Pintar Tapi Bodoh? Kembangkan EQ, Terutama di Saat Pandemi
Mengapa orang-orang yang intelektualitasnya tinggi kadang lebih mudah lepas kendali emosi?
Mungkin tidak sih, seseorang itu pintar tapi sekaligus bodoh?
Mungkin sekali! Soalnya “kepintaran” itu ada macam-macam. Di dalam tulisan ini saya membahas dua di antaranya: IQ (intelligence quotient), yang dijadikan ukuran kepintaran intelektual seseorang dan yang mengandalkan kemampuan kognitif, serta EQ (emotional quotient) yaitu kecerdasan emosional yang menyangkut “hati” dan perasaan.
Kenapa saya tertarik dengan pertanyaan ini? Karena baru-baru ini, beberapa kali saya kena semprot dan sasaran pelampiasan teman-teman yang tak bisa diragukan intelektualitasnya. Tiba-tiba mereka kehilangan kemampuan nalarnya, menjadi “budak nafsu”, dirasuki emosi yang tak terkendali, melontarkan tuduhan semena-mena yang ngawur, membabi buta, dan terkesan dia yang benar sendiri.
Meski tidak nyaman disemprot seperti itu, saya tidak meladeni serangan mereka, apalagi membalas. Saya langsung paham, mereka pasti lagi stres. Mungkin tanpa sengaja, ada ucapan saya yang memicu trauma masa lalu, atau hot buttons (pemicu memori yang sensitif) mereka.
Saya mungkin sempat menyebut nama seseorang yang pernah membuatnya sakit hati, terancam, atau cemburu. Atau jika seseorang sedang punya kecemasan besar karena penghasilan berkurang akibat COVID-19, bahkan kemungkinan kehilangan pekerjaan, maka uang akan menjadi topik sensitif baginya. Rasa tidak berdaya menghadapi situasi porak-poranda akibat pandemi ini juga membuat orang frustrasi dan marah, yang sangat mungkin dilampiaskan kepada siapa pun.
Baca juga: Mengapa Laki-laki Marah Ketika Merasa Malu?
Celakanya, yang paling sering jadi sasaran adalah orang terdekat karena meskipun jauh di bawah sadar, mereka yakin orang tersebut mencintainya dan akan selalu memberikan dukungan dan kasih sayang, tanpa syarat. Ada unsur pengecutnya sih memang, dan jelas tidak adil. Tapi mungkin orang-orang seperti ini, terutama kalau sedang emosional, seperti mundur (regresi) menjadi anak umur tiga tahun yang mengamuk. Jangan dilawan, diamkan saja sampai mereka reda dan eling lagi (semoga!).
Ketika seseorang cemas, takut, atau marah, salah satu mekanisme yang sering digunakan adalah proyeksi. Manifestasinya sehari-hari biasanya dengan cara menyalahkan orang lain.
Menurut sebuah artikel di majalah Pijar Psikologi (2017), proyeksi adalah “salah satu mekanisme pertahanan diri, ketika seseorang mencerminkan kecemasan atau rasa bersalah di dalam dirinya kepada orang lain untuk mengurangi ketidaknyamanannya. Proyeksi terjadi ketika kita mengkritisi orang lain, padahal di bawah sadar, sedang mengkritisi diri sendiri.”
Jadi tidak mengherankan bila serangan, tuduhan ataupun umpatan seseorang yang dalam keadaan seperti ini merupakan refleksi diri mereka sendiri. Jika mereka menuduh kita menghina atau menyakiti mereka, melukai martabat mereka, bersikap merendahkan mereka, tidak bisa dipercaya, munafik, tidak konsisten, tidak bisa menerima kritik, terlalu kritis, bersikap menyerang, egois, picik, tidak punya hati, pencemburu, dll., kemungkinan besar sebenarnya sifat atau perasaan itu berkaitan dengan diri mereka sendiri.
Menebar racun
Mengapa justru orang-orang yang intelektualitasnya tinggi yang malah kadang lebih mudah lepas kendali emosinya? Kemungkinan karena intelek sangat berkaitan dengan ego, dan zaman sekarang, yang sangat mengagungkan “intelek”, merupakan lahan subur untuk ego-ego besar berkembang. Bentuk ekstrem dari ego besar ini adalah gangguan kepribadian narsistik (narcissistic personality disorder, NPD), yang contoh paling ekstremnya adalah presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Penggunaan media sosial (medsos) juga cenderung menjuruskan kita jadi narsis meski tidak separah Trump. Medsos membuka ruang untuk seseorang menjadi narsis, pamer, dan membuka rahasia dirinya yang dulunya tertutup. Medsos sebenarnya sumber ketidakbahagiaan, karena bisa merupakan ajang persaingan dan pertengkaran.
Sebenarnya, seseorang yang lepas kendali secara emosional itu lemah, labil, kurang percaya diri, cemas atau bahkan ketakutan. Jelas ia sangat perlu meningkatkan EQ-nya.
Jadi apa sebenarnya kecerdasan emosional itu? Ia merupakan kemampuan menyadari, mengendalikan dan mengekspresikan emosi, dan menangani hubungan interpersonal secara bijaksana dan empatik.
Misalnya Anda bereaksi secara emosional, pertama, identifikasikan emosinya: marah, sedih, kecewa, takut, tersinggung, malu, dlsb., dan apa kira-kira hot button yang menjadi pemicunya. Kedua, tahan dorongan menyalahkan orang lain, bersikap defensif atau bereaksi secara berlebihan. Ketiga, ambil tanggung jawab untuk reaksi negatif kamu yang merupakan respons emosional Anda sendiri. Bukan salah orang lain, dong, kalau Anda sensitif dengan perilaku atau ucapan tertentu dan bahwa Anda memiliki pola mental kebiasaan yang muncul ketika Anda menginterpretasikan situasi tertentu secara negatif.
Jika kita bereaksi secara berlebihan, misalnya marah berlebihan untuk suatu kesalahan kecil, dampaknya bisa merusak hubungan, membuat orang yang menjadi sasaran tidak sudi berhubungan lagi dengan kita, atau berisiko kita terlihat tidak dewasa dan bahkan konyol. Tebar pesona oke, tapi tebar racun, jangan yah!
Baca juga: Mengapa Menjadi Cantik Penting di Media Sosial
Jangan jadi budak nafsu
Kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di luar diri kita. Satu-satunya yang bisa kita kuasai atau pilih adalah respons diri kita sendiri. Ada “formula” sederhana yang konon dibuat Jean-Paul Sartre (1905-1980) filsuf terkenal Perancis: “Between B and D is C” (antara B dan D adalah C). Ini bukan sekedar urutan alfabet, karena B adalah birth (kelahiran), D adalah death (kematian), dan C adalah choice (pilihan). Mudah sepertinya ya? Tapi sesungguhnya membuat pilihan yang benar itu sering sangat sulit dan bisa menjadi penentu antara kegagalan dan keberhasilan, dan kesedihan dan kebahagiaan baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Prof. Peter Salovey, seorang ahli psikologi di A.S., menerbitkan buku di tahun 1996 berjudul Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ (Kecerdasan Emosional: Mengapa bisa lebih penting daripada IQ), karena EQ memang merupakan kunci keberhasilan pribadi maupun profesional.
Yuval Noah Harari, profesor dari Israel dan penulis tiga buku sangat terkenal, yang terakhir 21 Lessons for the 21st Century (21 Pelajaran untuk Abad ke 21) juga mengatakan, dengan perkembangan teknologi dan AI (kecerdasan buatan), di masa depan kita akan menghadapi perubahan yang belum dapat kita bayangkan. Harari mengatakan ada empat hal yang perlu kita lakukan untuk persiapan menghadapi masa depan: Mengenali diri kita sendiri (who am I?), mengembangkan kemampuan adaptasi, ketahanan mental, dan kecerdasan emosional.
Baca juga: Jangan Sulit Minta Maaf, Efeknya Dahsyat!
Apa yang sebenarnya dicari manusia? Konon, kebahagiaan. Tapi kebahagiaan hakiki hanya bisa di dapat dengan adanya keseimbangan antara IQ dan EQ, atau sisi intelektual dan kecerdasan emosional kita. Sebenarnya ada satu lagi SQ (spiritual quotient) yaitu kecerdasan spiritual, tapi akan saya bahas pada kesempatan lain.
Saya ingin menutup dengan menyitir sahabat saya Dr. Neng Dara Affiah, Sosiolog dari Universitas Nahdlatul Ulama yang juga menyebut dirinya sebagai “perempuan pejalan spiritual”. Ia seseorang yang cukup langka karena memiliki baik IQ, EQ, maupun SQ yang tinggi dan seimbang.
“Tak semua orang pintar dan cerdas itu berhati baik, berhati bening. Kepintaran bahkan terkadang mencelakakan seseorang, karena keegoisannya. Sikap egoisme itulah yang menjadi ‘neraka’ bagi orang dan kemungkinan akan mencelakakannya. Seseorang merasa hebat, orang lain tak hebat. Memang untuk hidup menjadi ‘benar’ itu tak mudah.”
Memang tidak mudah menjadi “manusia seutuhnya” tapi kalau kita bisa menahan diri untuk tidak menjadi “budak nafsu”, itu merupakan langkah pertama.