Rusuk untuk Keabadian
Siapa yang mampu menemukan keabadian di sela-sela tulang rusukku akan hidup selamanya.
Siapa yang mampu menemukan keabadian di sela-sela tulang rusukku akan hidup selamanya. Begitu mitos yang menyebar di masyarakat sekitar desa.
Ratusan orang datang ke rumah setiap hari untuk menjajal praktik ini. Antrean manusia tak pernah kelihatan sepi. Mereka jelas lebih suka buang-buang waktu dan uang sedikit daripada melewatkan kesempatan mendapat keabadian, meski masih terhitung mitos.
Siapa sangka, ternyata mitos ini lumayan menguntungkan buat keluarga kami. Mitos jadi bisnis!
Ayah dan Ibu yang memang oportunis memang lihai memanfaatkan peluang ini. Tanpa kagok mereka membentuk skema kepengurusan buat mengatur segala sesuatunya. Mulai dari mendekor ruang tamu supaya bisa difungsikan sebagai ruang tunggu yang nyaman, perihal tarif pelayanan dan pembiayaan lain, standar operasional praktik, standar kebersihan layanan, sampai mengurus kelegalan praktik beserta akta pendirian. Pokoknya, semua diperhitungkan.
Tetangga dan warga desa juga sudah sama-sama tahu. Sudah sama-sama menjaga keberlangsungan praktik ini. Bahkan, untuk persoalan keamanan, Ayah sudah minta tolong kepala desa dan aparat setempat untuk menempatkan beberapa petugas hansip di sekitar rumah.
Kondisi yang selalu ramai dan penuh sesak membuat rumah kami serasa mengadakan hajatan tiap hari. Donatur yang mendukung praktik sangat banyak. Jumlah yang disumbangkan cukup fantastis. Makanya, kami pun tak pelit-pelit buat menyempurnakan layanan kami.
Makanan baik kudapan maupun makanan berat sudah disediakan bernampan-nampan di ruang tunggu. Tukang masak siap sedia di dapur kalau-kalau ada pesanan khusus dari pelanggan. Tujuannya, biar orang jangan sampai mumet. Dengan alasan yang sama, kami pun memasang dua buah televisi LED 32 inci di sisi ruang tunggu. Makanan ada, tontonan pun ada, bagaimana tidak betah?
Hanya saja, karena animo masyarakat yang terlampau besar, kami kerap dibuat kerepotan. Cukup sering ada orang yang kelelahan bahkan pingsan karena terlalu lama menunggu. Untuk itu, tiga orang adikku yang sudah punya kamar pribadi sendiri-sendiri kadang terpaksa merelakan kamarnya untuk dijadikan tempat beristirahat orang-orang yang kelelahan ini.
Intinya, praktik keabadian itu memiliki prospek pasar yang sangat bagus, tapi pelaksanaannya perlu modal yang tidak sedikit, serta komitmen yang tak main-main.
Aku sendiri—sebagai empunya keabadian—justru kebagian tugas yang paling gampang. Cukup duduk di ruang praktik, menelanjangi dada, dan membiarkan pelanggan meraba-raba tulang rusukku. Merasakan ruas-ruasnya dengan kesepuluh jari sendiri sampai puas. Kemudian, paling-paling (tidak selalu) aku memberi sedikit hiburan dengan bertelanjang bulat kepada orang-orang yang, sehabis sepuluh menit mencoba gagal menemukan keabadian. Atau memberikan durasi tambahan dua menit buat melihat tubuh yang darinya tercipta keabadian serta mendamba-dambanya. Lagi pula, strategi ini bisa menjadi insentif mereka buat ikut praktik lagi nantinya.
Satu hal yang kupelajari, kebanyakan pelanggan yang berhasil memetik keabadian dariku adalah laki-laki. Aku rasa, bagaimanapun laki-laki memang memiliki kepekaan tersendiri terhadap tubuh perempuan. Kadang-kadang lebih peka dibandingkan perempuan sendiri. Bisa jadi, kepekaan itu datang dari birahi yang menyeruak ketika mereka menatap sepasang payudaraku yang montok ini.
Rasa-rasanya, jika memang ingin berhasil, diperlukan semacam pengalaman. Yang aku maksud adalah pengalaman eksplorasi pada buah dada perempuan. Buktinya, hampir semua laki-laki yang berhasil menemukan keabadian, kebanyakan adalah mereka yang sudah menikah.
Kalau pun belum, yang sudah pernah merasakan tubuh perempuan secara seksual. ‘Semakin baik pengalaman seksualmu, semakin mungkin kau memetik keabadian’, sederhananya begitu.
Jika sedang ingin, aku mengajak beberapa pelanggan mengobrol. Sekadar ingin tahu seperti apa kehidupan mereka di luar sana, dan apa alasan yang membuat mereka menginginkan keabadian. Konyolnya, tak ada yang pernah benar-benar merencanakan hal yang ingin mereka lakukan. Setidaknya, tidak dalam jangka panjang. Yang tentu saja dalam konteks keabadian bermakna sangat-sangat panjang.
Tok. Tok.
“Trisna, kamu boleh istirahat. Mau Ibu ambilkan makan?” kata Ibu dari luar pintu. Ia sudah terbiasa tak langsung masuk, takut aku masih telanjang.
“Sebentar lagi ya,” sahutku.
Tanpa membalas lagi, Ibu langsung beranjak. Langkahnya yang menjauh terdengar jelas di kamar kosong yang kini hanya ada diriku sendiri ini.
Saat-saat seperti ini lah yang paling kunikmati. Saat-saat di mana tubuhku untuk diriku sendiri, bukan jadi objek buat dipegang orang. Saat-saat di mana tubuhku bisa kunikmati sendiri.
Lalu, kucopot pelan-pelan kulit langsat-lembut-terawatku dari ubun-ubun sampai ujung jari-jari kaki.
Aku mau telanjang.
Tetapi bukan tipe telanjang yang membuat para lelaki terangsang, melainkan benar-benar telanjang. Ketelanjangan yang paling murni.
Kudekati cermin besar yang bergantung di dinding. Kutatap sisa-sisa bagian tubuhku, yang kini sudah didominasi rongga di sana-sini.
Sepertinya, keabadianku sudah mendekati ujung.
Dadaku yang harusnya utuh dan penuh, dengan susunan rusuk yang rapi dan tertata, sekarang hanya menyisakan rongga kosong. Organ di dalamnya pun sudah tak ada. Sudah kukembalikan pada mereka yang nasibnya lebih buruk. Kuhadiahkan dengan dibungkus kertas berwarna-warni bermotif lucu agar yang menerima sumringah.
Aku merasa kosong.
Apa yang ada di dalam sudah tak di sana lagi. Menyisakan kekosongan paling kosong yang mengharuskanku menggerogoti roda nasib biar hidupku tak jadi tragedi bagi tokoh utamanya sendiri—diriku. Membuatnya lama-lama berkarat dengan tekad keputusasaan. Sampai suatu hari keropos dan hancur di tengah perjalanan yang harusnya mengantarkanku ke sisi bawah roda.
Ketegaran sudah tak berarti lagi. Yang orang sebut harga diri dan kemauan telah membawaku ke kenyataan yang jauh sekali dari asalnya. Tak ada cara lagi buat kembali maupun lanjut jalan. Kenangan-kenangan yang lalu sedikit demi sedikit mulai terambil oleh lupa. Hal yang tersisa dariku hanya kebebasanku sebagai seorang manusia dan, tentu saja, identitasku sebagai perempuan, yang tak bisa kutukar, kuubah, kusunting sedikit, apalagi kubuang.
Namun, memang ini lah yang kumau. Semua ini terjadi dalam rangka menyambut bintang utamanya… kematian.
“Sudah salat? Makan dulu ya.” Suara Ibu memecah lamunanku. Rupanya, sudah setengah jam berlalu. Setengah jam lagi waktu istirahatku selesai.
“Belum. Nanti makanannya taruh di meja saja.”
Dan lagi-lagi, tanpa menjawab apa-apa Ibu langsung pergi dengan langkah yang membekas di telinga.
Aku pun segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk berwudu. Setelah mengenakan mukena, kudirikan salat Zuhur di atas karpet, terlalu segan buat repot-repot menggelar sajadah.
Klek.
Pintu kamar yang terletak di belakang tempatku salat terbuka. Pasti itu Ibu yang mengantarkan makanan.
Setelah kudengar ia meletakkan piring di meja, suara pintu yang ditutup terdengar.
Hanya perlu waktu lima menit buatku menyelesaikan ibadah salat. Setelah kunikmati makan siang singkat yang tak sanggup kuhabiskan semuanya, aku melemparkan diri ke ranjang.
Seolah dapat inspirasi dadakan, kuraih laci meja kecil di samping ranjang.
Ada tiga buah benda di sana: sebilah jarum suntik bekas, beberapa bungkus kondom yang belum dibuka, dan sekotak penuh obat tidur.
Aku pun mengambil jarum suntik. Tanganku yang lain menyelusup ke bawah kasur dan meraih botol kecil berisi litium cair yang kutebus beberapa hari lalu dari seorang langganan.
Kusuntikkan ujung jarum ke tutup botol, kutarik plunger-nya sampai seluruh tabung jarum suntik ini dipenuhi cairan litium. Persetan dengan dosis.
Selanjutnya, yang disuntik adalah pergelangan tangan kiriku. Kutekan plunger-nya perlahan-lahan namun pasti. Anehnya, plunger-nya macet begitu sudah setengah jalan. Litiumnya cuma terinjeksi setengah tabung.
Bingung mencari cara mengakalinya, aku pun melemas dan rebahan lagi. Efek relaksasi mulai menyebar ke seluruh tubuh. Pikiran-pikiran yang dari tadi menggelayuti kepala tanggal satu per satu.
Bola mataku yang bergerak tak keruan membawa pandanganku jatuh pada daerah selangkangan. Kulihat klitorisku sedang menegang seperti bagian tubuhku yang lain berkat pengaruh litium.
Dengan jarum suntik masih di tangan, kutusukkan ujung jarumnya ke klitorisku. Kusuntikkan semua litium yang masih tersisa setengah. Entah bagaimana, plunger jarum suntik ini mendadak berfungsi lagi.
Beberapa saat kemudian, klitorisku mati rasa. Sensasinya merayap-rayap, menyebar ke seluruh area selangkangan. Efek menyesakkannya berlomba-lomba dengan litium yang telah kusuntikkan sebelumnya. Keduanya berusaha mengambil alih tubuhku.
Setengah menit kemudian, seluruh tubuhku kejang-kejang. Dan satu menit setelahnya, orgasme paling liar yang pernah kurasakan dalam hidupku datang menggila. Kesadaranku tak bisa kurasakan.
Entah apa yang terjadi, pokoknya yang kutahu selanjutnya, aku sudah tergeletak di sebuah realitas alternatif. Di mana seluruh semestanya hanya berisi diriku dalam skala kosmos, yang senantiasa orgasme sepanjang masa dan selama-lamanya.
Ya, kini aku bahagia.
Muhammad Berlian Nuansa Adidaya adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Berharap dapat menjadi jurnalis yang baik di masa depan.