Issues

Tak Ada yang Lebih Sia-sia daripada Pembatasan Lagu KPI

KPI khawatir anak-anak Indonesia terpengaruh pada pesan lagu yang menonjolkan kekerasan hingga hubungan seks.

Avatar
  • June 29, 2021
  • 6 min read
  • 1627 Views
Tak Ada yang Lebih Sia-sia daripada Pembatasan Lagu KPI

Pada 27 Februari 2019, pelantun “The Lazy Song”, Bruno Mars, meradang di Twitter, lantaran sebagian lagunya dilarang mengudara di radio se-Jawa Barat. Usut punya usut, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) setempat tertanggal 18 Februari 2019. Tak hanya Bruno Mars, tembang Ed Sheeran, Zayn Malik, hingga Ariana Grande juga dicekal di provinsi tersebut. 

Tadinya saya populer di Indonesia! Lalu muncul @edsheeran dengan liriknya yang sakit, cabul, dan membuat kita semua kena cubit! Terima kasih Ed. Terima kasih banyak,” kelakarnya di Twitter. Ia menyenggol Ed Sheeran karena merasa senasib: Sama-sama dicekal karena lagunya dianggap cabul, mengesankan kecanduan seks, sehingga tak layak didengar oleh anak-anak di bawah jam 22.00 WIB.

 

 

Alasan KPID Jawa Barat ini dianggap mengada-ngada oleh mayoritas warga +62. Bahkan, sejumlah media luar ramai-ramai memberitakan larangan pemutaran lagu penyanyi Barat, termasuk Time, The Guardian, hingga The Straits Times. 

Dua tahun berselang, KPID menambah panjang daftar lagu berbahasa Inggris yang dilarang diputar di radio lokal sepanjang hari. Jika di 2019 ada 19 lagu, kini bertambah menjadi 42 buah, termasuk lagu “Levitating” dari Dua Lipa, “Up”-nya Cardi B, “24K” oleh Bruno Mars, hingga “Senorita” milik Camilla Cabello ft Shawn Mendes.

Wakil Ketua KPID Jabar Basith Patria, menerangkan pada Kompas.com, surat edaran baru itu terpaksa dikeluarkan karena banyaknya pengaduan dari masyarakat tentang lagu yang kurang pas diputar pada siang hari. Lantaran pihak Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) mengaku butuh pedoman siar, maka KPI berinisiatif membikin surat tersebut.

KPI mengaku berpatokan pada Pasal 15 Peraturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) yang menyebutkan, KPI wajib melindungi hak anak dan remaja dengan memastikan materi siar yang pas. Sensor mandiri pun disarankan bagi radio ingin tetap nekat memutar 42 lagu ini.

Baca juga: ‘Fairy-tale Wedding’ Aurel-Atta dan Frekuensi Publik yang Dicuri

Bukan Kali Pertama

Sebenarnya, KPI memang relatif ajek melakukan aturan sensor “ajaib” di Indonesia. Sejak dibentuk pada 2002, regulator siaran tersebut merasa punya tanggung jawab untuk menyeleksi mana siaran TV atau radio yang secara eksplisit mempertontonkan adegan kekerasan, pornografi, hingga batasan sumir macam ungkapan yang merendahkan martabat manusia.

Masalahnya, aksi sensor ini kemudian ditafsirkan dengan luas oleh media. Maka tak heran jika tokoh Sandy yang memakai bikini di kartun Spongebob Squarepants, baju renang Shizuka di kartun Doraemon, aktivitas memerah susu sapi di program anak SCTV, dada aktor lelaki di film Warkop DKI Reborn, hingga payudara sebuah patung dalam Titik Peradaban Trans TV harus diburamkan.

Tampaknya KPI lebih takut para penonton acara tersebut berpikiran kotor dan berbuat kasar, setelah menonton acara ini. Sebaliknya, perkara menonton tayangan “Pesbukers” ANTV di mana komedi slapstick dan makian “tai” bertebaran, sinetron toksik yang menormalisasi dan meromantisasi pernikahan anak dan tayang di saat prime time, atau belasan jam acara perkawinan selebriti bisa luput dari sensor. 

Kendati sifatnya hanya berupa teguran, apa yang dilakukan oleh KPI justru menunjukkan, lembaga ini menganggap masyarakat belum berdaya menyortir mana materi siar yang “aman” untuk dikonsumsi. KPI juga menyederhanakan bahwa perilaku amoral, kecanduan seks, atau terlibat narkoba bisa ujug-ujug menjamur hanya jika anak-anak mendengar lagu-lagu Barat atau menonton payudara si tupai Sandy di “Spongebob Squarepants”. 

Celaka dua belas, pola pikir KPI ternyata juga berlaku di banyak negara, dari kawasan Asia Tenggara hingga Eropa. Di Malaysia, lagu “Despacito” dilarang karena dianggap sebagai ajakan untuk berhubungan seks. Di Singapura, lagu “I Kissed a Girl” milik Katty Perry juga dicekal lantaran mempromosikan pergaulan anak muda yang kelewat bebas.

Di Rusia, salah satu sensor paling ekstrem dialami grup punk Pussy Riot pada 2012. Para anggotanya bahkan ditangkap karena kerap menyoroti topik-topik “tabu”, seperti feminisme, hak-hak LGBT, dan yang paling kontroversial termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Di AS, mantan vokalis Pink Floyd Roger Waters, pernah nyaris dilarang tampil di Long Island karena ia mengkritik kesewenang-wenangan Israel. Elvis Presley dan The Beatles pernah dilarang tampil di banyak negara hanya karena dianggap secara moral mengancam kesejahteraan penduduk, kendati kini mereka dirayakan bersama-sama.

Baca juga: Sinetron ‘Buku Harian Seorang Istri’ Lestarikan Patriarki, Wajarkan Kekerasan

Larangan KPI Langkah Percuma

Apa yang dilakukan KPI berikut para pejabat di negara-negara lain terhadap produk siar ini sebenarnya tak perlu dilakukan. Apalagi mengingat argumen yang mereka pakai selalu mengulang-ngulang kaset rusak: Bahwa produk siar itu mempopulerkan kekerasan, ajakan berhubungan seksual, hingga paling dramatis, merusak moral bangsa. 

Dalam beberapa kasus, mendengarkan musik rap dan hip-hop misalnya, langsung terasosiasi bahwa pendengarnya adalah pemakai narkoba. Pun, mereka yang mendengarkan musik heavy metal atau punk kerap bertindak kejam. Sementara, pendengar musik emo adalah kelompok orang putus asa. Padahal sebenarnya, lirik atau instrumen musik tak bisa dikaitkan langsung dengan stereotip tersebut. Sebaliknya, musik kadang justru menjadi salah satu alat untuk mengatur emosi dalam terapi-terapi psikologis.

Ada beberapa studi yang menjelaskan bahwa musik tak berhubungan dengan stereotip ini. Ehud Bodner dan Moshe Bensimon dalam riset bertajuk “Problem music and its different shades over its fans” (2014) yang diterbitkan Sage Journal menyebutkan, tak ada perbedaan kepribadian yang signifikan antara pendengar musik rap dan hip-hop, heavy metal, rock alternatif, punk, dan rave. Sebaliknya, para responden justru mampu mengekstrak emosi negatif yang mengarah pada perilaku anti-sosial hanya lewat mendengarkan lagu.

Baca juga: Kanal YouTube Remotivi Tajam Mengkritik Acara Televisi

Riset yang dilakukan Genevieve Dingle dan Leah Sharman dari Psikologi Universitas Queensland dan dikutip di The Conversation juga mengafirmasi hal itu. Dalam penelitian mereka, para penggemar musik ekstrem termasuk rock justru berkurang tingkat agresifitasnya setelah mendengar musik yang mereka suka. Secara subjektif, mereka melaporkan tingkat ketenangan dan relaksasi yang sama dengan mereka yang tidak mendengarkan. Namun, mereka yang mendengarkan musik melaporkan perubahan positif yang lebih besar pada emosi mereka. Ini menjadi tanda bahwa yang dilabeli musik bermasalah justru jadi saluran efektif untuk melepaskan emosi negatif secara pasif.

Dari riset-riset itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalih negara melakukan sensor basi dan percuma. Alih-alih repot melakukan sensor yang tak perlu, sebaiknya negara hadir untuk mengedukasi penonton/pendengar serta pegiat media TV atau radio. Sebagai penikmat konten siaran, kita juga bisa punya kendali memilah tayangan yang berkualitas.

Orang tua pun bisa dilibatkan dengan memilih konten siaran sesuai rating umur yang sesuai dengan anaknya. Sementara, produsen konten diedukasi untuk membuat konten bermutu sesuai pedoman penyiaran. Lagipula membatasi konten siaran di era disrupsi digital di mana internet menjamur dan anak-anak memegang gawai sendiri adalah tindakan yang sia-sia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *