Culture Screen Raves

Mengecap Utopia dan Eskapisme lewat Serial “Gossip Girl” 2.0

Distraksi terbarumu sudah datang di tengah teror yang ada di luar sana.

Avatar
  • February 10, 2023
  • 5 min read
  • 725 Views
Mengecap Utopia dan Eskapisme lewat Serial “Gossip Girl” 2.0

Tulisan ini mengandung spoiler episode 1 Gossip Girl

Cerita tentang remaja menjalani hidup, baik suka maupun duka, baik menderita ataupun penuh glamor tidak akan pernah habis untuk dieksplor. Masa-masa ini adalah masa yang kaya. Saat-saat yang layak untuk diingat, diabadikan, dan dijadikan pelajaran.

 

 

Dari semua serial remaja buatan Hollywood, yang justru menjadi semakin relevan setelah masa tayangnya habis adalah Gossip Girl. Diadaptasi dari buku seri remaja terkenal serial ini seperti memprediksi masa depan. Memata-matai artis atau influencer bukan lagi dianggap sebagai tindakan kriminal. Hal itu sudah menjadi norma.

Itulah sebabnya ketika HBO Max memutuskan untuk menggelontorkan pundi-pundi dolarnya demi memperkenalkan lagi generasi baru ke dunia penuh dengan pergosipan ini, saya sangat bersemangat. Pemainnya telah berubah, tetapi permainannya tetaplah sama. Mungkin ada beberapa penyesuaian dengan kondisi zaman sekarang. Dan setelah menonton episode pertamanya, saya bersyukur bahwa serial ini muncul pada saat kita semua membutuhkan distraksi dari semua teror yang ada di luar sana.

Baca juga: ‘Euphoria’ Serial Televisi Gen Z Paling Realistis?

Kenikmatan menonton Gossip Girl adalah sensasi euforia menyaksikan remaja-remaja luar biasa good looking tinggal di salah satu kota terbaik di dunia, mengenakan setelan desainer, menghamburkan uang orang tua mereka yang tak pernah habis dan menjalani drama remaja yang hanya dialami oleh karakter fiksi. Serial ini bukan seperti euforia yang terlalu real dan mengangkat tema yang sangat penting. Tapi, dia juga bukan serial yang terlalu cetek yang masalahnya tentang cowok mana yang harus dicium. Gossip Girl adalah tentang menjadi relevan, dan itu adalah sesuatu yang kita semua (baca: saya) sangat mengerti.

Ketika trailer-nya baru saja dirilis, Gossip Girl langsung mendapatkan banyak protes dari pecinta serial pendahulunya.

“Mereka nggak akan bisa bikin couple seikonis Blair dan Chuck.”

“Apakah mereka bisa bikin Serena vs. Blair lagi?”

“Aduh aktor-aktor barunya enggak ada yang sekeren aktor-aktor lama.”

Semua komentar tersebut valid dan bisa diterima. Menyadari hal ini, kreatornya yang baru, Joshua Safran, tidak mencoba untuk mengulangi Gossip Girl yang lama. Dia tahu tidak akan yang bisa mengalahkan Blair versus Serena atau romansa Blair dan Chuck yang maju mundur cantik.

Dalam versi baru ini (setidaknya dari episode pertama yang saya tonton), Safran berhasil memberikan rasa familier dengan presentasi baru yang membuat sensasinya menjadi berbeda, tapi tidak terlalu asing untuk membuat Gossip Girl keluar dari brand yang membuat ia terkenal.

Baca juga: ‘Gossip Girl Indonesia’: Masihkah Kelakuan Chuck Bass Bisa Ditoleransi?

Koreksi yang Safran lakukan pertama adalah membuat serial ini menjadi lebih inklusif. Versi jadulnya, seperti halnya banyak serial Hollywood pada zaman itu, sangat eksklusif dimainkan oleh aktor-aktor Caucasian. Dalam Gossip Girl versi baru, Safran tidak hanya mengenalkan dua ratu yang berkulit hitam, tapi ia juga membuat mereka mempunyai hubungan darah. Bayangkan Serena dan Blair tapi mereka mempunyai ibu yang sama, dan Anda akan menemui Julien (Jordan Alexander) dan Zoya (Whitney Peak).

Inklusivitas Gossip Girl yang baru tidak terbatas pada ras saja, tapi versi yang baru ini juga lebih santai dalam berbicara orientasi seksual. Di serial lamanya, ada Eric, adik Serena yang gay. Di versi baru, ada Max Wolfe (Thomas Doherty) yang sepertinya biseksual.

Untuk membuatnya semakin “kekinian”, Safran membuat Aki (Evan Mock) dan Audrey (Emily Alyn Lind) semacam naksir dengan Max Wolfe. Cinta segitiga dengan ketegangan seksual yang lebih panas dari pemerintah Indonesia yang denial soal penanganan COVID? Yes, please. Selain itu, karena serial ini dirilis secara streaming, bukan di TV, secara konten ia jauh lebih berani. Gossip Girl yang lama tidak akan berani membuat adegan di mana karakter perempuan memaksa pacarnya melakukan cunnilingus di depan umum.

Koreksi kedua (dan yang paling revolusioner) dari Gossip Girl versi baru ini adalah tentang bagaimana Gossip Girl bekerja. Di versi aslinya, Gossip Girl adalah misteri. Ia seperti hantu. Mengintai, kenal dengan semua orang dan tak pernah meninggalkan jejak.

Hal ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Misteri ini membuat karakter-karakternya mempunyai musuh yang sama, tapi juga menjadi blunder besar ketika pembuatnya memberi tahu siapa sebenarnya Gossip Girl (sampai sekarang saya masih tidak percaya bahwa Dan Humphrey adalah biang keladinya).

Di episode pertama Gossip Girl yang baru, Safran langsung memberi tahu siapa Gossip Girl sebenarnya. Tidak hanya memberi tahu, ia juga memberikan alasan kenapa orang-orang ini mau repot-repot untuk menciptakan akun Instagram kemudian mengintai dan meneror remaja-remaja ini.

Apakah tindakan mereka etis? Sangat bisa diperdebatkan. Apakah ini membuat dramanya menjadi kurang menggigit? Justru saya jadi semakin penasaran apa yang akan Gossip Girl lakukan untuk meneror remaja-remaja kaya ini.

Gossip Girl bukanlah Gossip Girl kalau ia tidak ahli dalam memamerkan kemewahan. Kali ini dengan bujet HBO, Gossip Girl yang baru keliatan lebih mewah 10 kali lipat dari serial terdahulunya. Lengkap dengan barisan pemerannya yang seperti jatuh dari halaman fashion, setiap frame serial ini rasanya seperti layout fashion spread.

Apakah ini gambaran yang realistis? Tentu saja tidak. Karena inilah alasan utama Gossip Girl begitu menyenangkan untuk ditonton. Ia menawarkan eskapisme. Utopia. Sebuah dunia di mana saya diajak untuk menjadi teman-teman (atau musuh orang-orang kaya ini).

Saya sering kali membaca frase “guilty pleasure” ketika orang menyebut Gossip Girl (atau serial-serial receh semacamnya) sebagai tontonan yang mereka tonton ketika sedang suntuk. Saya menolak menyebut Gossip Girl sebagai guilty pleasure karena saya sama sekali tidak merasa bersalah waktu menonton serial ini.

Pada saat-saat seperti sekarang, ketika menyalakan ponsel saja menjadi sebuah beban karena yang menanti adalah kabar buruk, tontonan seperti Gossip Girl adalah sesosok teman yang sangat saya butuhkan. Saya butuh melarikan diri, saya butuh kabur dari realitas ini. Dan, terima kasih banyak, ia hadir kembali dan sama sekali tidak mengecewakan saya.

Gossip Girl dapat disaksikan di HBO Go.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *