Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi
Obsesi masyarakat Muslim terhadap hijab dan eksistensi perempuan di ruang publik tidak berasal dari komitmen terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Masyarakat Muslim Indonesia sepertinya tidak pernah bisa berhenti untuk bicara soal hijab dan cara mengatur tubuh perempuan pada umumnya. Ejekan terhadap mereka yang tak berhijab, maupun pada mereka yang hijabnya dianggap tidak patut, kencang dilancarkan meskipun banyak akademisi Muslim telah menyatakan adanya relativitas pendapat atas kewajiban berhijab dalam Islam.
Lagi-lagi fokus terhadap dimensi ritual agama ini dibungkus rapi dalam perspektif seksis yang hanya menekankan liyannya tubuh perempuan dan normalnya tubuh laki-laki dalam kehidupan sosial-politik keagamaan masyarakat. Dalam konteks ini, tubuh laki-laki menjadi hal normatif yang tak perlu dipertanyakan lagi eksistensinya, sementara tubuh perempuan merupakan hal tak wajar yang dapat mengganggu stabilitas hidup keagamaan (apa pun itu maknanya) jika dibiarkan lolos dari pengawasan.
Di sisi lain, segmen masyarakat Muslim yang menekankan aspek pengawasan terhadap tubuh perempuan ini umumnya juga menyuarakan antipati terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Dengan pengawasan ketat terhadap tubuh perempuan, mereka berharap bahwa ‘supremasi’ Islam dapat dikokohkan atas ‘keunggulan’ peradaban Barat.
Namun, apakah obsesi masyarakat Muslim terhadap hijab merupakan kunci bagi supremasi Islam? Atau obsesi tersebut hanyalah produk lain dari kolonisasi Barat itu sendiri? Dengan kata lain, apakah melalui pengawasan terhadap tubuh perempuan, Muslim Indonesia sedang memperjuangkan kejayaan Islam, atau malah memperkuat asumsi-asumsi imperialis Barat yang ingin mereka lawan sebelumnya?
Dalam konteks modern, obsesi masyarakat Muslim terhadap hijab dan eksistensi perempuan di ruang publik bukanlah hal yang berasal dari komitmen terhadap ajaran Islam itu sendiri. Keinginan untuk memperkuat kontrol terhadap tubuh perempuan ini sejatinya bisa dirujuk kembali pada sejarah kolonial Barat terhadap negara-negara mayoritas Muslim.
Adalah Leila Ahmed, dalam bukunya Women and Gender in Islam, yang mendeskripsikan proses terbentuknya obsesi masyarakat Mesir di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap hijab dan bentuk ‘Islami’ lainnya dari kontrol atas tubuh perempuan. Ahmed menggambarkan bahwa intrusi kolonial terhadap masyarakat Mesir di kala itu memolarisasi konteks sosial-politik Mesir dalam dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang terpesona oleh kemajuan peradaban Barat dan mencoba mengadopsinya, sementara kubu kedua adalah mereka yang terancam oleh eksistensi kolonial Barat dan mencoba untuk membangun benteng moral-kultural melawan nilai-nilai Barat.
Kedua kubu tersebut menemukan bentuk ekspresinya yang paling konkret dalam kontrol atas tubuh perempuan. Mereka yang pro-Barat mengampanyekan pembebasan tubuh perempuan dalam artian sempitnya sebagai pembebasan seksual, bahwa perempuan yang bebas adalah mereka yang berpakaian terbuka, berkomunikasi secara bebas dengan lawan jenis, dsb. Mereka yang anti-Barat menekankan nilai-nilainya melalui asosiasi hijab dengan kejayaan Islam. Pada kedua sisi, tubuh perempuan hanya berfungsi sebagai manekin ideologis yang tidak memiliki subyektivitasnya sendiri.
Tidak dapat dipungkiri, proses konsolidasi identitas yang kokoh dapat dengan mudah diraih melalui politik identitas. Dalam kerangka ini, identitas dibentuk dari landasan perbedaan diri terhadap mereka yang dipandang sebagai liyan. Identitas kemudian ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol, yang mudah dikonsumsi, dimobilisasi, dan dipolitisasi. Namun, karena polanya yang timbal-balik, konsolidasi identitas seperti ini juga berfungsi sebagai konfirmasi asumsi-asumsi salah yang dilancarkan kedua belah pihak terhadap satu sama lain.
Dari perspektif ini, obsesi Muslim Indonesia terhadap hijab merupakan produk dari proses konsolidasi identitas yang dihasilkan dari interaksi dengan nilai-nilai Barat. Keinginan untuk membedakan diri dari arus agresif norma-norma Barat – dan bukan serta-merta motivasi religius yang berasal dari ajaran agama — merupakan motivasi utama dalam ambisi untuk mengontrol tubuh perempuan Muslim di Indonesia. Itulah mengapa kemudian obsesi ini ditampilkan dalam bentuknya yang vulgar, teatrikal, dan dramatis. Klaim kewajiban berhijab selalu dibumbui oleh narasi-narasi ‘penghormatan’ terhadap perempuan dengan cara menempatkan mereka dalam ranah domestik, dan dengan janji-janji surga. Aspek teatrikal ini penting bagi mereka yang ingin menampilkan keislamannya karena narasi-narasi Barat yang mereka lawan pun demikian sifatnya, superfisial dan teatrikal.
Dengan kata lain, hijab dan tubuh perempuan digunakan sebagai lahan pertarungan ideologis oleh mereka yang mengklaim diri sebagai pembela Islam, dalam perlawanannya terhadap dominasi Barat. Dan dengan demikian, karena politik identitas bersifat timbal-balik, semakin keras upaya komunitas-komunitas Muslim untuk melawan Barat melalui simbol-simbol teatrikal nan seksis, semakin terkonfirmasi pula berbagai kesalahpahaman Barat atas apa itu Islam dan Muslim.
Asumsi-asumsi Barat yang menyatakan bahwa Islam identik dengan kekerasan terhadap perempuan, dibuktikan dengan sukarela dan senang hati oleh mereka yang memaksakan narasi hijab terhadap perempuan Indonesia. Semakin vulgar ekspresi keislaman para Muslim di Indonesia, semakin ‘benar’ asumsi Islamofobia Barat terhadap Islam. Penggunaan simbol-simbol Islami secara membabi-buta tidaklah membawa ‘kejayaan’ Islam semakin dekat, melainkan membuat mimpi-mimpi Barat tentang keterbelakangan Islam menjadi nyata.
Lalu, apa yang harus dilakukan masyarakat Muslim untuk menghadapi arus imperialis Barat yang semakin menggila? Masyarakat Muslim Indonesia harus belajar untuk mengalihkan fokus dan energi mereka kepada isu-isu substansial yang berkontribusi terhadap hajat hidup orang banyak, seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan, dsb. Mereka harus berhenti berkecimpung dalam politik identitas yang tak ada habisnya. Mereka harus menyadari bahwa kekuatan politik telah membajak simbol-simbol yang mereka gunakan.
Keislaman harus dihadirkan dalam bentuk kecerdasan sosial, keindahan moral, cara berpikir kritis, dan keterampilan untuk memosisikan diri di mata dunia. Mulailah berpikir dan bertindak untuk Indonesia, bukan untuk ‘kejayaan’ Islam yang tak lagi jelas apa maknanya.