Prioritas Ibu dan Diskriminasi Bapak yang Problematik
Ibu-ibu diprioritaskan untuk membawa anak di berbagai layanan dan tempat publik, tapi hal itu tak berlaku untuk bapak-bapak.
Pada 2019 silam, setahun setelah melepas kerja tetap di kantor lama, saya mengurus pencairan dana BPJS Ketenagakerjaan di daerah Jakarta Selatan. Kala itu, saya baru punya bayi usia sekitar tiga bulan dan membawanya serta ke kantor BPJS lantaran tidak memiliki pengasuh, tidak ada keluarga untuk dititipi, dan pasangan harus bekerja di kantor.
Tidak ngeh bahwa saya seharusnya mendaftar daring lebih dulu untuk dapat antrean, saya pun dengan santai melenggang ke kantor yang masih tergolong sepi. Saya pun bertanya pada petugas cara mendapat nomor antrean. Begitu dia melihat saya menggendong bayi, ia pun mempersilakan saya masuk dengan mudahnya, dan tak butuh waktu lama untuk dipanggil. Di situ saya baru tahu, ibu membawa anak ternyata mendapat prioritas layanan di BPJS Ketenagakerjaan.
Beberapa bulan berselang, giliran pasangan saya yang ingin mencairkan dana BPJS-nya setelah berganti kantor. Ia sempat mendaftarkan diri secara daring sebelumnya, tetapi karena saya punya pengalaman mendapat privilese antrean karena membawa bayi, saya pun menyarankannya melakukan hal serupa.
Hasilnya? Berbeda dengan pengalaman saya terdahulu, pasangan saya diribetin mulai dari petugas keamanan yang mengurus nomor antrean sampai petugas yang mengurus pencairan dana BPJS. Mereka tak dengan gampangnya memberi prioritas kepada pasangan saya. Bahkan, si petugas berwenang sampai menelepon saya dahulu mengonfirmasi, apakah benar laki-laki membawa bayi di hadapannya adalah suami saya, kenapa saya tidak mengurus bayi, dan membiarkan ayahnya yang memegang dia.
Dari pengalaman ini, saya mulai membuka mata lebih lebar tentang privilese prioritas ibu membawa anak, yang berbarengan dengan diskriminasi bapak. Acap kali saya mendapati simbol prioritas yang mencantumkan gambar perempuan dengan bayi, dan itu terejawantah dalam praktik pemberian kursi di transportasi publik macam TransJakarta dan KAI Commuter.
Tidak kah lebih sering kita melihat satu keluarga–bapak, ibu, dan bayinya–bepergian naik transportasi umum lalu ibu dan anaknya jadi orang yang lebih sering diberi kursi, sekalipun si bapak sedang menggendong anak?
Lalu kalau melihat ke konteks ruang menyusui (yang tentu saja mencakup ruang ganti popok anak), hampir selalu (koreksi saya kalau salah) ibu dan anak yang dibolehkan masuk. Ini masuk akal, karena perempuan pasti butuh ruang privat ketika harus membuka bra dan menyusui anaknya.
Baca juga: Bapak Rumah Tangga Adalah Solusi, Jadi Tak Perlu Risi
Namun, bagaimana jadinya jika di satu waktu, yang bepergian hanya si bapak dan bayinya? Saya jarang masuk toilet laki-laki (hanya kalau kepepet saja dan tidak ketahuan orang sekitar). Namun, sependek pengetahuan saya, tidak ada tempat khusus untuk mengurus keperluan bayi seperti ganti popok atau baju di sana, apalagi ruangan khusus seperti ruang menyusui bagi ibu dan bayi.
Saya dapat membayangkan betapa repotnya seorang bapak tunggal beranak balita atau bayi dalam mengurus si bocah. Saya rasa ini tak adil, sehingga mau tidak mau, bapak yang memegang bayi harus memakai fasilitas seadanya (dengan kondisi toilet sekotor atau sebau apa pun di banyak tempat) untuk urusan higienitas bayi.
Oleh sebab itu, saya sempat membatin, “Wow” waktu melihat plang ruang menyusui dilabeli “ruang keluarga” di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, dan mendapati seorang bapak juga masuk ke ruangan itu membantu istrinya mengganti popok bayi. Memang sih, di ruangan tersebut ada bilik-bilik bergorden lagi yang memungkinkan ibu menghindari eksposur dirinya sedang menyusui, dan tidak banyak tempat publik yang punya kemewahan macam itu.
Sebuah “Kebenaran”: Ibu adalah Pengasuh Anak Utama
Dari beberapa contoh kasus tersebut, ada dua benang merah simultan yang saya tarik. Pertama, prioritas ibu di berbagai tempat publik meneguhkan “kebenaran” bahwa ibulah pengasuh anak yang utama. Padahal, sejatinya memiliki anak adalah keputusan bersama dan karenanya, baik ibu maupun bapak adalah pengasuh anak utama.
Kedua, “kebenaran” macam ini pada akhirnya berdampak buruk juga bagi perempuan. Lagi dan lagi mereka yang disalahkan pertama kali kalau urusan pengasuhan anak berantakan. Perempuan mesti mengemban tugas ganda yang kian dipersulit dengan infrastruktur yang belum merata dan memadai, mulai dari tempat kerja sampai pusat perbelanjaan.
Tidak semua tempat publik punya ruang menyusui. Bahkan, tidak semua bangunan punya toilet yang cukup bersih dengan bilik cukup lega bagi ibu untuk membantu anaknya membersihkan diri setelah buang hajat.
Selain itu, pemberian prioritas yang cenderung lebih banyak kepada ibu saja mengafirmasi perempuan sebagai sosok yang lebih lemah. Kalau bicara kekuatan fisik, hampir selalu ini tidak dimungkiri. Tetapi kalau bicara ketahanan fisik, saya rasa perempuan dan laki-laki tidak jauh beda. Keduanya sama-sama bisa capek, jadi lemah, bisa sakit ketika mengemban beban pekerjaan (baik domestik maupun publik) yang terlalu berat.
Bapak yang membawa-bawa stroller dan tas bayi (yang bisa dibayangkan seberat apa mengingat isinya yang bermacam-macam) di TransJakarta, sama capeknya dengan ibu yang menggendong seorang bocah 7 kg, dan posisi ini bisa dipertukarkan. Karena itu saya heran, masih ada yang memandangi saya waktu saya memberi kursi kepada pasangan saya yang membawa bayi kami, sementara saya berdiri di sisinya.
Baca juga: 9 Manga Wajib Baca dengan Karakter Bapak Rumah Tangga
Prioritas bagi Kedua Orang Tua, Bukan Ibu Saja
Saya tentu setuju dengan affirmative action pemberian prioritas kepada ibu hamil atau membawa anak di tempat-tempat publik, bahkan bersyukur atas ini. Namun, hal tersebut akan lebih baik bila hal tersebut ditujukan bagi kedua orang tua. Bapak juga perlu diberi prioritas yang setara.
Ini sepantasnya berlaku pula untuk pemberian hak cuti berbayar setelah punya anak (paid parental leave). Di Indonesia, sesuai Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, ibu punya hak cuti hamil/melahirkan selama tiga bulan, sedangkan bapak hanya mendapat cuti berbayar dua hari .
Pemberian parental leave sudah lama menjadi kontroversi: Tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga laki-laki, dengan bayaran dan durasi setara. Atau setidaknya, lebih lama dari hitungan hari.
Di sisi perusahaan, tentu ada pikiran merugi bila membayar karyawan yang mengambil cuti lama setelah istrinya melahirkan. Bahkan karena pikiran berorientasi profit saja ini, di beberapa perusahaan bahkan aturan di UU Ketenagakerjaan bagi ibu melahirkan diabaikan. Belum lagi susahnya mencari pengganti karyawan yang cuti tersebut.
Sementara mereka yang mendukung parental leave bagi bapak dengan durasi lebih lama, seperti yang diinisiasi CEO Opal Communication Kokok Dirgantoro di kantornya, berargumen peran bapak sama pentingnya dengan ibu setelah anak lahir. Bonding anak dengan orang tua tidak semestinya dengan ibu saja pada awal masa hidupnya, tetapi juga dengan bapak. Di samping itu, pemberian parental leave pada ayah yang cukup lama juga membantu mengurangi beban fisik dan psikis perempuan, yang selama ini diwajarkan saja oleh masyarakat setelah ia melahirkan.
Tidak hanya soal cuti, hal-hal lain yang berkaitan dengan anak pun sudah sepatutnya dipikirkan perusahaan dalam membuat kebijakan. Misalnya, fleksibilitas kerja dan toleransi pada bapak yang perlu mengambil rapor, dipanggil guru anak, atau tidak ikut rapat karena menjaga anak yang sakit di rumah.
Situasi tidak akan pernah setara selama toleransi untuk hal-hal ini hanya diberikan kepada perempuan saja. Pasalnya, mereka ujung-ujungnya akan harus tetap juggling menyeimbangkan kehidupan rumah dan keluarganya, sementara laki-laki dipandang hanya punya satu tugas: bekerja di ranah publik dan pulang membawa uang.
Ilustrasi oleh Karina Tungari