Mengenang Laskar Perempuan Pejuang Kemerdekaan
Tak hanya Kurdi di Irak dan FARC di Kolombia, Indonesia terlebih dahulu punya perempuan gerilyawan pejuang kemerdekaan.
Kita mungkin kagum dengan perempuan gerilyawan Peshmerga dari wilayah otonom Kurdi di Irak, yang berhasil mengusir pasukan ISIS selama pertempuran 2014-2018. Mereka memperoleh pelatihan militer selama 45 hari sebelum diterjunkan ke medan pertempuran.
Ada juga perempuan gerilyawan anggota FARC (Pasukan Bersenjata Revolusioner) di Kolombia. Sebagai gerakan pemberontak melawan pemerintah, mereka tinggal di hutan bersama-sama dengan rekan laki-laki. Sampai 2016, saat kesepakatan perdamaian ditandatangani kedua pihak, jumlah gerilyawan perempuan mencapai 40 persen dari total anggota FARC.
Baca juga: 5 Pelajaran dari Para Pahlawan Perempuan Indonesia
Selama perang Vietnam, ada juga perempuan gerilyawan anggota tentara pembebasan Vietnam Utara melawan pasukan Amerika Serikat. Selama kurun 1970-1975, diperkirakan jumlah mereka lebih dari 11 ribu orang, dan kebanyakan adalah sukarelawan.
Namun jauh sebelum itu semua, Indonesia pada masa perang kemerdekaan 1945-1948 punya LASWI atau Lasjkar Wanita Indonesia. Siapa saja mereka itu?
LASWI dibentuk di Bandung pada 10 Oktober 1945 oleh Sumarsih Subijati, istri politisi Arudji Kartawinata. Anggota LASWI adalah perempuan berusia 18 tahun ke atas. Beberapa anggota LASWI adalah aktivis perempuan selama masa penjajahan Belanda dan mereka yang ikut gerakan bawah tanah zaman penjajahan Jepang. Mereka berlatih menembak, mengurus pengungsi, kepalang-merahan, dan turun ke medan pertempuran. Selain bambu runcing, mereka dibekali juga pistol dan granat. Diperkirakan ada sekitar 100 orang anggota.
Selain LASWI, ada pula LPI (Lasjkar Putri Indonesia), yang didirikan di Surakarta pada 30 Oktober 1945 oleh tiga orang kakak beradik, yaitu Srini, Ibnoe Oemar, dan Sarwiten. Berbeda dari LASWI yang bersifat terbuka bagi siapa saja, LPI hanya menerima mereka yang punya surat izin dari orang tuanya masing-masing. Diperkirakan ada sekitar 200 orang anggota. Sama seperti anggota LASWI, mereka berlatih baris-berbaris, memanggul senjata, dan menembak. Beberapa dari mereka diterjunkan ke medan untuk menyusupkan senjata, granat, dan perbekalan nasi bagi para tentara.
Ada upaya untuk menggabungkan kekuatan LASWI dan LPI. Tapi tidak bertahan lama karena sulitnya koordinasi antara dua organisasi yang punya markas di dua kota berbeda. Selain itu, mereka mesti menghadapi blokade tentara Belanda yang memotong jalur komunikasi antar kota. Baik LASWI maupun LPI mengalami kesulitan akibat agresi militer Belanda kedua (Desember 1948) sehingga pada akhirnya bubar.
Selain itu, perempuan kita juga turun sebagai anggota palang merah garis depan. Sukarti dan Sudarmi, dua bersaudara asal Singaraja (Bali), dan Sin Nio, perempuan Tionghoa asal Wonosobo (Jawa Tengah), adalah sebagian dari mereka yang diakui oleh pemerintah sebagai pejuang atas jasa mereka tersebut.
Berani bertindak
Bukan maksud tulisan ini mengajak para perempuan kita untuk segera bergabung menjadi anggota kepolisian atau militer. Jauh dari itu! TNI masa sekarang jauh berbeda dari Lasjkar Rakjat yang menjadi pendahulunya. Belum lagi ada tes keperawanan bagi para anggota perempuan.
Sama seperti gerilyawan perempuan di banyak negara lainnya, perempuan Indonesia punya pengalaman bertempur di garis depan. Boleh jadi senjata mereka tidak canggih, tapi mereka tak menyerah begitu saja. Sejarah mereka adalah bagian dari ingatan kolektif bangsa kita.
Baca juga: Panggil Kartini Manusia Biasa Saja
Semua ini adalah gambaran dari gelombang peran perempuan sebagai pejuang kemerdekaan yang berani maju ke garis depan. Perempuan dari berbagai lapisan sosial, status, dan golongan berjuang bersama-sama. Mereka bisa saja duduk tenang nyaman di dalam rumah. Namun, mereka berani bertindak dan bergabung bersama perempuan-perempuan lain yang tak segan menyumbangkan tenaga, pikiran, waktu dan juga nyawa mereka.
Di luar negeri sudah ada beberapa film tentang kehidupan gerilyawan perempuan seperti Girls of the Sun (2018) dan Sisters in Arms (2019) yang membahas perempuan Kurdi melawan tentara ISIS, dan dokumenter La Mujer de los 7 Nombres (Perempuan dengan Tujuh Nama, 2018) yang membahas gerilyawan perempuan Kolombia pasca-konflik.
Guna memperkaya representasi visual, sudah saatnya kita punya film tentang perempuan yang berani bangkit melawan dan memanggul senjata, tidak melulu merujuk pada film Kartini (2017) ataupun Nyai Ahmad Dahlan (2017). Jangan lupakan founding mothers kita yang lain, para perempuan revolusioner!