungkin tak dengar nasihat orang tuanya yang berbunyi, “Kalau bisa cari yang seiman ya, Nak.”
Belum lagi anggapan yang bilang kalau pernikahan beda agama sama dengan melawan hukum negara. Mereka-mereka yang salah kaprah ini biasanya jadi yang paling kencang menghakimi pasangan beda agama.
Lalu, masalah berikutnya datang dari media. Cara masalah ini dibingkai seringkali lewat celah yang mengundang audiens untuk menghakimi. Dalam pernikahan Ayu misalnya, beberapa media arus utama mengambil proses pemberkatan Ayu di gereja Katedral dengan embel-embel clickbait: “perempuan berhijab menikah di gereja” tanpa penjelasan konteks komprehensif. Pola-pola begini ternyata malah membuat mereka yang menikah beda agama diserang netizen, pakai kata-kata yang bikin ulu hati sakit.
Baca juga: Indonesia Memang Negara Kaya Kultur, Kecuali dalam Urusan Kawin Campur
Paling sering, kami dikutuk sebagai pendosa paling berdosa. Banyak yang bilang, seberapa pun berdosanya mereka, menikah beda agama adalah dosa yang tidak akan pernah berani mereka lakukan. Seolah, nilai kami sebagai manusia tidak lagi ada gunanya.
Hal yang sama sempat terjadi pada pernikahan beda agama di Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Sorotan penghakiman media dan tak adanya perlindungan negara ternyata berimbas pilu.
Stereotip dan stigma yang dilanggengkan negara dan media tentu besar dampaknya pada kami yang menjalin hubungan beda agama. Kebencian dan sifat menghakimi itu, biasanya diteruskan oleh orang-orang terdekat kami.
Saat saya mencoba membicarakan rencana menikah, hal pertama yang ibu saya lontarkan adalah: “Apa nanti yang akan orang bilang?”
Ibu juga bilang, ia takut orang akan menilainya gagal sebagai ibu karena tidak bisa mendidik anaknya yang malah berakhir menikahi orang tidak seiman.
Memang saya sedih karena ibu lebih mementingkan persepsi orang lain, dibanding bertanya tentang perasaan saya sendiri. Namun, di sisi lain, saya paham ketakutan ibu dan keluarga saya juga berasal dari derasnya penghakiman terhadap pasangan beda agama, yang sudah kolektif dan jamak dipelihara.
Selain berusaha dapat dukungan, saya juga sering kali memikirkan keselamatan keluarga saya. Bagaimana kalau keluarga saya turut dihakimi orang satu kecamatan?
Alasan itu pula yang sering kali membuat saya, dan mungkin kebanyakan pasangan beda agama lain, lebih memilih work under the radar and keep it in private. Mungkin, bagi sebagian orang, memilih lowkey begini adalah pilihan. Kenyataannya tidak. Kami disituasikan begitu.
Saya tidak bisa membayangkan sorotan tak diperlukan yang diterima Ayu dan pasangannya, karena pekerjaan mereka yang ada di lampu sorot lebih besar. Dukungan dari kawan-kawan yang terbuka dengan pilihan mereka, mungkin lebih banyak. Tapi, tetap saja yang mereka lakukan adalah keberanian yang tidak semua pasangan punya—bukan cuma pasangan beda agama.
Saya sendiri bahkan sudah di tahap tidak lagi memprioritaskan dukungan orang lain, selama dukungan keluarga sudah didapat. Pandangan orang lain tentang kami, sudah tak penting lagi.
Baca juga: Tuhan Kita Nyatanya Tidak Jauh Berbeda
Pertimbangan Ketika Memberi Dukungan
Saya juga mengobrol dengan teman-teman bernasib sama tentang bagaimana bentuk dukungan yang sebetulnya ingin kami dapatkan.
“Lisa”, teman dekat saya yang juga tengah menjalin hubungan beda agama, sering bertemu orang-orang yang mengekori dukungannya dengan embel-embel, “Tapi, menurut gue sih harusnya gini ya…”
Omongan-omongan begini biasanya dilabeli sebagai opini pribadi, yang boleh diambil atau tidak didengar sekalian. Namun, yang jadi masalah sebetulnya adalah keinginan atau hasrat mereka untuk ikut meregulasi hidup kami, yang punya hubungan beda agama. Menurut Lisa, dan saya sepakat, dukungan itu bisa disampaikan sesederhana mendoakan dan memberi selamat. That’s it.
“Kebanyakan orang merasa bahwa opininya tentang pernikahan beda agama itu penting,” kata Lisa. Seolah-olah, kami yang menjalinya tidak tahu kalau kami punya keyakinan yang berbeda.
“Padahal, ya, kita udah tahu. Masalahnya, orang mau tetap menghargai keputusan kita atau enggak, itu yang harusnya ditekankan,” tambah Lisa.
Ketika saya bilang tidak lagi mengharapkan dukungan orang lain, bukan berarti mendapat dukungan dari teman dekat jadi tidak berarti. Punya support system yang baik tentu melegakan. Seperti yang tadi saya sebutkan, menjalani hubungan beda agama memang sering kali sepi, hanya antara kami berdua. Makanya, punya kawan yang mengerti tantangan berliku yang kami hadapi, tentu saja bikin senang.
Namun, yang sebetulnya paling kami perlukan adalah akses menikah yang dijamin aman oleh negara. Saya yakin, hak-hak kami sebagai warga negara—yang dosanya cuma karena saling jatuh cinta—harusnya juga diwadahi amanat UUD 1945. Regulasi yang menjamin hak-hak ini, pasti akan berdampak ke masyarakat luas. Dukungan secara legal, diikuti dengan edukasi secara struktural pasti akan membantu orang-orang terdekat kami untuk berhenti turut menghakimi.
Lebih jauh lagi, berhenti bikin ibu saya ketakutan kalau saya akan dihujat orang-orang seumur hidup saya.
Andai, memilih punya hubungan beda agama itu sesederhana menunjukkan seberapa besar toleransi saya beragama. *menghela napas*