Aku ‘Flexing’ maka Aku Ada: Dari Joki Strava hingga Lanyard BUMN
Jangan kaget, joki Strava bukan satu-satunya jasa ‘absurd’ yang ada di Indonesia. Jasa-jasa ini dibuat untuk mendukung hobi pamer kita.
Kita sudah lama mengenal jasa joki. Dari tugas kuliah, skripsi, sampai ujian pun ada jokinya. Namun, pernah enggak kalian dengar joki lari? Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan joki lari untuk dipamerkan di Strava. Aplikasi yang eksis sejak 2009 ini belakangan populer untuk melacak aktivitas fisik atau olahraga.
Strava memungkinkan penggunanya merekam rute berlari, bersepeda, atau jalur pendakian melalui Google Maps. Aplikasi ini juga bisa melacak beberapa hal seperti kecepatan, rute, pace, jarak tempuh, durasi, elevation gain, denyut jantung, hingga kalori yang terbakar. Biasanya para pengguna Strava akan mengunggah tangkapan layar pencapaian olahraga mereka di media sosial masing-masing.
Memang, sejak pandemi Covid-19, olahraga lari khususnya, banjir peminat. Buktinya, tiap pagi dan malam, wilayah Gelora Bung Karno (GBK) dipadati warga yang ingin mulai hidup sehat. Kegemaran tersebut perlahan berubah jadi tren, dan di sinilah orang-orang fear of missing out (FOMO) mulai muncul.
Ogah ketinggalan tren, tapi enggak mau terlalu capai olahraga, orang-orang FOMO memilih menggunakan jasa joki Strava untuk pamer di medsos. Namun, benarkah tujuannya cuma buat flexing semata?
Dalam wawancara Kompas.com dengan “El”, penyedia jasa joki Strava @jasajokilari terungkap, permintaan terhadap jasa joki lari memang sedang marak. Ia bilang, jasa ini bisa membantu orang yang memang ingin mencapai target pace, jarak, atau durasi untuk tujuan khusus. Namun kemampuannya belum memadai, karena enggak semua orang punya ketahanan fisik yang tangguh, walau lari dengan jarak tempuh pendek sekali pun.
Misalnya, untuk pace (waktu yang dibutuhkan untuk menempuh satu kilometer atau satu mil. Red) 7 ke atas, El mematok harga Rp2.000 per kilometer. Sementara, pace 6-7 sebesar Rp2.500 per kilometer, sedangkan pace 5-6 – Rp3.000 per kilometer. Buat El yang kebetulan hobi lari dan pernah menjuarai kompetisi lari, tentu saja jasa ini bak menyelam minum air. Kapan lagi menjalani hobi yang bikin tubuh bugar dan kamu dapat uang?
Baca Juga: Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri
Pamer is Indonesians Way of Life
Joki Strava yang lagi viral ini bikin banyak warganet geleng-geleng kepala. Mau hidup sehat saja harus berbohong dulu dan dinormalisasi. Namun sebenarnya, sebelum ada joki Strava, Indonesia sudah punya sederet jasa nyeleneh yang memang diperuntukan untuk pamer belaka.
Pertama, jasa sewa iPhone. Ponsel tipe ini buat sebagian masyarakat Indonesia termasuk barang mewah. Harganya mencapai belasan bahkan puluhan juta rupiah, berkali-kali lipat lebih mahal dari berbagai jenama ponsel lain. Ini yang jadi alasan iPhone jadi penanda status sosial penggunanya.
Dikutip dari CNN Indonesia, di momen Idulfitri lalu, jasa sewa iPhone membludak. Jasa ini digunakan untuk pamer kepada sanak-saudara kalau si penyewa iPhone sudah sukses. Beberapa juga banyak yang menyewa iphone hanya untuk foto di depan kaca dan mengunggahnya di media sosial agar terlihat punya gawai mahal kekinian.
Fania, pengusaha sewa iPhone bilang kepada detikJakbar, tarif sewa per harinya dari mulai Rp100 ribu hingga Rp450 ribu untuk jenis iPhone 14 Pro Max. Setiap bulannya, dia mendapatkan keuntungan cukup fantastis dari iPhone yang disewakan, yaitu sampai Rp15 juta. Kata Fania, selain untuk gengsi, ada yang juga yang menyewa iPhone untuk keperluan dokumentasi karena kamera dan rekaman suaranya yang jernih.
Kalau menyewa iPhone masih cukup mahal, buat mereka yang ingin pamer tapi on budget, ada lagi jasa nyeleneh screenshot layar iPhone. CNN Indonesia melaporkan, tarifnya dibanderol mulai dari Rp500 sampai Rp1.000. Khusus untuk screen record atau mengambil tayangan video dari layar harganya Rp1.500.
Salah satu konsumen yang diwawancarai CNN Indonesia, Wulan, 23 mengaku pakai jasa ini agar terlihat keren. Ia membeli lima tangkapan layar iPhone dengan harga total Rp5.000. “HP-ku android, kalau tangkapan layar iPhone sama android kelihatan bedanya. Terus tangkapan layar itu aku upload di Facebook, biar kelihatan aku pakai iPhone,” kata Wulan.
Ketiga, jasa sewa atau cetak lanyard. Jasa ini populer di musim buka bersama Ramadan tahun lalu. Lanyard alias tali pengikat kartu identitas, berubah jadi penanda status seseorang. Dengan lanyard bertali BUMN seperti Pertamina, PLN, bank BRI, dan bank BCA, juga merek-merek populer ala SCBD seperti lanyard Coach misalnya, orang-orang menduga kamu punya kerjaan mentereng. Sehingga, kamu langsung dicap sebagai individu mapan, punya status sosial yang terhormat, serta punya masa depan terang benderang.
Baca Juga: Ramai-ramai ‘Bully’ Orang Jelek: Pengalamanku 4 Hari JadiNgab-Ngabdi Akun Receh
Keempat, jasa sewa mobil. Sejumlah orang menggunakan jasa ini untuk kebutuhan perjalanan, tapi tidak sedikit pula yang menyewanya demi terlihat mapan dan keren di depan sanak keluarga saat mudik.
Tahun lalu saja warganet sempat dihebohkan dengan cerita pemudik tujuan Sumenep, Jawa Timur yang rela menyewa mobil Mitsubishi Xpander Rp600 ribu per hari untuk pulang kampung. Dilansir dari TribunJabar, alasan menyewanya demi kenyamanan istri dan anak, sekaligus biar dianggap sukses oleh keluarga dan tetangga.
Masih kurang absurd? Yang terbaru, ada joki pendaki yang menawarkan orang-orang untuk mengambil foto/ video/ atau ucapan tertentu di puncak gunung. Dikutip dari Liputan6, pendaki dengan akun Instagram @riskaoutdoor mengunggah pesan di akunnya: “Terima kasih yang sudah jastip, kalian sangat membantu biayaku naik Rinjani dan hari-hariku. Oh ya aku mau infoin nih, kalau mulai sekarang aku buka jastip Kerinci ya. Jadi yang minat langsung aja hubungi nomor yang dibawah ini,” tulisnya pada (5/7).
Harga jastipnya itu dibanderol dari Rp50.000 hingga Rp200.000. Meski dipatok dengan harga yang lumayan, dalam postingannya, Riska menyebut sudah ada 110 orang peminat yang memakai jasanya. Uang hasil jastip itu sendiri digunakannya untuk membiayai hobi naik gunung Riska.
Baca juga: Aku Pamer, Maka Aku Ada: Koar-koar Dahulu, Prestasi Kapan-kapan
Alasan Orang Indonesia Suka Flexing?
Dari beberapa jasa nyeleneh di atas, kita bisa melihat bagaimana banyak orang Indonesia punya hobi sama: Suka pamer walau itu bukan pencapaiannya sendiri. Berbagai akademisi berusaha menjelaskan fenomena tersebut. Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menyampaikan kepada Tribun, fenomena ini bisa disebut dengan atribut simbol status.
Dalam kasus jasa cetak atau sewa lanyard misalnya, kata Drajat, itu bertujuan untuk mendapatkan modal simbolik atau pengakuan orang lain. Namun, simbol status tersebut tidak hanya diharapkan sebagai simbol pengakuan saja, tetapi juga membawa manfaat lain, seperti mendongkrak kepercayaan diri. Dengan munculnya kepercayaan, seseorang bisa menggunakannya untuk hal-hal lain, seperti kerja sama dan menarik orang lain.
Sementara itu, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi dalam wawancaranya bersama detik.com bilang, selain ingin dapat pengakuan sosial, fenomena pamer sesuatu yang bukan milik atau hasil pencapaiannya juga terjadi karena dorongan konformitas.
“Faktor kedua bisa juga konformitas, di mana dalam psikologi sosial sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang maka bisa saja itu dianggap sebagai sesuatu yang normal dan wajar. Sehingga, menjadi tren, ingin mencoba, penasaran, ingin tahu juga dan merasakan punya benda-benda yang dipakai oleh mereka ‘kelas atas’,” katanya.
Perilaku seperti ini menurut Anastasia biasanya diawali dengan rasa penasaran dan ingin tahu tentang sensasi yang dirasakan orang lain yang mereka anggap lebih keren. Sedangkan, Eden-Rose Baker, jurnalis senior dari Mustang News berpendapat, hobi pamer kekayaan sebenarnya hadir karena kebutuhan manusia terhadap validasi eksternal dari sesama manusia dan semakin diperparah oleh kapitalisme.
Validasi eksternal adalah perasaan yang alamiah. Masyarakat tidak akan ada tanpa adanya manusia yang saling memvalidasi satu sama lain. Sebelum Revolusi Industri, orang-orang bekerja sama untuk menjaga kelangsungan hidup suku mereka. Ketika seorang anggota suku menyediakan makanan atau menemukan peralatan, rekan-rekan mereka memvalidasi mereka dan menganggapnya penting untuk kelangsungan hidup mereka. Validasi ini adalah alat yang sangat penting dalam evolusi dan kelangsungan hidup spesies.
Namun dengan kapitalisme, status dan validasi tidak ditentukan oleh seberapa baik seseorang dapat bertahan hidup, melainkan ditentukan oleh seberapa banyak uang yang dihasilkan. Di situlah kamu baru akan dinilai “berharga”.