Perkabungan
Dalam perkabungan, seorang istri semakin tenggelam dalam konflik rumah tangga dan perselingkuhan. #cerpen
1
Kemarin malam, Pak Umar meninggal dan hari ini tetangga-tetanggaku membicarakan Melinda, istri si mendiang, sebagai makhluk di balik kemalangan lelaki tersebut. Kabar yang berembus mengatakan bahwa Melinda-lah, yang secara tidak langsung, telah membunuh Pak Umar. Perempuan itu diketahui sejak lama main serong dengan Khadafi, warga desa sebelah, yang bekerja sebagai pedagang baju di sebuah ruko tak jauh dari alun-alun kota.
Menurut penuturan Bu Asih, pemilik warung yang jadi langganan ibu-ibu setempat, pada mulanya Pak Umar tak sengaja melihat Melinda berboncengan naik motor Supra bersama Khadafi pada suatu siang. Kala itu, Pak Umar baru selesai mengajar. Penasaran, ia pun mengikuti mereka sampai ke penginapan yang terletak di kawasan perkebunan teh. Pak Umar tak langsung bereaksi. Ia biarkan keduanya masuk penginapan. Dan setelah beberapa lama, dengan hati tersayat-sayat, Pak Umar memaksa pelayan tempat itu agar memberi tahu nomor kamar dua orang tersebut.
Begitu mendapati sang istri sedang berpadu kasih dengan orang lain, ia pun muntab. Sejak saat itulah konon Pak Umar jadi pemurung, jarang makan, dan terus menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sampai akhirnya jatuh sakit. Aku tak tahu benar atau tidaknya kabar tersebut. Bu Asih juga enggan membeberkan narasumber aslinya.
Singkat cerita, karena sakitnya makin parah, Pak Umar pun hanya bisa tergolek di ranjang tanpa daya. Pasrah. Seolah kematian memang sudah jelas-jelas mengulurkan tangan dinginnya. Demikianlah, dari waktu ke waktu, hari ke hari, kondisi Pak Umar betul-betul kian memperihatinkan. Selama di pembaringan, lelaki itu selalu membisu. Bahkan tak sekali pun ia menyapa warga yang menjenguknya atau sekadar melempar senyum ramah. Jiwanya seperti telah lama meninggalkan tubuh fananya itu.
Hari-hari Pak Umar menjelang wafat memang tampak menyedihkan, tapi dugaan soal Melinda yang menyebabkannya jadi demikian aku pikir kurang adil. Meski pernikahan keduanya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Namun bukan berarti ia tidak bahagia bersama lelaki yang kalau dilihat dari segi usia lebih cocok jadi bapak atau pamannya itu. Aku tahu karena Melinda adalah teman dekatku sejak sekolah dasar dan sekali waktu ia bercerita padaku mengenai mahligai rumah tangganya.
Melinda menikah dengan Pak Umar saat berusia 19 tahun. Sementara lelaki itu sendiri sudah berusia 43 tahun. Ketika itu, Melinda masihlah gadis yang menjadi idola lelaki kebanyakan lantaran berpostur sedang, agak kurus, dengan rambut hitam jelaga, dan pipi yang senantiasa bersemu kemerahan meski tanpa rias, serta bibirnya yang merah segar layaknya warna buah delima.
Aku tahu Melinda memilih Pak Umar bukan karena bujang tua tersebut memiliki kekayaan yang di atas rata-rata orang desa. Sebagai anak seorang tuan tanah, Pak Umar memang mewarisi sawah dan perkebunan yang luar biasa luas. Meski ia sendiri lebih dikenal sebagai cendekiawan yang saban hari mengajar di sekolah menengah atas negeri terbaik se-kabupaten kami. Selain itu, Pak Umar juga mengabdikan dirinya untuk menulis. Karya tulisnya, baik yang berupa cerita pendek maupun esai, telah terbit di berbagai media berskala nasional.
Kenapa Pak Umar belum menikah hingga berusia empat puluhan, aku tidak tahu pasti. Orang-orang bilang, Pak Umar pernah menjalin hubungan dengan perempuan dari Kalimantan ketika berkuliah di Yogya. Namun hubungan itu kandas oleh sebab yang tidak jelas. Mungkin perkara tidak direstui orangtua atau semacamnya. Entahlah. Tidak ada yang tahu pasti perihal kondisi lelaki itu. Sebab, sejak lulus kuliah hingga sekarang, Pak Umar memang terkesan menutup diri. Terasing dari lingkungannya.
Maka ketika Pak Umar melamar Melinda, orang-orang pun sama terkejut. Tak terkecuali aku. Melinda selama ini adalah kembang desa. Ia muda, cantik, dan terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia sering membantu ibunya mengerjakan pesanan katering untuk acara-acara perkawinan dan sebagainya. Meski begitu, Melinda sebetulnya ingin kuliah dan mencari pekerjaan di kota. Akan tetapi, orangtuanya tak menghendaki. Lebih-lebih bapaknya yang dengan enteng bilang, “Kau hanya perlu menikahi lelaki kaya dan lengkap sudah hidupmu. Perempuan tak butuh sekolah. Ia cuma mesti pandai urusan dapur, sumur, kasur. Macak, masak, manak.”
Baca juga: Prasangka: Sebuah Cerita Pendek
Barangkali, menerima lamaran Pak Umar adalah salah satu wujud pelampiasan naluri Melinda yang gagal menempuh jenjang pendidikan tinggi. Kalau tak salah ia pernah bilang padaku begini, “Tidak masalah kalau aku bukan perempuan berpendidikan, tetapi aku bisa jadi sinar yang menerangi lelaki berpendidikan. Mengiringinya sampai menjadi manusia yang berguna untuk manusia lainnya. Itu pastilah tugas yang mulia. Bagaimana menurutmu?”
Saat itu aku tak terlalu menanggapi omongannya, sekalipun ia kelihatan serius. Aku kira ia hanya sedang berputus asa lantaran telah melalui deretan kisah asmara yang menyuruknya ke dalam penderitaan tak berkesudahan. Sejak umur dua belas hingga dua puluh, ia telah beberapa kali menjalin hubungan dengan lelaki. Dan selama itu pula, ia kerap dikhianati. Kalau bukan dikhianati, ya berusaha ditaklukan, dijadikan semacam budak cinta. Nasib memang, ia sering jatuh ke pelukan orang yang ingin menggiringnya seperti kerbau.
“Tapi Kang Umar lain,” ucapnya pada suatu kali. “Ia bilang, ia ingin menjalin hubungan yang setara denganku kalau kita jadi menikah nanti. Tak peduli walau dia suami dan aku istri. Kami akan saling mendengar suara masing-masing. Oh dan dia juga bilang kalau aku punya hak memutuskan sesuatu yang sekiranya baik untuk keluarga.”
“Kau percaya dengan bujang tua itu?” Aku mencibir.
“Aku sudah mencoba mengenal sosoknya dan menurutku dia tidak cuma romantis, tapi juga bijak. Dewasa.”
“Romantis? Ya ampun, Linda,” aku menepuk jidat. “Semua orang yang menjalin hubungan denganmu kau bilang romantis.”
“Iya sih, tapi Kang Umar betul-betul beda. Aduh, bagaimana ya menjelaskannya. Aku butuh laki-laki yang sepeti Kang Umar.”
Begitulah alasan Melinda menerima Pak Umar. Meski orang kebanyakan menilai perempuan itu gila pada hartanya semata.
Mula-mula, setelah menikah, ia masih sering bicara denganku. Hal-hal yang ia ceritakan tentu seputar Pak Umar. Keromantisannya, kedewasaannya, dan lain-lain. Beberapa cerita pendek dan puisi Pak Umar di koran, kata Melinda, terinspirasi dari sosoknya. Mendengar semua itu, aku tentu bahagia sebagai seorang teman dan sesama perempuan.
Tapi entah kenapa setahun belakangan, Melina menjadi sama tertutupnya dengan sang suami. Ia masih berusaha ramah terhadap siapapun yang ia jumpai. Akan tetapi, sorot matanya yang penuh luka, sukar disembunyikan. Apalagi dariku, teman dekatnya.
Ah, Melinda yang malang. Sekarang ia tertimpa musibah. Suaminya meninggal dan orang-orang menghakimi dirinya sebagai pezinah tak tahu adab. Betul-betul tidak adil. Kukira, mereka mestinya mencoba memahami Melinda. Bukan mencelanya. Sebab di dunia ini, tidak ada suatu perbuatan yang timbul tanpa adanya pemicu. Tidak akan ada asap tanpa adanya api.
Bagaimanapun dia sekarang, aku harap, perempuan itu akan selalu baik-baik saja. Minggu ini aku akan mencoba mencari kesempatan agar bisa mengobrol dengannya dan semoga saja bisa melipur laranya. Tapi sampai kesempatan itu tiba, sebaiknya aku tetap menjaga jarak. Aku ingin memberinya waktun untuk berduka.
2
Semua orang menganggapku sebagai biang keladi atas kematian Kang Umar. Memang, aku akui aku selingkuh dengan Mas Khadafi. Tapi orang-orang tentu tidak akan pernah paham mengapa aku sampai melakukan hal tercela semacam itu. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa mau mendengar. Sama seperti saat aku menerima lamaran Kang Umar. Mereka pikir, aku ini gila harta, karena mau menikahi bapak-bapak. Padahal, aku hanya mendamba sosok pasangan yang bijaksana.
Aku ingin bercerita pada Susi sahabatku. Susi selalu bisa memahami keputusanku dalam melakukan sesuatu. Meski sekarang, entah kenapa ia kelihatan agak menjaga jarak.
Andai punya kesempatan bicara dengannya, aku akan bercerita tentang rumah tanggaku dengan Kang Umar yang sepintas kelihatan harmonis. Iya, Kang Umar memang lelaki yang baik dan cerdas. Tapi ia lebih sering hidup di alam pikirannya sendiri dan enggan membagi sebagian dari dirinya untukku. Kecuali dalam hal persetubuhan dan uang untuk mencukupi kebutuhan. Di luar itu, aku adalah hal lain yang tak lebih penting ketimbang tokoh-tokoh fiksi cerpennya atau gagasan tentang kemanusiaan pada esai-esainya.
Baca juga: Suamiku Menjadi Serigala Ketika Malam Tiba
Kang Umar tidak mau mengenalku lebih jauh. Itu bisa kulihat dari cara ia menggauliku dan setelahnya. Sama sekali tak ada pembicaraan menarik di antara kami baik saat atau setelah beradu fisik di ranjang. Biasanya aku yang memulai cerita tentang diriku dan ia hanya diam mendengarkan tanpa menunjukkan minat lebih. Memang, sekali waktu, ia membuat cerita-ceritaku menjadi karya sastra yang menarik. Tetapi itu untuk dirinya sendiri. Untuk kepuasan batinnya.
Hidupku sebetulnya tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin seorang suami berpendidikan yang bisa memahamiku dari luar dan dalam. Mencoba mengenalku lewat pembicaraan ringan di meja makan atau membuatku merasa dimanusiakan lewat perhatiannya. Perhatian yang kumaksud ini tentang bagaimana ia menatapku, memelukku, atau berkomunikasi denganku. Selama ini, ia memperlakukanku seperti orang lain. Hanya saat bersetubuh ia baru mau bicara agak banyak denganku. Itu pun hanya berlangsung sesaat, sebelum ia akhirnya menjelma jadi binatang buas yang siap menerkam tubuh telanjangku.
Semua kata-kata manisnya tentang kesetaraan, tentang memahami perasaan satu sama lain, menguap begitu kami memasuki bulan kelima pernikahan. Aku kira kesetaraan di sini bukan hanya hubungan suami-istri dari segi teknis rumah tangga, kesetaraan ini bagiku haruslah mempertimbangkan perasaan antara lelaki dan perempuan yang telah menikah. Sama-sama mencoba membahagiakan dan memasuki hidup satu sama lain.
Mungkin karena aku bukan perempuan berpendidikan tinggi, maka ia jarang membicarakan topik-topik yang sedang ia tulis. Menyebalkan betul. Ia pikir aku tidak akan mampu memahami apa yang ia geluti. Padahal, aku selalu menyempatkan diri membaca tulisan-tulisannya di koran maupun buku-buku di ruang perpustakaannya.
Ketika aku memprotes sikapnya, ia malah balik mengataiku sebagai orang berwawasan yang tidak akan mengerti alam pikirannya. Cih, picik betul.
Susi sibuk bekerja. Sedangkan membicarakan soal suami dengan perempuan-perempuan selain dia, di desa ini, bukanlah keputusan bijak. Alhasil aku pun kesepian. Nelangsa secara perasaan. Dalam kondisi demikian, Mas Khadafi hadir di hidupku sebagai laki-laki yang serba pengertian. Selain relatif lebih muda, Mas Khadafi juga menunjukkan sikap pembelajar sejati yang ingin mengenaliku. Pada mulanya aku hanya pelanggan setia baju-baju di rukonya. Tetapi lambat laun, aku jatuh hati dengan lelaki itu. Dengan sikap perhatiannya dan cara ia mendengarku. Mas Khadafi membuatku merasa telah menikahi lelaki yang salah.
Kuakui, aku diam-diam menjalin hubungan dengan Mas Khadafi. Aku berencana menggugat cerai suamiku yang impoten secara perasaan itu. Tulisan-tulisan puitisnya maupun gagasannya tentang dunia tak lagi membuatku bahagia. Aku lebih butuh suami yang mampu membuatku merasa ada dan dibutuhkan. Meski dari segi pemikiran atau pendidikan, relatif biasa saja.
Sialnya, sebelum niatku terlaksana, Kang Umar keburu memergokiku. Malu betul aku dengannya. Mengapa ia bisa mengikuti kami ke penginapan dan bahkan bisa merangsek masuk kamar, aku tak tahu. Barangkali memang Tuhan telah memutuskan bahwa aku mesti menyudahi semua sandiwara ini.
Sejak hari sial itu, Kang Umar mendadak jadi pendiam dan kehilangan nafsu makan. Ia bahkan sering mengamuk di ruang kerjanya dan selama berbulan-bulan tak sanggup menulis apa-apa. Ia tak menceraikanku, padahal aku berharap demikian. Ia tetap menahanku di rumah. Meski kami bak orang asing yang tak lagi saling bertegur sapa. Sekalipun begitu, aku tetap berusaha memenuhi tugasku sebagai istri untuk merawatnya. Hingga kemudian ia jatuh sakit dan meninggal.
Untuk sementara, kuminta Mas Khadafi agar menjauhiku sampai seratus hari lagi. Laki-laki itu manut. Ia biarkan aku sendiri berkabung.
Oh, pada detik-detik ini, aku merasa bersimpati dengan Kang Umar. Dalam perkabungan, aku mencoba mereka-reka perasaannya terhadapku. Tetapi semakin aku memikirkannya, perasaanku yang sebetulnya justru makin terbenam di kegelapan.