Issues Opini Safe Space

Sisi Gelap Industri Pariwisata: Siswa Magang Rentan Pelecehan Seksual

Industri pariwisata menawarkan banyak kesempatan bagi siswa magang, namun penelitian menunjukkan mereka rentan pelecehan seksual.

Avatar
  • November 14, 2024
  • 4 min read
  • 1265 Views
Sisi Gelap Industri Pariwisata: Siswa Magang Rentan Pelecehan Seksual

Pariwisata sudah menjadi salah satu sektor ekonomi yang diandalkan di Indonesia. Berkat gencarnya promosi dari pemerintah dan juga masyarakat, peluang kerja di sektor pariwisata dan hospitality semakin terbuka, termasuk bagi siswa magang. Namun, di balik gemerlap industri ini, penelitian kami menemukan sisi gelap, yakni kerentanan siswa magang terhadap pelecehan seksual.

Dari 135 siswa di sekolah menengah kejuruan pariwisata di Yogyakarta yang berpartisipasi dalam riset kami pada 2023, hampir 45 persen menyatakan mereka pernah mengalami pelecehan seksual saat kerja magang. Pelecehan tersebut muncul dalam berbagai bentuk, dari lelucon seksual yang tak pantas dan komentar bernada seksual, hingga sentuhan fisik yang tidak diinginkan. Para pelaku bukan hanya rekan kerja, tetapi juga tamu hotel dan bahkan atasan. Situasi ini diperparah oleh status siswa yang “hanya” pekerja magang, membuat mereka kerap kali tak berdaya untuk melawan atau melaporkan tindakan tersebut.

 

 

Baca juga: Dosa Pariwisata Indonesia: Gentrifikasi, Ketimpangan, dan Eksploitasi

Pelecehan Seksual di Sektor Pariwisata

Industri pariwisata memiliki kredo untuk selalu mengutamakan “kepuasan pelanggan”. Hal ini sering kali membuat standar perlindungan pekerja, terutama bagi pekerja magang, menjadi diabaikan. Seperti yang disampaikan oleh salah satu partisipan dalam wawancara, “Tamu adalah raja, kami dituntut selalu menyenangkan mereka, bahkan ketika mereka mulai bertingkah melewati batas.” Ketergantungan kepada tamu membuat siswa magang rentan untuk dieksploitasi dan dilecehkan.

Ketika ditanya apakah mereka pernah melaporkan pelecehan ini kepada pihak manajemen atau ke pihak sekolah, 75 persen dari responden mengatakan memilih diam. Rasa takut dan malu, serta ketidakpercayaan terhadap sistem, membuat sebagian besar korban lebih memilih untuk “menelan” pengalaman tersebut. “Mau melapor takut dimarahi atau malah tidak dianggap serius,” ujar salah satu dari mereka.

Dari wawancara mendalam dengan lima korban, sebagian besar memilih untuk menganggap insiden pelecehan tersebut sebagai “candaan” karena “takut masalah menjadi rumit”. Padahal pelecehan seksual, baik dalam bentuk verbal maupun fisik, bukanlah sekadar lelucon. Ini adalah persoalan serius yang merusak kesejahteraan mental korban dan merendahkan nilai dari pekerjaan yang mereka lakukan.

Pihak sekolah maupun tempat kerja pun kelihatannya kurang memiliki kesadaran soal isu ini. Penelitian kami menunjukkan, lebih dari 80 persen partisipan dalam riset kami mengatakan tidak pernah mendapatkan pelatihan atau arahan untuk menghadapi pelecehan seksual sebelum memulai program magang. Sebagian besar siswa magang tidak dibekali pengetahuan tentang risiko pelecehan di tempat kerja, apalagi pelatihan untuk bereaksi ketika menghadapi perilaku tidak pantas. Hal ini membuat mereka memilih untuk diam atau hanya bercerita kepada rekan sebaya, menciptakan lingkaran bisu tanpa dukungan atau perlindungan yang memadai.

Baca juga: Hati-hati Jebakan ‘Tourist Gaze’: Bahaya Mengeksploitasi Desa Pariwisata

Konsep “Pekerjaan Layak” Bagi Siswa Magang

Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), pekerjaan yang layak adalah pekerjaan yang aman, adil, dan bebas dari segala bentuk kekerasan atau pelecehan. Fakta menunjukkan, industri pariwisata di Indonesia masih jauh dari standar ini, terutama bagi pekerja magang. Sedihnya, banyak dari mereka menganggap pengalaman pelecehan ini sebagai “bagian dari pekerjaan”.

Kami menemukan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban, dan mereka cenderung merasa lebih sulit untuk melapor karena adanya ketimpangan relasi kuasa, terutama ketika pelecehan dilakukan oleh atasan atau tamu. Penelitian kami juga menunjukkan bahwa insiden pelecehan seksual berkontribusi pada dampak psikologis jangka panjang bagi korban, mulai dari rasa rendah diri, stres, hingga trauma.

Industri pariwisata, yang bergantung pada generasi muda untuk tenaga kerja masa depan, seharusnya tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Membiarkan masalah ini berlanjut tanpa solusi hanya akan membuat citra pariwisata semakin memburuk di mata generasi muda. Sudah saatnya institusi pendidikan dan usaha bisnis pariwisata memberikan pelatihan kepada peserta magang, menyediakan saluran pelaporan yang aman, dan menegakkan aturan yang melindungi hak pekerja, termasuk siswa magang.

Perusahaan dan institusi pendidikan perlu mengambil langkah nyata untuk melindungi siswa magang dari pengalaman buruk ini, bukan hanya demi keselamatan mereka, tetapi juga untuk menjunjung tinggi nilai profesionalisme dan etika di sektor pariwisata.

Baca juga: Bromo Rawan Banjir, Pariwisata Jadi Biang Keladinya

Sayangnya, riset lembaga Women in Tourism Indonesia menemukan bahwa hanya 0,3 persen institusi pendidikan pariwisata di Indonesia yang memberikan wawasan tentang kesetaraan gender di sektor ini. Situasi ini tidak hanya merusak kesehatan mental dan semangat generasi muda tetapi juga merendahkan kualitas dan etika industri pariwisata Indonesia secara keseluruhan.

Pekerjaan layak bukan sekadar jargon; ini adalah hak yang harus dijamin. Jika pariwisata ingin benar-benar menjadi sektor unggulan yang membanggakan Indonesia, kita tidak bisa menutup mata terhadap masalah ini. Langkah-langkah seperti membangun mekanisme pelaporan yang aman, memberikan pelatihan khusus, dan mengintegrasikan wawasan kesetaraan gender dalam kurikulum pariwisata harus segera dilakukan. Hanya dengan cara inilah kita dapat benar-benar menyebut pariwisata sebagai sektor yang inklusif, berdaya, dan layak bagi semua.

Karlina Maizida  adalah Dosen Pariwisata di Universitas Gadjah Mada dan kandidat PhD di University of Otago, fokus pada kajian pariwisata berkelanjutan dan studi gender.

Anindwitya Rizqi Monica adalah pendiri Women in Tourism Indonesia (WTID) dan pemilik CV Slamet JogJamu Indonesia. Dengan latar belakang dalam Studi Pariwisata dan Psikologi Industri & Organisasi, Monica memiliki lebih dari lima tahun pengalaman di bidang pemberdayaan perempuan, pariwisata, dan UMKM.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Karlina Maizida and Anindwitya Rizqi Monica

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *