Queer Love: Mungkinkah Lesbian Dekat dengan Tuhan?
Mungkinkah seorang lesbian tetap mengupayakan dekat dengan Tuhan?
Dear Magdalene,
Bisakah seseorang menjalani hidup sebagai lesbian namun juga tetap mengupayakan dekat dengan Tuhan? Ataukah itu sesuatu yang oxymoronic? Terima kasih.
Hamba Allah
Kata Mita:
Dear Hamba Allah,
Kalau pertanyaanmu adalah “Bisakah seorang lesbian tetap rajin menjalankan perintah agama?”, maka jawabannya adalah, ya. Saya kenal beberapa yang seperti itu (tapi ingat, saya bukan lurah lesbian se-Indonesia, jadi pasti banyak lesbian yang tidak saya kenal).
Namun pertanyaanmu adalah tentang “dekat dengan Tuhan”. Sejujurnya saya tidak paham “dekat dengan Tuhan” itu apa. Siapa yang bisa bilang kalau seseorang itu dekat dengan Tuhan? Tuhan sendiri? Kalau benar begitu, Tuhan tidak pernah bilang ke siapa pun tentang siapa saja yang Dia anggap dekat dengan-Nya.
Berdasarkan penilaian orang lain? Tapi berdasarkan apa, kan mereka tidak bisa lihat Tuhan?
Bagaimana jika yang mengaku adalah orang itu sendiri? Menurut saya tidak apa-apa jika ada yang merasa dekat dengan Tuhan, termasuk juga seorang lesbian. Atau GBTQ. Atau pendeta. Atau penjahat. Mereka mungkin memang benar bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam kesehariannya: Tuhan yang melihat, mendengarkan, mengabulkan doa, memberi peringatan dan hukuman.
Mungkin yang kamu maksudkan adalah, bisakah seorang lesbian merasa diterima oleh Tuhan dan agamanya. DI satu sisi, saya tahu ada yang merasa Tuhan dan agamanya menolak keberadaan homoseksual. Bahkan ketika ada ajaran yang bilang “Love the sinner but hate the sin”, banyak yang menggugat seperti ini: Bagaimana mungkin seseorang yang lesbian memisahkan dirinya dengan bagaimana ia mencintai dan mengekspresikan cinta itu ke sesama perempuan? Bagaimana bisa Tuhan atau agama menyatakan menerima seseorang, tapi menolak bagian penting dari identitas orang tersebut? Namun sebetulnya ada beberapa bagian dari agama-agama di dunia yang menerima kaum LGBTQ. Kamu bisa lihat daftarnya di sini.
Baca juga: Queer Love: Bisakah Kita Membelokkan Orang Jadi LGBT?
Di sisi lain, saya juga tahu beberapa lesbian (dan GBTQ lain) yang selain taat menjalankan perintah agamanya, tetap merasa ia diterima Tuhan dan agamanya. Kalau ditanya pendapat mereka tentang ajaran-ajaran dari agama tersebut yang menggolongkan mereka sebagai pendosa, nista, atau bahkan pembawa azab, mereka pada dasarnya menggunakan metode “tebang pilih” alias cherry-picking untuk menentukan ajaran mana yang mereka pegang dan mana yang dihiraukan.
Misalnya ini (saya lupa sumber aslinya dari mana): Kita senang sekali hangout di suatu tempat karena kita merasa seperti di rumah sendiri. Pasti ada bagian dari tempat itu yang tidak kita suka. Makanannya, misalnya. Tapi secara keseluruhan kita nyaman dan betah di situ. Apa perlu kita jadi enggak ke situ lagi?
Kalau mau jujur, Hamba Allah, tidakkah pada akhirnya semua umat melakukan tebang pilih ke ajaran agamanya? Jadi sebetulnya, semua umat pada suatu titik bisa berdamai dengan oksimoron (seperti yang kamu sebut) dalam agamanya?
Ada lagi LGBTQ yang percaya Tuhan yang Maha Kasih dan Maha Menerima, namun mereka mengaku tidak menganut satu agama terlembagakan alias agnostik. Saya rasa ini sama saja dengan LGBTQ yang merasa dekat dengan Tuhan dan diterima agama mereka: They believe in the image of their own creation about God.
But honestly, who does not, Hamba?
Teruslah mencari, Hamba. Akan ada suatu tempat ketika kamu merasa nyaman dan diterima, sambil merasa bahwa kamu adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar darimu. Akan ada saran berbeda-beda dari orang yang berbeda-beda tentang di mana tempat itu. Tapi pada akhirnya, kamu yang tahu where you belong.
Love,
PM
Baca juga: Queer Love: Adakah Pasangan Lesbian yang Bertahan?
Downtown Boy says:
Dear Hamba,
I’m a practicing gay Muslim so you are addressing a subject that’s close to my heart. I have reflected my dilemma in my article where I come clean about my “oxymoron’ lifestyle. Why should I refrain from devouring pork when I devour men for pleasure? I often wonder about that too. But just like love, spirituality practice should be a universal right for all. Therefore, you have the right to exercise your spiritual beliefs and have a close relationship with God.
My practical advice to you is, firstly, do not dwell on the rigid dogmatic interpretation which disregard you as a respectable human being. For example, most scriptures – at least those belonging to monotheistic religion – take severe approach that frowns upon homosexuality. Now you may see this as a test to your faith or you can take it with tiny pinch of salt.
Secondly seek companionship from other like-minded gays, whatever your faith is. Speak and open up to those who practice the same degree of your beliefs. They understand your struggle and they breathe through your dilemma.
Thirdly, seek guidance – if needed – from inclusive clerics, priests, or so on. Not only do they lack hidden agenda to “convert” your sexuality, they also tend not to be judgmental –though in their private mind they may view you as practicing something against God’s way of nature.
Best,
DB