Setahun Genosida Gaza, Propaganda Kian Meluas ke Lebanon
Libanon kini jadi target propaganda Israel. Tujuan mereka sama: Melenyapkan negara lain untuk memperluas wilayah sendiri.
Lagi-lagi masyarakat sipil jadi korban pembunuhan Israel di Lebanon pada (3/10) kemarin. Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan kepada Anadolu, sedikitnya 28 petugas medis terbunuh dalam 24 jam terakhir buntut serangan udara Israel di Lebanon.
Dengan dalih menyasar Hizbullah, Israel menggempur Lebanon sejak (23/9). Serangan ini sendiri merupakan eskalasi kekerasan Israel sejak dimulainya agresi Tel Aviv ke Jalur Gaza yang menewaskan hampir 41.800 orang.
Jika ditotal, setidaknya 1.974 orang telah terbunuh, lebih dari 9.384 orang terluka, dan 1,2 juta orang lainnya mengungsi, menurut pihak berwenang Lebanon. Sementara menurut WHO, melansir dari laman United Nations, 37 fasilitas kesehatan ditutup. Di Beirut, tiga rumah sakit terpaksa mengevakuasi staf dan pasien secara penuh, dan dua rumah sakit lainnya dievakuasi sebagian.
Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina
Terus bertambahnya korban jiwa di Lebanon membuat WHO bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Masyarakat setempat untuk mendukung manajemen trauma dan korban massal yang efektif di rumah sakit.
“Sayangnya, hal ini tidak dapat dilakukan karena penutupan penuh bandara Beirut (akibat serangan),” keluh Tedros kepada portal berita yang sama.
Karena itu, WHO menyerukan deeskalasi kekerasan. Mereka mendesak agar layanan kesehatan dilindungi dan tidak diserang, rute akses diamankan dan pasokan dikirim, dan tentunya gencatan senjata sebagai solusi politik dan perdamaian.
Sebelum serangan udara Kamis lalu, Israel sempat jadi sorotan dunia karena diduga terlibat dalam perencanaan pengeboman massal. Pada (17/9), sekitar pukul 15.30 waktu setempat, terdapat dua ledakan serentak ratusan pager genggam yang digunakan oleh anggota Hizbullah. Ledakan yang menurut analis data Ralph Baydoun diduga dipicu oleh peretasan, menewaskan 14 orang, termasuk dua anak-anak. Hampir 3.000 orang lainnya terluka, banyak di antaranya dalam kondisi kritis.
Meskipun pemerintah Israel belum resmi mengomentari serangan-serangan tersebut, pada (18/9), Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan “era baru” perang dengan Lebanon telah dimulai. Ia juga memuji “pencapaian luar biasa” dari pihak keamanan dan intelijen Israel.
Pernyataan tersebut mengutip dari Amnesty Internasional ditafsirkan sebagai pengakuan implisit atas peran Israel dalam serangan. Pihak berwenang Lebanon dan para pejabat AS juga mengindikasikan, yakin Israel mendalangi serangan-serangan tersebut.
Amnesty International sendiri berbicara dengan delapan saksi, Menteri Kesehatan Lebanon, dua dokter, dua psikolog, dan seorang sumber keamanan. Laboratorium Bukti Krisis organisasi ini menganalisis 19 foto dan video dari ledakan dan akibatnya. Mereka juga telah mendorong Dewan Keamanan PBB harus melakukan penyelidikan internasional atas peristiwa ini. Peristiwa yang mereka sebut jelas adalah kejahatan perang. Sayang hingga hari ini, belum ada kejelasan tindakan dari Dewan Keamanan PBB.
Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
Propaganda Gaza yang Meluas ke Lebanon
Terus lolosnya Israel dari segala tuduhan kejahatan perang tanpa penyelidikan internasional, hanya memperkuat impunitas mereka di mata hukum. Muhammad Shehada, penulis dan analis Palestina dan Manajer Urusan Uni Eropa di Euro-Med Human Rights Monitor mengungkapkan, impunitas ini berdampak besar pada apa yang kita sedang lihat di Lebanon.
Segala jenis kekerasan, mulai dari ledakan pager, serangan udara, hingga invasi darat Israel, kata Shehada, merupakan bukti nyata Israel tengah menggunakan propaganda serupa dengan genosida di Gaza. Tujuannya untuk memberangus Lebanon.
Hal pertama tentang propaganda yang digunakan Israel bisa diketahui lewat klaim Israel tentang serangan di Lebanon. Mengutip pernyataan juru bicara Pasukan Pendudukan Israel Daniel Hagari, serangan Israel ke Lebanon diklaim jadi aksi pertahanan diri dari kemungkinan serangan Hizbullah, yang konon bakal menembakkan rudal dan roket ke wilayahnya. Mereka kemudian menargetkan Hizbullah yang dikatakan bersembunyi di antara padatnya warga sipil Lebanon.
Klaim pertahanan diri Israel ini sudah dilakukan berulang kali di Gaza dengan kelompok berbeda, Hamas. Baik Hamas maupun Hizbullah, kedua-duanya dicap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Persis seperti apa yang terjadi pada Hamas, cap teroris ini mengaburkan akar masalah tentang mengapa Hizbullah bisa lahir.
Mengutip dari Sheila Ryan dalam Journal of Palestine Studies, Hizbullah adalah kelompok yang didukung Iran yang lahir pada 1982 sebagai respons invasi pertama Israel di Lebanon. Dengan melakukan pengeboman artileri, invasi pertama Israel di Lebanon menelan korban jiwa antara 2.000 hingga 3.500 pengungsi Palestina dan warga sipil Lebanon hanya dalam dua hari.
Beberapa kelompok Lebanon pun kemudian dibentuk untuk mengusir invasi tersebut, salah satunya Hizbullah. Dalam manifesto yang mereka terbitkan tertulis, tujuan Hizbullah berdiri memang mencakup mengalahkan Israel dan mengusir entitas-entitas kolonialis Barat dari Timur Tengah.
Selain alasan pembelaan diri Israel, propaganda yang dipakai Israel di Lebanon terlihat dalam serangan udara harian mereka di negara tersebut. Tercatat Israel telah menjatuhkan lebih dari 80 bom ‘bunker-buster’ seberat 2.000 pon di enam gedung bertingkat penuh warga sipil dalam dua minggu. Israel mengeklaim serangan udara intens ini diperlukan untuk membunuh para anggota Hizbullah terutama pentolannya, Hassan Nasrallah.
Namun faktanya, klaim ini cuma kamuflase dari rencana besar Israel. Sebab, serangan ini merupakan bagian dari taktik yang dikenal sebagai sabuk api atau cincin api. Menurut Shehada, itu taktik pengeboman tanpa pandang bulu di dalam dan di sekitar area yang ditargetkan. Tujuannya tak lain memaksimalkan kehancuran dan kerusakan. Konsep sabuk api dikembangkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Israel 2019-2023, Aviv Kohavi, dalam rencana ‘Tnufa’ (momentum) multi-tahunnya. Israel pertama kali menggunakan taktik ini di Gaza pada perang 2021.
Baca juga: #RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza
Tentara Israel tanpa pandang bulu mengebom blok pemukiman di Gaza tengah dengan rudal terberatnya, menewaskan 44 warga sipil, dengan dalih mengincar terowongan yang dikuasai Hamas. Namun, sejak 7 Oktober, Israel mulai mengerahkan taktik sabuk api secara lebih luas dan agresif untuk meratakan seluruh lingkungan pemukiman, memusnahkan desa, dan memaksimalkan jumlah korban.
Israel kembali menggunakan retorika soal tameng manusia atau human shield.Di Gaza, berulang kali Israel menuduh Hamas menggunakan tameng manusia dalam hal ini warga sipil untuk melancarkan serangan. Padahal Amnesty International, Human Rights Watch, bahkan BBC tidak pernah menemukan buktinya.
Sebaliknya, militer Israel sendiri dilaporkan dalam investigasi surat kabar Haaretz jadi pihak aktif yang menggunakan warga sipil Palestina sebagai tameng manusia di Gaza. Tujuannya guna memasuki dan membersihkan terowongan serta bangunan yang mereka duga telah dipasangi jebakan.
Praktik tersebut meluas di berbagai unit militer di Gaza, sehingga dapat dianggap sebagai “protokol”, kata Nadav Weiman, Direktur Eksekutif Breaking the Silence, kelompok yang didirikan veteran tempur Israel untuk mendokumentasikan pelanggaran militer.
Kini Israel mengulang retorika tameng manusia di Lebanon dengan cara yang persis sama. Lewat video pendek yang diriliis akun X resmi Pasukan Pendudukan Israel, Hagari menjelaskan bagaimana mereka mengeksploitasi infrastruktur sipil sebagai tempat penyimpanan senjata. Lalu menggunakan warga Lebanon sebagai tameng manusia. Hal ini yang jadi alasan militer Israel melakukan serangan.
Shehada menambahkan, kesamaan propaganda Israel di Gaza dan Lebanon nyatanya bukan kebetulan. Keduanya memiliki akar tujuan sama, yaitu melakukan pembersihan etnis karena hanya lewat serangan bertubi-tubi warga sipil dipaksa mengungsi dari tanah mereka.
Ketika tanah mulai ditinggalkan oleh penduduk asli, Israel bisa leluasa memperluas wilayahnya. Dalam konteks genosida Gaza, pemukiman yang sudah dihancurkan dan rata dengan tanah mulai dijual oleh perusahaan real estat salah satunya sempat dilaporkan Intercept adalah Harey Zahav.
Bersama dengan tentara Israel, mereka merilis video yang mengumumkan pembangunan permukiman baru di Khan Yunis di Gaza. Mereka menamai permukiman itu Morag, diambil dari nama pemukiman ilegal Israel di daerah itu yang dibongkar pada 2005.
Sedangkan dalam konteks Lebanon, kelompok pemukim Israel dilaporkan oleh Middle East Eyemempromosikan properti baru untuk dijual di Lebanon Selatan persis setelah militer Israel melancarkan taktik sabuk api sejak pertengahan September.
Situs web Uri Tzafon, atau Gerakan untuk Pemukiman di Lebanon Selatan, menawarkan apartemen yang luas dan terang yang menghadap ke kolam renang, dengan harga mulai dari 300.000 shekel atau senilai US$80.000.
“Setelah kepemimpinan Hizbullah disingkirkan… apakah kamu juga memimpikan rumah besar, pemandangan pegunungan bersalju, dan komunitas yang hangat di tanah leluhur kita?” demikian bunyi iklan tersebut.