Issues Opini Relationship

Puisi untuk Kakakku yang Queer: Matilah Kau Mati, Ia Abadi

Kakak memutuskan bunuh diri setelah rentetan trauma dikonversi, diumpat, dicaci, dan diasingkan keluarga. Namun, buatku sosoknya abadi.

Avatar
  • June 6, 2023
  • 6 min read
  • 637 Views
Puisi untuk Kakakku yang Queer: Matilah Kau Mati, Ia Abadi

20 Desember 2022. Hari masih siang tapi gelap duluan datang di kamar kosku. Sahabat kakak dari ujung telepon bicara dengan suara bergetar, “Adik yang sabar ya. Kamu tidak usah pikirkan kenapa. Doakan kakakmu di sana.”

Aku mengerti apa yang dia maksud. Dalam tradisi keluarga, kami tidak pernah berani mengucap kata “meninggal” atau “mati”. Kami selalu mencari padanan lain karena terlalu takut, kata-kata ini bisa membuat rapuh, lemah, canggung, dan cemas. 

 

 

Terlanjur. Aku rapuh membayangkan kematian kakakku. 

Baca juga: Kita Semua Queer!

Setahun sebelumnya, 2021. Sebelum keberangkatanku melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) ke Randudongkal, Pemalang, Jawa Tengah, untuk kali pertama aku berbicara dekat dengan kakak. Kami yang terpaut usia 11 tahun, menghabiskan sepanjang malam dengan mengobrol di atas mobil pick-up.

Karena ketahuan pacaran dengan perempuan, kakak selalu dijadikan contoh yang buruk oleh orang tua. Inilah yang membuat kami tumbuh terpisah dan dibatasi kebencian keluarga. Sudah lama kakak hidup terisolasi karena identitasnya yang queer. Aku tidak mengenalnya begitu lekat, kecuali satu hal: Ia mau adiknya ini bahagia dan menikah dengan lelaki yang mencintai secara penuh.

Obrolan beranjak ke topik lain secara acak. Di atas mobil yang sama, kakak cerita ingin melakukan operasi pengangkatan payudara (top-surgery). Sebab, dengan pengangkatan payudara, dia yakin bisa lebih menerima dirinya sendiri.

Malam itu pula aku paham, dia mau bertahan karena Tuhan. “Allah menguatkanku.” Tapi bersamaan dengan itu pula pertanyaan terus menjadi kabut dalam kepalanya, “Kenapa Allah menciptakan orang-orang seperti kita?”

Pertanyaan itu wajar terlontar mengingat banyaknya trauma yang kakak rasakan. Ia diumpat, diusir dari rumah, diberikan rentetan terapi konversi, juga dipercikkan air suci oleh ustaz-ustaz. Sebuah skenario yang mungkin akan terjadi pula padaku jika identitasku ketahuan sebagai queer. 

Namun, aku beruntung. Hingga esai ini ditulis, aku masih aman. 

Manyarah

Aku meraung. Aku hafal suara kakak ketika dia mengucapkan kata, “Manyarah” (menyerah, pasrah) dalam Bahasa Minang saat merasakan sakit. Suara itu menggebuki isi kepalaku. Dadaku pecah dipenuhi rasa bersalah. Aku gagal menjadi pelindung. Aku gagal mewujudkan cita-cita kakak untuk melakukan top-surgery. Aku menangis, mengumpati diri dan semua sanak saudara yang berupaya menghubungiku.

“Setan! Kalian semua pembunuh! Air mata kalian palsu! Kemana kalian selama kakak masih hidup?”

Saat dihubungi keluarga tentang kematian kakak, aku bergegas mencari cara untuk pulang ke Padang. Uang manajer aku pinjam untuk beli tiket pesawat. Sembari mengemasi semua barang dalam koper, aku meminta kawan pergi ke Puskesmas untuk mengambil obat-obat yang biasa aku konsumsi. Aku takkan mati sebelum bisa melihat pusara kakak. 

Baca juga: Queer Love: Kapan Seseorang Disebut Queer?

Aku ingin bisa pulang ke rumah hari ini juga. Aku bersikeras.

“Kakak saya bunuh diri. Saya harus segera pulang,” kataku pada petugas bandara yang menahanku pulang karena alasan administrasi. Tanpa surat vaksinasi Covid-19, aku harus punya surat keterangan meninggal dunia dari RT domisili kakak—yang mana ini mustahil didapatkan secepatnya. Petugas bandara tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu selain memintaku duduk untuk menenangkan diri.

Aku kembali ke kos dengan kecewa berat. Aku cuma mau memberi penghormatan terakhir untuk kakak. Aku akan menyalatkannya dari jauh meski masih tak bisa menerima kenapa Tuhan menakdirkan kakak mati hari itu, dengan cara paling tragis. Padahal kakak selalu menitipkan Tuhan dalam pesan-pesan baiknya. Tuhan Allah. Iya, Allah. Berbeda dengan aku yang mencari sosok Tuhan dalam banyak agama. Satu waktu aku menghadiri misa. Di lain waktu aku terus menangis dalam sujudku.

Kakak wafat 5 hari sebelum Natal. Semarang hujan. Pohon-pohon cemara sintetis sudah dipasang toko-toko di sepanjang jalan. Mal, kafe, ruang-ruang publik ramai dengan gemerincing lonceng Natal. Seharusnya, ada suka-cita tapi buatku cuma ada duka.

“Oh, Bapa Ibrahim, apakah bunuh diri pernah menjadi pertimbanganmu untuk tetap senantiasa mencari Tuhan? Apakah kau pernah bergelut dengan tubuhmu sendiri dan menyaksikan siapa yang kalah antara kalian berdua? Apa kau pernah tahu rasanya kalah? Oh, bodohnya pertanyaan ini. Kau bahkan tidak habis dimakan api.”

Aku melewati malam dengan berandai-andai. Kakak tidak pernah menuntaskan studinya di jurusan yang sama denganku, Sastra Inggris. Karena itu aku dulu berpesan agar kakak menghadiri wisudaku, di mana kita akan menggunakan selempang sama yang bertuliskan “Sarjana Sastra Inggris”.

Andai saja aku bisa mengajak kakak bertemu dengan mantan kekasihku. Mereka bisa menjadi teman akrab karena sama-sama menggemari mesin, mobil, dan sepeda motor. 

Bagaimana jika suatu saat aku benar bisa hidup di luar negeri dan bisa dengan bebas mencintai siapa pun.

Siapa orang pertama yang akan aku hubungi jika kekasihku kelak melamar?

Andai ia bisa menghadiri acara pembacaan buku keduaku yang terinspirasi dari hidupnya. Aku yakin semua yang hadir akan berdiri dan bertepuk tangan menghormati kehadirannya. Ia, kemudian, akan diundang menjadi pembicara di berbagai seminar kajian gender dan seksualitas.

Kami akan hidup di satu apartemen sederhana di Kota Jakarta atau mungkin Semarang. Kami akan mengadopsi seekor golden retriever atau kucing Persia dan menamainya Maximus, seperti yang selama ini ia cita-citakan. 

Aku terus diingatkan agar senantiasa berdoa untuk almarhum. Itu adalah sebaik-baiknya cara  yang bisa memudahkan langkahnya di akhir nanti. Maka, aku berdoa—dalam berbagai upaya. Salah satunya melalui puisi. Aku ingin menciptakan ayat-ayat sendiri. Bagiku, puisi tidak hanya menjelma doa tapi upaya taksidermi: Merias jasad dengan metafora dan memajangnya di dinding-dinding indah dunia sastra. Aku dan kakak adalah mahasiswa sastra. Kami paham, seperti inilah kematian yang diinginkan.

Baca juga: Sulitnya Jadi Ukhti Queer di Indonesia

“mari kita bermain layang-layang di saat jangkrik

saling berderik membahasakan ladang yang bisu

mari kita tarik tali layangan sampai

kita tersungkur tersandung batu

mari kita menghitung jumput detik yang tersisa

hingga jari-jari kita keriput dan ditumbuhi uban

masih banyak hal yang ingin kutuakan

bersamamu. kuingin usia tidak mengenal lapuk

seperti matahari tidak mengenal wangi malam

kuingin jam memiliki zebra cross agar setiap

waktunya untuk melaju aku bisa diam saja

menggenggammu tanpa khawatir akan ditabrak

masa. lalu kita berjalan pulang dengan selamat 

ke pusara kita yang bersebelahan

kita mengompos merawat tanah

memperkenalkannya pada ujung pelangi.

tulang kita yang t’lah hancur kapur

merias kelopak-kelopak bunga melati

kita tenun rumput-rumput kuning yang keropos

meski di bawah sini jasad kita tidak lebih

dari uraian cerita mitos.”

Semarang, Februari 2023. Ketakutanku terasa lebih dekat sejak terakhir kali duduk di sekolah dasar. Setiap kali melalui kulit lebam-lebam kakakku, memar itu semakin terasa perih. Seperti inilah bagaimana trauma diturunkan, pikirku.

Sekarang apa yang bisa aku lakukan selain berjuang sebisanya. Dari dua angan-angan bocah di atas mobil pick-up, kini cuma tersisa aku. Selagi hidup, aku berjanji akan merawat kisah-kisahmu, kisah-kisah kita. Menulis sejarah, mengabadikan hidup dan kematian. Bukankah itu artinya kau tak benar-benar mati?

Zar Mose adalah penulis dan spesialis pencitraan digital yang sekarang menetap di Semarang untuk menuntaskan studinya di jurusan Sastra Inggris. Ia lahir dan besar di Batusangkar, Sumatra Barat. Dia telah merilis satu buku kumpulan puisi berjudul Galeri Hormonal (2021). Beberapa karyanya  juga sudah dimuat di media, seperti Omong-omong, zine ASEAN Youth Forum, dan South-East Asian Queer Archive. Dia dapat dihubungi melalui email [email protected] dan Instagram @zarmose.



#waveforequality


Avatar
About Author

Zar Mose