Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’
Masih banyak perusahaan yang melarang pelamar kerja berusia 30 tahun ke atas untuk mendaftar. Sebuah ageisme yang nyatanya sulit dihilangkan.
Usia Rangga masih 33 tahun dengan karier yang terbentang panjang, setidaknya sampai pensiun dua dekade ke depan. Namun siapa sangka, generasi milenial satu ini sudah mengalami kesulitan bekerja belakangan.
Ia bercita-cita jadi manajer kedai kopi. Didukung pengalaman sebagai barista selama lima tahun, Rangga optimis mudah diterima di kedai kopi yang diinginkan. Sayang realitas tak seindah harapan. Hampir semua lowongan kerja dengan posisi yang Rangga incar, selalu mematok usia maksimal 25 hingga 27 tahun.
Selama setahun, ia bergerilya memasukkan lamaran, bahkan rela menganggur sementara demi konsisten mengejar mimpinya. Namun lagi-lagi ia gagal. Butuh hati yang lapang sampai akhirnya ia memutuskan banting setir dan melamar ke bidang pekerjaan lain. Hasilnya sama: Ditolak karena usia.
“Aku pernah coba ngelamar posisi entry level administrasi, tapi itu juga batas usia di bawah 30 tahun. Sebelumnya aku pernah juga mau lamar digital marketing sama warehouse manager, dua-duanya maksimal 27 atau 26. Aku frustrasi banget sampai sempat comment di IG yang posting lowongan kerja, ‘Kenapa sih umurnya maksimal 27, memang di atas 30 enggak butuh kerja?’” keluh Rangga.
Baca Juga: Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas
Diskriminasi Usia Jamak Terjadi
Rangga enggak sendiri. Ia punya teman yang bernasib sama, Nindira, 36. Ia bercerita pernah ditolak salah satu bimbingan belajar (bimbel) karena terhalang selisih usia satu tahun. Awalnya Nindira memang sempat menanyakan kepada admin bimbel, apakah bisa melamar kendati batas maksimal usia cuma 35 tahun saja.
Saat ditanya, sang admin memberikan sedikit harapan pada Nindira. Mereka meminta Nindira langsung datang saja ke lokasi wawancara serta membawa segala persyaratan tambahan, seperti surat lamaran kerja. Nindira rela berangkat dari rumahnya di Bekasi ke Jakarta. Sayang, harapannya kandas saat berkasnya dicek oleh pemberi kerja.
“Dilihat tuh usia saya yang lebih dari batas maksimal. Saya ditanyakan kenapa masih datang ke tempat tersebut. Tapi dengan alasan domisili termasuk jauh, saya tetap diizinkan mengikuti tes kerja walau hasil akhirnya tidak pernah diberikan,” ucapnya.
Selepas melamar dari tempat bimbel itu, Nindira mengaku tertekan, sedih, kecewa, dan putus asa. Kesedihannya berlipat-lipat setelah ia juga ditolak mengajar di daycare Tangerang karena alasan serupa.
“Sedih. Saya punya pengalaman dalam mengajar namun karena terhalang batas usia, jadi kehilangan banyak kesempatan,” kata Nindira lagi.
Ditolak kerja karena usia yang dialami Rangga dan Nindira nyatanya bukan hal baru di Indonesia. Diskriminasi yang akrab disebut sebagai ageisme ini sudah jadi fenomena umum. Ironisnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) hingga perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) disebut-sebut melanggengkan praktik diskriminasi ini.
Terakhir yang sempat viral pada Januari lalu adalah persyaratan rekrutmen Bank BTN untuk posisi General Banking Staff, Customer Service, Teller Service Staff, dan Sekretaris yang dipatok usia maksimal 24 tahun. Satu bulan berselang, Kementerian Ketenagakerjaan sempat membagikan lowongan kerja lewat tagar #LokerNaker di X dengan pembatasan usia maksimal 25 tahun.
Yang lebih fatal, Kemenaker kepada Kompas menyebut, penetapan batas usia sebagai persyaratan melamar kerja bukanlah bentuk diskriminasi. Pernyataan itu terlontar usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terkait permohonan pemohon yang mempermasalahkan batas usia tertentu bagi pelamar pekerjaan.
Adapun pemohon uji materi tersebut adalah Leonardo Olefins Hamonangan, 23 yang mengajukan gugatan pada awal Maret 2024. Latar belakangnya, ia mengalami diskriminasi usia saat melamar jadi staf legal pada 2022. Bolak balik melihat lowongan kerja, Leonardo dibuat heran dengan sebagian besar lowongan yang ia dapati selalu mencantumkan batas usia maksimal dan persyaratan diskriminatif lainnya.
“Persyaratannya sangat diskriminatif seperti usia, berpenampilan menarik, tinggi badan dan lain-lain. Tapi saya melihat banyak lowongan pekerjaan yang membatasi usia tertentu dan mulai banyak perusahaan membatasi diri terhadap usia diatas 27. Saya jadi penasaran kenapa sih mau kerja saja dibatasi usia,” katanya pada Magdalene, (17/8) silam.
Meski bikin heboh, sampai-sampai HRD di Linkedin mendiskusikannya, lalu membuat hakim MK terbelah dan menyatakan dissenting opinion, tapi permohonan itu sepenuhnya ditolak MK. Alasan penolakan, kata Hakim MK Arief Hidayat kepada BBC Indonesia, batasan usia dalam pekerjaan tak termasuk diskriminasi. Yang termasuk diskriminasi ketika pembedaan itu didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status, sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
Baca Juga: Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga
Di Balik Pembatasan Usia Pelamar Kerja
Rangga masih ingat respons admin media sosial perusahaan yang memberlakukan batasan usia kerja sampai 27 tahun. “Mereka bilang, ‘Ya kalau umur-umur di atas 27 atau 30 ke atas itu (budaya) senioritasnya kentel, makanya kita lebih milih kerja bareng dengan umur-umurnya sama.’ Aneh banget alasannya. Padahal menurutku tergantung orangnya. Memang dipikir, Gen Z enggak ada (budaya senioritas) gitu?” tutur Rangga.
Protes serupa dilayangkan Leonardo saat mengikuti bootcamp Human Resource. Namun dalih pemberi kerja saat itu, pembatasan usia bertujuan agar lebih mudah “mengeksploitasi” pekerja baru. “Alasan mereka kenapa lebih suka merekrut usia di bawah 26 karena usia tersebut masih sangat fresh. Mudah diarahkan dan mudah menerima gaji yang diberikan perusahaan,” katanya.
Apakah benar demikian? Magdalene menghubungi Myra M. Hanartani, Ketua Bidang Regulasi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) untuk cari tahu jawabannya. Myra bilang, pembatasan usia pelamar kerta terjadi karena alasan praktis dan teknis. Di antaranya, perusahaan punya karakteristik industri dan kebutuhan yang berbeda.
Dalam hal ini, engga semua pekerjaan bisa diisi oleh orang-orang dari kelompok usia tertentu. Ia mencontohkan, pekerjaan sebagai surveyor yang harus bekerja di lapangan dan mobilitas tinggi, membuat perusahaan mencari pekerja yang secara fisik lebih kuat, yakni anak-anak muda.
“Kan harus dipikirkan daya tahannya. Jadi enggak bisa kalau tua, yang fisiknya enggak bisa. Jadi sebetulnya sesuai dengan karakteristik perusahaannya saja,”tuturnya.
Alasan lain adalah efisiensi waktu dan biaya rekrutmen. Ia bilang perusahaan punya syarat-syarat jabatan tertentu sebagai proses penyaringan tenaga kerja. Percuma saja jika kesempatan dibuka selebar-lebarnya, tapi posisi yang ditawarkan sedikit atau dibutuhkan persyaratan tertentu. Pun kalau tak dibatasi ketat, perusahaan akan lebih banyak membuang waktu hanya untuk proses rekrutmen, sehingga ongkos bisa membengkak.
“Alasan mereka kenapa lebih suka merekrut usia di bawah 26 karena usia tersebut masih sangat fresh. Mudah diarahkan dan mudah menerima gaji yang diberikan perusahaan,” katanya.
Terkait ini Zelda Lupsita, HR Program Manager Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) angkat bicara. Katanya, alasan perusahaan mematok batas usia pelamar kerja memang faktor anggaran. Perlu ditekankan tidak semua perusahaan di Indonesia adalah perusahaan skala besar dengan jumlah karyawan ribuan. Data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia pada 2023 sekitar 66 juta. Sementara, jumlah perusahaan industri manufaktur skala menengah dan besar di Indonesia pada 2023 hanya sekitar 32.193 unit.
“Perusahaan mikro hingga menengah ke mikro ada concern budget. Kalau hire professional yang biasanya usianya lebih dari 25 tahun, mereka kurang mampu bersaing dengan offer-offer diberikan,” jelasnya.
Karena alasan itu, imbuh Zelda, banyak perusahaan mikro hingga menengah akhirnya lebih cenderung merekrut pekerja muda untuk posisi entry level.
Meski efisiensi anggaran jadi pertimbangan besar, Lusiani Julia, Program Officer International Labour Office (ILO) tetap mengkritik diskriminasi usia. Menurutnya, alasan tersebut sekadar strategi banyak pengusaha yang memang ingin membayar pekerjanya dengan upah murah dan perjanjian sebatas kontrak saja.
Mereka takut harus merogoh kocek dalam, termasuk mengalokasikan tambahan tunjangan sosial dan fasilitas lain jika merekrut pekerja yang punya pengalaman atau pekerja tetap. “Nah kalau masih baru bekerja, mereka tidak begitu berani untuk bersuara di tempat kerjanya. Ketika dieksploitasi dan dicegah untuk tahu hak-haknya, mereka bakal takut di-PHK atau kontraknya tidak diperpanjang,” jelas Lusiana.
Baca juga: Rumah untuk Milenial: Bahkan Kerja Selamanya pun Masih Tak Terbeli (Bagian 1)
Perempuan yang Paling Terdampak Ageisme
Cynthia Barnes, CEO National Association of Women Sales Professionals, dan mantan Anggota Dewan Forbes bilang, ageisme di dunia kerja lebih berdampak pada perempuan. Dia bahkan menyebut ageisme terhadap perempuan atau gendered ageism adalah seksisme model baru.
Pernyataan Barnes bukan omong kosong. Dalam riset yang dilakukan tiga ekonom dari Tulane University pada 2015 ditemukan, ageisme dalam rekrutmen kerja lebih banyak dialami perempuan ketimbang laki-laki. Para peneliti mengirimkan resume fiktif sebagai tanggapan atas 40.000 iklan lowongan kerja di belasan kota Amerika Serikat.
Dari resume fiktif itu didapati, panggilan interview jauh lebih tinggi untuk kelompok yang lebih muda, apa pun jenis pekerjaan yang diiklankan. Namun, perempuan yang usianya lebih tua, memiliki panggilan balik paling sedikit. Mirisnya lagi, para peneliti mencatat, masyarakat lebih menekankan penampilan fisik perempuan daripada laki-laki.
Sembilan tahun berselang, Women of Influence+ (WOI+), organisasi global yang membantu karier perempuan merilis survei soal ageisme yang dialami perempuan di 46 negara. Ditemukan dari 1.250 perempuan, 80 persen mengalami mengalami ageisme dari proses perekrutan hingga penjajakan karier profesional. Dari jumlah itu, 57,7 persen melaporkan, karier mereka akhirnya mandek.
Pertanyaannya, kenapa ageisme lebih banyak menyasar perempuan? Barnes menjelaskan perempuan sering kali masih dihadapkan pada stereotip bias gender tentang status sebagai istri dan ibu. Perempuan di mata pengusaha, kata Barnes, dipandang sebagai sosok yang lekat dengan keluarga. Mereka adalah fondasi dari kerja-kerja perawatan dan domestik, sementara laki-laki tidak.
Stereotip ini membentuk pandangan bahwa perempuan di bawah 25 tahun belum serius dengan karier, sedangkan usia 25 hingga 40 tahun berada di tengah-tengah masalah keluarga. Pandangan ini tentu menyabotase perempuan. Mereka jadi lebih sedikit mendapat kesempatan kerja, promosi, dan akhirnya punya penghasilan yang lebih rendah daripada laki-laki.
Nabila Risfa Izzati Hukum Universitas Gadjah Mada dalam artikelnya di The Conversation juga menjelaskan, karena perempuan masih dibebankan sepihak kerja-kerja perawatan pascamenikah dan memiliki anak, banyak yang akhirnya berhenti bekerja sementara. Ketika para perempuan ingin kembali ke pasar kerja, usia mereka telah lewat “batasan usia” yang banyak disyaratkan oleh lowongan pekerjaan.
Ini bisa jadi merupakan salah satu penyebab mengapa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan di Indonesia berada pada kisaran 50 persen untuk 20 tahun terakhir, jauh di bawah partisipasi laki-laki yang sebesar 80 persen. Bahkan kata Nabila, jika perempuan bisa kembali bekerja sekali pun, mereka cuma bisa bekerja di sektor informal yang cenderung tidak memiliki batasan usia.
Ia pernah mewawancara perempuan-perempuan pengemudi ojek online (ojol) untuk penelitian doktoralnya. Dalam wawancara itu, ia menemukan, keputusan perempuan jadi pengemudi ojol dilatarbelakangi oleh usia mereka yang sudah tidak memungkinkan untuk mencari pekerjaan “kantoran”. Padahal, usia mereka masih di angka 30-40 tahunan.
Masuknya perempuan ke dalam sektor informal karena ageisme inilah yang kemudian berakibat pada kerentanan berlapis pada perempuan. Ini karena sektor informal hingga kini tidak dijamin oleh hukum dan praktik-praktik eksploitasi seperti upah rendah, jam kerja panjang, dan tanpa jaminan sosial umum ditemui.
“Untuk ngakses (Kartu Prakerja) setengah mati. Kamu tuh harus punya BPJS. Untuk bayar BPJS, kamu kan harus punya penghasilan kerja, sedangkan kamu nyari pekerjaan aja susah,” kata Rangga.
Praktik Baik Negara Lain yang Bisa Dicontoh
Saat heboh soal gugatan Leonardo, Magdalene sempat menghubungi Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kemnaker. Ia bilang, pihaknya menghormati upaya pemohon serta putusan MK. Sekarang waktunya kita harus fokus mengupayakan keseimbangan antara kebutuhan dari sisi dunia usaha dengan ketersediaan tenaga kerja yang kompetensinya sesuai dengan pekerjaan yang ada. Demikian pula upaya untuk mendorong minat kewirausahaan juga perlu menjadi perhatian.
Pemerintah, imbuhnya, melalui kolaborasi antarkementerian dan dunia usia terus meningkatkan program pelatihan, pemagangan, dan permodalan. Ini seharusnya menjadi alternatif yang bagus untuk dilirik oleh para pencari kerja.
“Selain itu, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan layanan sistem informasi pasar kerja untuk memudahkan para pencari kerja dengan perusahaan yang membutuhkan. Saya rasa kalau semua ini diusahakan bersama-sama, maka kekhawatiran akan tidak cukup luasnya kesempatan kerja dapat kita atasi,” tuturnya.
Program Kartu Prakerja adalah salah satu program yang digadang-gadang pemerintah yang bisa atasi masalah ini. Program ini merupakan pengembangan kompetensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan/atau pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi.
Jika mengacu langsung pada laman website Kemenaker, setiap pencari kerja atau pekerja berkewarganegaraan Indonesia dengan usia 18-64 tahun, serta tidak sedang mengikuti pendidikan formal, bisa ikut dalam program ini. Namun demikian, Rangga mengakui persyaratan ikut program ini tidak semudah yang dijanjikan pemerintah.
“Untuk ngakses (Kartu Prakerja) setengah mati. Kamu tuh harus punya BPJS. Untuk bayar BPJS, kamu kan harus punya penghasilan kerja, sedangkan kamu nyari pekerjaan aja susah,” kata Rangga.
Selain itu, untuk mengakses sistem prakerja sendiri dibutuhkan jaringan daring dengan ponsel cerdas dan paket data. Dengan persyaratan “tidak terlihat” ini, Rangga menilai, program prakerja sebatas solusi instan yang Jawa sentris, karena tidak semua wilayah di Indonesia punya akses digital yang merata.
Lalu apa sebenarnya solusi ideal untuk ageisme di dunia kerja? Lusiani mengungkapkan, sebelum ada kebijakan praktis dan teknis, pemerintah seharusnya lebih dulu melakukan intervensi dalam membentuk regulasi yang tegas dalam melarang praktik diskriminasi usia dan jenis kelamin yang enggak relevan dengan pekerjaan. Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999. Namun, karena usia tidak termasuk di dalamnya, tidak mengherankan akhirnya praktik ageisme masih marak terjadi hingga kini.
Terkait regulasi ini, sudah ada beberapa negara-negara dari kawasan ASEAN, Eropa, dan Amerika Serikat yang duluan mempraktikannya. Dari kawasan ASEAN, ada Filipina yang sejak 2016 telah memiliki regulasi Anti-Age Discrimination in Employ Act. Sebagai implementasi atas regulasi ini, pemerintah Filipina melarang iklan kerja berdasarkan usia, mencegah praktik perekrutan yang tidak adil, menerapkan perlakuan yang sama kepada tenaga kerja di segala usia, dan memberikan perlindungan terhadap pekerja yang dipensiunkan paksa oleh pemberi kerja.
Sementara di Uni Eropa sejak 2000, telah mengeluarkan larangan diskriminasi berdasarkan usia dalam pekerjaan dan jabatan. Larangan ini masuk dalam Arahan Dewan 2000/78/EC yang merupakan bagian dari arahan kerangka kerja umum untuk perlakuan yang setara dalam pekerjaan dan jabatan. Amerika Serikat juga tak ketinggalan. Untuk melindungi individu dari ageism di dunia kerja, mereka memberlakukan The Age Discrimination in Employment Act of 1967 (ADEA).
Begitu pun di Australia yang sudah mengeluarkan undang-undang The Age Discrimination Act (ADA) 2004. Dikutip dari laman Australian Human Rights Commission, ADA melarang diskriminasi usia dalam semua aspek ketenagakerjaan, termasuk perekrutan, pemutusan hubungan kerja, dan akses ke peluang pelatihan dan promosi. Lewat ADA, Komisioner Diskriminasi Usia kemudian dibentuk untuk membantu individu dan organisasi untuk memahami hak-hak mereka dan memenuhi tanggung jawab hukum mereka.
Tentunya regulasi yang tegas melarang ageisme bukan jalan akhir. Setelah regulasi dibuat, pemerintah perlu menyusun mekanisme yang bisa membantu pekerja untuk mendapatkan keadilan. Mirip seperti dilakukan pemerintah Australia.
“Jadi kalau ada diskriminasi, kita bisa mengajukan keluhan. Access to justice ini yang penting banget dibentuk. Kita bisa mencontoh Australia lewat Fair Work Commission mereka atau pengadilan tempat kerja. Jadi kalau mengalami diskriminasi karena gender, usia, bahkan status perkawinan, kita bisa mengajukan ke pengadilan khusus,” jelasnya.
Tak kalah pentingnya, buat perempuan yang lebih berdampak karena ageisme, Lusiani juga mendorong pemerintah membangun sistem pendukung kuat, yaitu dalam bentuk ekonomi perawatan. Pemerintah sudah harus bergerak maju dalam mengakui kerja-kerja perawatan yang selama ini dibebankan sepihak kepada perempuan.
Pengakuan negara penting untuk memperlihatkan bagaimana kerja-kerja perawatan yang justru selama ini jadi batu sandungan perempuan ternyata punya nilai ekonomi dan berdampak luas pada roda kehidupan negara. Barulah dari sini pemerintah bisa menurunkannya lewat kebijakan-kebijakan lain.
“Kerja-kerja perawatan itu ada nilai ekonomi yang harus diakui, diberikan fasilitas seperti penitipan anak yang mudah diakses. Jaminan sosial dalam konteks cuti ayah juga bisa dipertimbangkan. Ketika perempuan keluar, harus dihitung juga kontribusinya pada perekonomian. Ini semua diperlukan karena kalau tidak di-support, maka mereka (perempuan) akan hilang dari dunia ketenagakerjaan,” tutup Lusiani.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini:
Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian I)
Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian II)
Bahagia dan Kejar Mimpi Pasca-Bercerai: Cerita Tiga Perempuan
Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas
Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga
Rumah untuk Milenial: Bahkan Kerja Selamanya pun Masih Tak Terbeli (Bagian 1)
Rumah untuk Milenial: Bahkan Kerja Selamanya pun Masih Tak Terbeli (Bagian 2)