Studi: Transgender Korban Terbanyak Persekusi Terhadap LGBT 2017
Hampir 74 persen korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual dan ekspresi gender sepanjang 2017 adalah kelompok transgender.
Hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menunjukkan bahwa transgender, terutama transpuan, merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban dari stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual dan ekspresi gender sepanjang 2017. Penelitian terhadap pemberitaan di media daring tersebut menemukan 973 korban, dengan 715 orang (73.86 persen) di antaranya adalah kelompok transgender.
“Masyarakat bisa mengidentifikasi transpuan secara cepat, sehingga visibilitas mereka menjadi alasan utama untuk mendiskriminasi dan memberikan stigma. Oleh karena itu, kelompok transgender menjadi kelompok yang paling banyak mendapatkan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak,” ujar Naila Rizki Zakiah, penulis penelitian tersebut, yang diluncurkan di Jakarta, Jumat (18/5).
Selama 2017, para transgender ini menghadapi pembubaran acara (menyangkut 705 orang), penggerebekan (empat orang), persekusi (tiga orang), sampai pembunuhan (tiga orang).
Pembubaran acara mengacu pada pemberitaan pembubaran Festival Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria-Bissu se-Sulawesi Selatan yang dilaksanakan di Soppeng, Sulawesi Selatan Januari 2017 lalu. Festival Porseni dengan 600 peserta tersebut bukan untuk pertama kalinya diselenggarakan, tetapi kemudian dibubarkan oleh polisi karena dianggap belum memiliki izin.
“Mereka sudah bersiap-siap mengikuti rangkaian Porseni yang sudah dilaksanakan sejak tahun-tahun sebelumnya. Dan itu menjadi sebuah kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan karena mereka menghargai keragaman gender. Tapi kemudian oleh ormas (organisasi masyarakat) dilaporkan ke polisi dan dituduh tidak memiliki izin. Itu alasan yang paling sering digunakan oleh pihak kepolisian,” jelasnya.
Setelah transgender, jumlah korban terbanyak adalah kelompok gay, mencapai 225 orang atau 23.1 persen. Kelompok gay rentan menjadi korban diskriminasi karena masyarakat kerap mengidentifikasikan mereka dengan tempat atau pola gaya hidup tertentu, kata Naila.
“Dari pemantauan media ditemukan pola bahwa teman-teman gay diasosiasikan dengan kegiatan tertentu, misalnya gym. Maka dari itu tempat yang dijadikan sasaran penangkapan atau penggerebekan ialah gym atau sauna,” lanjutnya.
Kelompok lesbian yang menjadi korban mencapai 29 orang atau 3 persen. Mereka merupakan korban pengusiran dari rumah indekos maupun keluarga terdekatnya. Sisanya, empat orang atau 0.04 persen merupakan korban lain, misalnya kakak beradik yang dituduh pasangan gay di Yogyakarta, dan video serangan terhadap mereka kemudian menjadi viral.
“Itu menunjukkan bahwa kebencian terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) tidak hanya berdampak pada teman-teman LGBT, tapi juga terhadap orang lain,” ujarnya.
Serangan masif
Serangan perilaku diskriminatif yang melanggar hak asasi tersebut bersifat masif karena terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. LBHM memetakan lima wilayah yang paling rentan pelanggaran HAM, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Dari hasil pemetaan tersebut ditemukan bahwa konservatisme dan intoleransi berbasis agama sejalan dengan intoleransi terhadap kelompok LGBT.
“Trennya terjadi di kota besar yang akses internetnya cepat. Jadi penyebaran informasi maupun narasi kebencian menjadi cepat,” tambah Naila.
Selain itu, perilaku tersebut juga bersifat sistematis karena perangkat hukum, pemerintah hingga aparat negara juga berperilaku diskriminatif dan homofobik.
“Mulai dari negara, aparat, masyarakat, hukum, dan budaya semua diskriminatif dan represif terhadap kelompok LGBT,” ujar Naila.
Pelaku terbesar tindakan diskriminasi maupun stigma adalah aparat negara yang mencapai 55 persen, sementara 45 persen sisanya ialah masyarakat.
Naila mengatakan tingginya angka pelaku aparat negara disebabkan oleh kecenderungan negara membela atau mendukung kelompok konservatif. Selain itu, praktik kriminalisasi yang dilakukan aparat negara berawal dari laporan-laporan masyarakat. Sehingga ketika aparat negara melakukan tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT mereka seakan-akan menyelamatkan kelompok mayoritas.
“Misalnya di Aceh, polisi tidak punya wewenang untuk menangkap seseorang kalau tidak ada dugaan tindak pidana. Tapi mereka mendapat dukungan dari warga Aceh. Polisi kemudian merasa seperti pahlawan bagi masyarakat mayoritas karena sudah membasmi apa yang mereka anggap sebagai musuh,” kata Naila.
Aparat kepolisian juga tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga penegak moral, ujarnya.
“Sekarang semua orang punya mentalitas seperti itu dan ini juga mungkin efek dari sosial media. Sosial media cukup ampuh menjadi kampanye untuk menyebarkan narasi negatif.”
LGBT bertentangan dengan Pancasila
Perilaku diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia tersebut merupakan dampak dari stigma yang menumbuhkan perasaan untuk menghakimi orang lain, kata Naila.
Bentuk stigma yang kerap muncul di kalangan masyarakat maupun aparat negara adalah bahwa LGBT melanggar nilai moral, agama serta bertentangan dengan ideologi Pancasila. Naila menambahkan bahwa anggapan pelanggaran nilai moral dan ideologi Pancasila diikat oleh satu benang merah, yaitu agama.
“Landasan mengusulkan stigma ialah menyimpang dari agama adalah nilai moral dan nilai agama itu sendiri. Bertentangan dengan ideologi juga tidak jauh berbeda dengan anggapan bahwa LGBT menyimpang dari agama,” ujarnya.
Pertentangan dengan ideologi Pancasila kerap dihubungkan dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, yang diartikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai agama. Naila menjelaskan terdapat kekeliruan berpikir bahwa apa pun yang bertentangan dengan agama otomatis melawan Pancasila.
Menurutnya, Pancasila kerap dimaknai secara sempit dan Pancasila yang banyak digunakan ialah sila pertama dibandingkan sila kedua.
“Kalau kita mau adil dan melihat secara akademis maupun historis tentang Pancasila dan ideologi, kita tahu ada sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang mengakui martabat dan kemanusiaan warga negara. Dianggap sebagai sebuah prinsip yang penting karena agama dan ketuhanan yang maha esa lebih penting dari semua nilai hidup manusia,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa sila pertama juga sering kali digunakan untuk fenomena sosial lain, seperti komunisme yang dianggap ateis serta aliran kepercayaan lain. Semua hal tersebut dipertentangkan dengan ketuhanan yang maha esa.
Masyarakat kerap menyempitkan dan mengerdilkan Pancasila menjadi nilai-nilai yang hanya mereka (masyarakat) percaya saja, ujarnya.
Stigma lain yang kerap dilekatkan kepada kelompok LGBT ialah LGBT sebagai penyakit, dikaitkan sebagai sumber HIV, bisa menular, dan merupakan penyakit jiwa. Anggapan tersebut berangkat dari dugaan bahwa orientasi seksual di luar heteroseksual adalah penyakit seksual yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
“Kekeliruan ini ada pada 2016 dan pada 2017 masih mengakar kuat di masyarakat. Anggapan seperti itu juga disebarkan oleh orang-orang yang punya pengaruh, seperti dokter maupun psikiater. Dari tahun ke tahun mengatakan bahwa LGBT merupakan gangguan jiwa yang bisa disembuhkan,” lanjutnya.
Anggapan ini memunculkan konseling konversi serta pemaksaan perkawinan yang dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual.
“Jadi dipaasa untuk menikah agar sembuh, tapi pada umumnya bercerai, menyakiti orang lain, dan juga menyakiti kawan-kawan LGBT sendiri,” jelas Naila.
Instrumen hukum untuk mengkriminalisasi
Stigma terhadap kelompok LGBT melahirkan kebencian yang kemudian termanifestasi dalam bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, lanjut Naila. Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi ialah persekusi, upaya paksa pemidanaan, pembubaran acara, serta pelarangan mendapatkan pendidikan.
“Dalam kategori persekusi kami menganalisis dari hasil pemantauan ada indikasi kuat bahwa stigma, diskriminasi, maupun pelanggaran hak asasi manusia terhadap LGBT mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan, karena pelaku menyasar kelompok tertentu atas perbedaan orientasi seksual maupun ekspresi gender. Jadi spesifik sekali diserang karena perbedaan ekspresi gender,” ujarnya.
Selanjutnya upaya paksa pemidanaan, ungkap Naila, menggunakan instrumen hukum seperti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mencontohkan dengan kasus penangkapan di Atlantis Gym & Sauna Mei 2017 lalu.
Penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian tidak bersifat manusiawi karena korban digiring ke kantor polisi dengan bertelanjang dada kemudian difoto dan disebarluaskan, tambahnya.
“Mereka kemudian dijejerkan di lorong yang begitu panas, tidak boleh mengenakan pakaian, dan tidak boleh menghubungi keluarga maupun mengakses bantuan hukum,”
“Kita kesulitan bertemu dengan teman-teman yang menjadi korban karena dihalangi oleh polisi. Polisi mengatakan tidak bisa mengakses atau menghubungi karena tidak ada surat kuasa. Ya logikanya bagaimana? Kita bisa mendapat surat kuasa kalau tidak bertemu dengan korban,” jelasnya.
Pelarangan untuk mendapatkan pendidikan pada pemberitaan Universitas Andalas yang meminta calon mahasiswa baru untuk menyerahkan surat pernyatan bebas LGBT.
“Semua orang bisa memproklamirkan diri (bukan LGBT), tapi imbasnya adalah jika punya orientasi seksual LGBT, akan ada ketakutan untuk mendaftarkan diri karena harus mengungkapkan diri dan itu melanggar hak asasi manusia. Terutama pendidikan yang prinsip utamanya ialah non-diskriminasi,” ujarnya.
Naila mengatakan bawa diperlukan waktu dan usaha yang banyak secara menyeluruh untuk mengubah situasi diskriminatif di Indonesia. Beberapa upaya yang bisa dilakukan ialah meninjau ulang atau mencabut kebijakan yang bersifat diskriminatif dan menghormati HAM serta membangun narasi yang baik terhadap kelompok LGBT dengan bantuan publik
“Terutama yang punya peran penting (di masyarakat) seperti akademisi karena mereka akan menyalurkan pengetahuan mereka terhadap orang banyak dan punya pengaruh besar. Tokoh agama, public figure sekarang sudah ada media sosial yang punya peran cukup besar unruk memengaruhi narasi tentang LGBT.”
“Kalau kita melihat ada keberulangan narasi kebencian berarti kita perlu evaluasi diri apa yang salah dari pesan kita. Apa yang mungkin kita lakukan untuk menggaungkan narasi itu untuk mengklarifikasi miskonsepsi terhadap LGBT. Itu yang perlu kita pikirkan bersama,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa lembaga hak asasi manusia nasional perlu lebih banyak melakukan intervensi pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT. Selain itu, meminta pemerintah untuk menindak secara serius pelaku pelanggaran HAM maupun diskriminasi dan mengevaluasi kebijakan dan hukum yang diskriminatif.
“Untuk mencapai ke sana memang perlu usaha yang luar biasa dan ditempuh tidak hanya dengan teman-teman LGBT, allies (sekutu), tapi juga seluruh lapisan masyarakat terutama yang percaya akan HAM,” lanjutnya.
Baca juga soal santri dan tokoh agama yang menolak pernikahan anak.