December 5, 2025
Gender & Sexuality Issues

Ibu Jilbab Pink, Label Perempuan Pemarah, dan Jeruji Kesopanan

Sosok Ana, simbol perlawanan “brave pink” di demo #ResetIndonesia, justru dilabeli sebagai perempuan pemarah. Kasusnya menyingkap bias gender, kelas, dan obsesi kita pada sopan santun.

  • September 21, 2025
  • 6 min read
  • 2637 Views
Ibu Jilbab Pink, Label Perempuan Pemarah, dan Jeruji Kesopanan

Sosok Ana, ibu berjilbab pink disorot sepanjang aksi demonstrasi Agustus dan September belakangan. Berbagai video menunjukkan kemarahan sang ibu kepada aparat kepolisian, yang berlaku sewenang-wenang terhadap para demonstran. 

Lu belain siapa?!? Anak orang digasin (dilempar gas air mata) lu. Awas lu! Oh, ya, mudah-mudahan lu, perutnya pada busuk!” hardiknya. 

Dalam foto yang beredar, Ana langsung berhadap-hadapan dengan polisi yang berjaga di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta. Tangannya memegang tongkat dengan bendera merah putih, sementara barisan polisi berjaga lengkap dengan senjata dan tameng. 

Baca juga: Dari 1998 ke 2025: Warga Keturunan Tionghoa di Antara Harapan dan Trauma Kolektif 

Di video lain, Ana juga menunjukkan solidaritas terhadap sesama demonstran. Ia memberi uang sebesar Rp50 ribu kepada massa aksi untuk membeli minum. Ia juga membagikan air mineral kepada para demonstran di aksi lainnya malam hari. 

Sosok Ana dengan cepat menyebar di internet, menjadi kepala berita di berbagai media nasional hingga internasional. Banyak netizen yang memuji Ana atas keberaniannya. Sebagian juga merasa terwakili amarahnya. Bahkan, salah satu simbol perlawanan; warna merah muda atau brave pink pun terinspirasi dari jilbab Ana. 

Namun, berbagai komentar miring yang menyudutkan Ana turut mewarnai linimasa. Komentar bermula dari pernyataan beberapa pihak yang mengkritik gaya aspirasi Ana yang dinilai kasar. Setelah itu narasi terhadap Ana berkembang menjadi isu rasisme dan makar. Berujung pada framing gangguan jiwa yang hingga kini tidak terverifikasi kebenarannya. 

Dari beragam pro dan kontra terhadap Ana, pembahasan mengenai ‘sopan santun’ dalam menyampaikan aspirasi bukanlah hal baru. Dalam berbagai demonstrasi para pejabat kerap kali mengimbau masyarakat untuk berlaku ‘sopan’. 

Misalnya pernyataan Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan pada 31 Maret lalu selepas pertemuannya dengan Joko Widodo di Solo, Jawa Tengah. Melansir Metro TV ia meminta masyarakat agar tetap memelihara budaya sopan santun saat mengkritik pemerintah.  

Ada istilah yang menjelaskan ini, yaitu ‘tone policing’, ketika kritik ditanggapi dengan komentar terhadap nada dalam argumen alih-alih pada isinya. Melansir Blog of the American Philosophical Association (APA), tone policing adalah ketika seseorang (biasanya orang yang berprivilese) dalam percakapan tentang penindasan, mengalihkan pembicaraan dari penindasan yang sedang dibahas. Tone policing memprioritaskan kenyamanan orang yang berprivilese tersebut, ketimbang penindasan yang dialami orang yang kurang beruntung.  

Hal ini yang menimpa Ana. Fokus publik digeser untuk mengoreksi perilaku yang dianggap kasar, alih-alih pada substansi aspirasi Ana yang menggugat kekerasan oleh aparat. 

Kalis Mardiasih, aktivis sekaligus penulis mengatakan komentar yang menyudutkan Ana karena dinilai berperilaku kasar dilatarbelakangi oleh bias gender yang masih kental di masyarakat.  

Perempuan, ucapnya, masih dilekatkan dengan atribut tradisional yang melarang mereka menaikkan suara atau berkata kasar–sesuatu yang identik dengan nilai maskulinitas. Nilai tersebut membuat hadirnya sosok seperti Bu Ana menggugat kenyamanan sebagian pihak, yang masih lekat dengan nilai-nilai patriarkis.  

Dari beragam pro dan kontra terhadap Ana, pembahasan mengenai ‘sopan santun’ dalam menyampaikan aspirasi bukanlah hal baru. Dalam berbagai demonstrasi para pejabat kerap kali mengimbau masyarakat untuk berlaku ‘sopan’. 

Baca juga: ‘The Power of Ibu-ibu’: Dari Kutukan hingga Mengusir Aparat 

Perempuan dan Jeruji Kesopanan dalam Pergerakan 

Lewat latar belakang Kalis sebagai perempuan aktivis, ia sangat memahami mengapa ada sebagian masyarakat yang tidak nyaman dengan hadirnya sosok perempuan seperti Ana. Norma patriarkis yang selama ini sudah mengakar membuat perempuan yang berteriak lantang dan berucap kasar menjadi anomali. 

Kalis pernah merasakannya sendiri. Setiap kali ia ingin menyampaikan aspirasi di tengah forum yang didominasi laki-laki, Kalis merasa secara tidak langsung dituntut untuk menata volume suara, bahasa, dan kestabilan emosi.  

“Karena ketika kamu berperan sebagai perempuan tradisional, itu kamu baru bisa mengambil hati forum. Belum tentu didengar, ya, tapi setidaknya dikasih kesempatan buat ngasih ide,” tutur Kalis kepada Magdalene

Norma tradisional tersebut, sebut Kalis, menjadi alasan mengapa banyak perempuan kerap tidak bebas menyampaikan pendapat di muka umum. Kalis menjelaskan sepanjang sejarah, perempuan yang melawan selalu ditempelkan dengan stigma ‘pemarah’ hingga ‘gangguan jiwa’, sebagaimana yang dialami Ana.  

“Perempuan-perempuan yang marah, itu kan sejak dulu sudah distigma: Feminis itu adalah sekumpulan perempuan yang marah,” jelas Kalis. 

Argumentasi Kalis sejalan dengan tulisan Gadis Arivia bertajuk “Berterimakasihlah kepada Para Feminis!” dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati (2006). Gadis menulis para feminis cenderung dianggap kelompok pemarah yang mempertanyakan dan menggugat segala hal.  

“Namun, tidak ada yang pernah bertanya mengapa para feminis begitu marah dengan keadaan yang tidak adil? Tidakkah wajar bila seseorang merasa marah bila diperlakukan tidak adil?” tulis Gadis. 

Tulisan Gadis menggambarkan yang dialami Ana. Daripada membicarakan substansi kritiknya terhadap brutalitas aparat, publik justru gagal fokus pada nada ucapannya yang dianggap kasar. Kritik Ana disederhanakan sebatas persoalan etika, sementara alasan sebenarnya relatif tak dipertanyakan.  

Padahal menurut Kalis, kemarahan Ana valid. Sebab ia merupakan masyarakat kelas menengah yang juga menjadi korban dari kebijakan pemerintah. Serangan terhadap Ana lewat narasi miring yang beredar, menurut Kalis juga merupakan bentuk strategi DARVO (deny, attack, reverse victim, and offender) yang biasanya dilakukan penindas terhadap yang ditindas. 

Serangan DARVO tersebut dilakukan lewat framing yang berkembang dari waktu ke waktu, dimulai dari serangan terhadap sopan santun Bu Ana, tuduhan rasisme dan makar, hingga gangguan jiwa. Kalis menjelaskan serangan tersebut dilakukan agar narasi negatif berbalik kepada Bu Ana. 

“Tuduhan kepada korban itu paling puncak kan tuduhan gangguan jiwa, karena orang dengan gangguan jiwa dianggap omongannya enggak (valid) didengar,” terang Kalis. 

Kenyataannya dari pengamatan Kalis, ucapan yang diserukan Ana sangat substansial, yakni memprotes brutalitas aparat.  

“Perempuan-perempuan yang marah, itu kan sejak dulu sudah distigma: Feminis itu adalah sekumpulan perempuan yang marah,” jelas Kalis.

Baca juga: Mengenal ‘Maternal Activism’: Saat Negara Menekan, Ibu Melawan 

Kelas Sosial Tentukan Hak Bersuara 

Selain bias gender, Kalis menekankan adanya bias kelas yang memperparah serangan terhadap Ana. Ia menilai framing bahwa Ana tidak sopan, tak rasional, hingga punya gangguan jiwa juga dipengaruhi oleh pandangan elitis yang menganggap warga kelas menengah ke bawah tak punya kapasitas untuk berpendapat 

“Menganggap bahwa warga biasa seperti Bu Ana itu enggak punya pengetahuan. Jadi ini juga kita harus mendekolonialisasi kita, terhadap pengetahuan itu seolah-olah hanya ada di sekolah, ada di kampus, ada di lembaga-lembaga yang terhormat,” jelas Kalis. 

Padahal, kata Kalis, pengalaman hidup sehari-hari warga akar rumput justru sarat dengan pengetahuan. Petani, nelayan, buruh, tukang ojek, hingga seorang ibu seperti Bu Ana mereproduksi pengetahuan dari pengalaman langsung mereka menghadapi ketidakadilan negara. 

“Mereka tuh yang paling merasakan dampak dari ketidakadilan, dampak dari kebijakan negara yang menindas orang-orang seperti mereka,” ucap Kalis. 

Karena itu, kemarahan Ana bukan sekadar luapan emosi, melainkan narasi penting tentang kekerasan negara yang ia saksikan langsung di jalan. Namun narasi tersebut justru dianggap tidak valid hanya karena datang dari seorang ibu yang berkata kasar. 

“Kenapa sih kita menganggap orang yang boleh punya gagasan, yang bisa menarasikan peristiwa kekerasan negara atau kekerasan aparat dalam gerakan warga, itu memangnya cuma mahasiswa? Enggak. Ada seorang Bu Ana juga, warga biasa, yang dia setiap hari melihat itu secara langsung.” 

Karena itu, imbuh Kalis, penting untuk masyarakat mendekonstruksi nilai-nilai bias gender dan kelas sosial supaya gerakan sosial bisa lebih inklusif.  

“Padahal kan gerakan warga tuh yang ngerasain harga naik, ketika tidak ada lapangan pekerjaan, ketika gas LPG ngilang dari pasar, itu tuh warga grassroot yang ekspresinya sangat bermacam-macam,” pungkasnya. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.