11 Maret nanti akan jadi momen 58 tahun Presiden RI pertama Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Merat (Supersemar). Surat itu sendiri berisi mandat kepada Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil tindakan apa pun yang dianggap perlu guna memulihkan ketertiban dan keamanan negara.
Supersemar jadi penanda peralihan kekuasaan eksekutif Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru pimpinan Soeharto sepanjang 32 tahun. Besarnya peranan Supersemar sayangnya diwarnai sederet kontroversi dan misteri.
Salah satunya, hingga sekarang naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan. Sampai 2013, setidaknya ada empat versi Supersemar yang disimpan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Namun, semua dinyatakan palsu oleh mantan Kepala ANRI M. Asichin, saat menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013.
Ada selentingan yang menyebut, Soeharto telah memanipulasi Supersemar demi mencuri kekuasaan. Benarkah?
Baca Juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998
Dimulai Pasca-G30S
Untuk memahami sejarah di balik surat sakti tersebut, penting mengetahui sejarah Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pada 30 September 1965, kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September, menculik dan membunuh enam jenderal senior dan satu perwira Angkatan Darat. Mereka juga mengambil alih Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat, stasiun radio milik pemerintah.
Mengutip Tirto.id, motivasi sebenarnya di balik G30S tetap jadi misteri. Menurut A. Kardiyat Wiharyanto dalam Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu (2009), ada empat versi dalang peristiwa G30S 1965. Namun, yang paling populer dan diajarkan hingga kini lewat buku pelajaran sejarah di sekolah adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka diyakini ingin menggulingkan pemerintahan dan mengganti dasar negara Pancasila menjadi Komunisme.
Lewat versi ini, Letnan Kolonel Untung yang waktu itu menjabat Komandan Cakrabirawa, ditahbiskan sebagai pelaku utama. Ia dituduh ingin menggulingkan Presiden Sukarno demi kepentingan PKI. Tiga hari berselang, Soekarno kemudian menunjuk sendiri Soeharto, Panglima Komandan Cadangan Strategi AD (Pangkostrad) untuk menjadi pemimpin badan yang memiliki tugas melaksanakan pemulihan keamanan.
Soeharto lantas menindaklanjuti perintah Presiden dengan membentuk Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada tanggal 10 Oktober 1965. Kopkamtib lalu menangkap anggota dan simpatisan PKI. Komando ini juga menyingkirkan beberapa anggota PKI yang menduduki birokrasi kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya. Mereka yang ditangkap kemudian dibunuh atau dihukum mati seperti Letkol Untung.
Baca Juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan
Janggal
Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bilang ke The Conversation, sejak 9 Maret 1966 Soekarno sudah didesak untuk melepaskan kekuasaannya. Di hari itu, Soekarno didatangi oleh Agoes Moesin Dasaad dan Hasjim Ning di Istana Bogor. Keduanya diutus oleh Mayor Jenderal Alamsjah Ratoe Prawiranegara, salah satu loyalis Soeharto.
Dasaad dan Hasjim membawa surat dari Soeharto yang isinya meminta Soekarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Dalam hal ini, Soekarno tetap menjadi presiden, tetapi pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Soeharto.
Permintaan dalam surat itu membuat Soekarno marah, sehingga Soeharto mengambil langkah keras dengan mengerahkan mahasiswa untuk berdemo di depan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966. Momen itu terjadi saat Soekarno sedang memimpin rapat kabinet Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Sejarah mencatat, massa saat itu bukan hanya mahasiswa, tapi juga pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pimpinan Kemal Idris.
Massa yang telah mengepung Istana Merdeka menuduh, orang-orang yang duduk dalam kabinet adalah mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September. Melihat situasi yang bisa kapan saja berubah menjadi pertaruhan nyawa, Soekarno terpaksa menghentikan rapat dan mengamankan diri ke Istana Bogor bersama Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I, dan Chairul Saleh, Wakil Perdana Menteri III.
Sesampainya di Istana Bogor, Soekarno didatangi oleh tiga jenderal yang diduga utusan Soeharto, yakni M. Jusuf, Amirmachmud dan Basuki Rahmat. Mereka menyampaikan pesan Soeharto yang menyatakan kesanggupan dirinya dalam mengatasi situasi genting ini.
Ketiganya kemudian mengusulkan pada Soekarno untuk memberikan perintah yang ditujukan khusus pada Soeharto untuk mengamankan Presiden dan mengatasi situasi keamanan negara. Terhimpit, Soekarno terpaksa menyepakati Supersemar.
Namun, mandat itu mestinya tak otomatis diterjemahkan sebagai pelimpahan dan peralihan kekuasaan eksekutif. Laba Sinuor Yosephus, Dosen Filsafat Liberal Arts dari Universitas Pelita Harapan menjelaskan, ketikan aslinya Supersemar tidak pernah ditemukan. Inilah mengapa Supersemar dipertanyakan legalitasnya sebagai dokumen negara. Sesuai pengakuan Ali Ebram, Staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa yang mengaku sebagai seorang yang mengetik surat sakti ini, ia masih ingat persis mandat di dalamnya.
Mandat itu antara lain adalah menjalankan ajaran Soekarno, koordinasi dengan panglima-panglima angkatan lain, dan laporan pertanggungjawaban Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) kepada Presiden.
Sebelum ditangkap pada 1967 dan dipenjara selama 12 tahun tanpa diadili, Ebram sendiri tidak mau mengonfirmasi apakah Supersemar tersebut berisi atau mengandung makna perintah pembubaran PKI dan pelimpahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Sikap Ebram tersebut memunculkan asumsi, ada manipulasi yang memang sengaja dilakukan demi memuluskan jalan Soeharto dalam melengserkan Soekarno.
Lebih dari itu, sejarawan Bonnie Triyana yang menjadi penyunting buku kumpulan pidato Presiden Soekarno yakin, Supersemar tidak pernah menjadi dasar pengangkatan Soeharto sebagai panglima tertinggi, apalagi Presiden RI.
Bonnie bilang pada Rappler, Soekarno menyatakan Supersemar bukanlah transfer sovereignty, bukan juga authority, sehingga tidak ada pengalihan kekuasaan. Sebaliknya, Soekarno hanya memandatkan Soeharto untuk menertibkan keadaan karena saat itu banyak demonstrasi dan menjamin pelaksanaan ajaran Soekarno. Namun, pasca-diterbitkan dan disebarluaskan, perlahan tapi pasti, Supersemar mulai menunjukan kekuatannya.
Pada 12 Maret 1966, hanya berselang 24 jam, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI, dengan mengatasnamakan Soekarno dan berpegang pada Supersemar. Isi keputusan itu adalah pembubaran PKI, termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah beserta organisasi yang terafiliasi dengan PKI, serta menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.
Tafsiran pembubaran PKI sejatinya tidak ada dalam Supersemar. Asvi menambahkan pembubaran tersebut hanya tafsiran sepihak dari pihak Soeharto sebagai tindakan yang dianggap perlu untuk “mengamankan situasi negara”. Saat Soekarno tahu PKI dibubarkan, ia marah dan memanggil Soeharto dan meminta surat itu dicabut. Ia kemudian memerintahkan beberapa orang kepercayaannya untuk membuat surat pada 13 Maret 1966 yang menyatakan, Supersemar tidak sah. Namun, sama seperti Supersemar, surat bantahan itu tidak pernah terendus keberadaan otentiknya.
Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Supersemar berhasil jadi surat sakti mandraguna. Keputusan Presiden No. 1/3/1966 yang lahir setelah Supersemar sendiri mencatatkan sejarah paling berdarah bangsa Indonesia yang hingga kini memicu trauma lintas generasi. Lewat buku The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres (2018), tercatat sebanyak 1.334 orang terkait atau diduga PKI ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965.
Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah
Diperkirakan lebih dari 500.000 hingga 1,2 juta orang dibunuh pada periode 1965-1966. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang diduga simpatisan PKI, perempuan Gerwani, anggota serikat buruh, etnis Jawa Abangan, etnis Tionghoa, Ateis yang disebut “kafir”, dan orang-orang yang diduga berhaluan kiri pada umumnya.
“Soeharto cerdik. Ia tahu kalau harus ada dukungan konstitusi. Ia tidak bisa begitu saja menjatuhkan Soekarno yang pendukungnya masih kuat. Sebenarnya kalau Soekarno mau bilang ‘lawan!’ bisa saja terjadi perang saudara, tapi dia tidak mau Indonesia seperti Korea di era ’50-an,” ujar Bonnie.
Di sisi lain, imbuh Bonnie, orang-orang dekat Soekarno, terutama PKI sudah dipreteli, sehingga tidak sulit untuk menaikkan status Supersemar menjadi Ketetapan MPRS. Ini yang menjadi landasan politik yang kuat bagi Soeharto. Tak selesai di situ, Supersemar berhasil membentuk opini publik dan menjadi legitimasi kekuasaan Soeharto hingga puluhan tahun.
Soeharto bukanlah produk demokrasi. Karena itu, dia butuh opini publik. Dia menguasai koran-koran. Media menampilkan kemunculannya dan Supersemar ditampilkan sedemikian rupa, sehingga terlihat sebagai pewarisan kekuasaan ala kerajaan Jawa. Kini setelah Orde Baru sudah tumbang dan banyak masyarakat melupakan eksistensi Supersemar, apakah dengan demikian membahas surat sakti ini masih penting?
Bonnie berpendapat sampai kebenaran belum terungkap, meluruskan sejarah merupakan modal kita untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Menurutnya, pengalaman masa lalu kita sebagai bangsa banyak ditentukan dari pengalaman dan bagaimana kita memaknai dan menilai sejarah, serta bagaimana sejarah itu diajarkan.
“Kalau orang tidak pernah tahu ada pemindahan kekuasaan abnormal, bicara dari segi demokrasi, kita tidak akan pernah belajar, dan bukan tidak mungkin ini terulang kembali,” tegasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari