Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi
Perempuan wirausaha sangat terdampak akibat pandemi, sehingga bantuan saja tidak cukup, tapi harus ada akses kerja sama.
Pandemi virus corona memukul banyak usaha, termasuk usaha makanan Mamaibu Chicken Wings di Jakarta milik Vidi Damayanti. Selain pembelinya yang menurun drastis, Vidi juga kesulitan mengatur keuangan yang kian menipis.
“Sementara untuk berjualan online, saya juga kurang begitu paham,” ujarnya dalam webinar “Mewujudkan Akses dan Kesempatan Setara bagi Wirausaha Perempuan, yang diselenggarakan UN Women (16/7).
Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) seperti yang dilakoni Vidi merupakan salah satu sektor yang paling terdampak pandemi COVID-19. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat 64,5 persen pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan. Artinya, ada sekitar 37 juta perempuan terlibat dalam roda perekonomian sektor informal dengan empat sektor teratas, yakni retail, grosir, industri makanan dan minuman, serta industri pengolahan makanan.
Programme Officer Women Entrepreneurship UN Women Indonesia Pertiwi Triwidiahenig, memaparkan, UMKM milik perempuan cenderung terkonsentrasi ke usaha dengan produktivitas rendah dengan nilai ekonomi kurang tinggi, khususnya di sektor perdagangan dan jasa. Selain itu, perempuan wirausaha seperti Vidi masih cenderung menganggap menjual produk atau berdagang hanya untuk sebagai penghasilan tambahan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga saja. Padahal selama punya kemampuan berbisnis, perempuan selalu punya potensi sukses yang sama dengan laki-laki.
Adanya peran ganda perempuan, antara mengurus pekerjaan domestik dan memutar otak untuk mempertahankan usahanya, merupakan salah satu faktor mengapa perempuan wirausaha lebih sulit maju dalam bisnis, terutama di tengah pandemi.
Menurut Pertiwi, ada beberapa alasan mengapa beban ganda yang diemban perempuan selama pandemi ini berpengaruh besar pada usaha yang mereka lakoni.
Baca juga: 6 Hambatan Bagi Perempuan Wirausaha di Indonesia
Pertama, tanggung jawab domestik seperti mengurus anak dan suami yang seharian penuh di rumah bisa mengurangi waktu kerja mereka atau bisa jadi mereka harus rela berhenti bekerja sehingga mengurangi produktivitas perusahaan. Kedua, meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jelas bisa menghambat perempuan untuk bekerja maupun mengerjakan hal-hal produktif.
Ketiga, adanya pengurangan waktu kerja dan ancaman PHK besar-besaran di sektor yang didominasi pekerja perempuan membuat sektor-sektor usaha yang bergantung pada pekerja perempuan terhenti. Keempat, sektor bisnis yang bergantung pada pengusaha perempuan dalam rantai pasokan kemungkinan menghadapi keterlambatan atau gangguan karena beban ganda tersebut.
“Jika bisnis tidak mendukung perempuan selama masa ini, maka saat kegiatan ekonomi dimulai kembali, perusahaan berisiko kehilangan pekerja perempuan atau pekerja menjadi kurang produktif karena kesulitan yang dihadapi selama krisis,” ujar Pertiwi.
“Ada sekitar 50 juta pekerjaan di sektor pariwisata di tingkat regional yang kehilangan penghasilan. 60-90 persen perempuan bekerja di sektor pekerjaan padat karya dan 70-90 persen bekerja di industri garmen juga berisiko terkena PHK. Kenyataannya, perempuan lebih berisiko terkena pengurangan waktu kerja atau kehilangan pekerjaan dibandingkan laki-laki,” ujarnya.
Digital Platform untuk perempuan wirausaha
Melihat kerentanan perempuan wirausaha di berbagai sisi ini, UN Women bekerja sama dengan Unilever mengadakan program pemberdayaan perempuan wirausaha lewat digital platform WeLearn. Dengan misi mewujudkan kesempatan setara bagi perempuan untuk meningkatkan keterampilan kewirausahaan dan mengembangkan usahanya, WeLearn merupakan sarana digital yang menyediakan materi pembelajaran tentang wirausaha secara gratis.
Baca juga: Di Balik Toko Online, Ada Kerja Perempuan yang Terabaikan
UN Women Indonesia Representative Jamshed Kazi mengatakan, gerakan WeLearn ada sebagai bentuk kontribusi pemberdayaan ekonomi perempuan dan pengembangan keterampilan yang selama ini tidak banyak didapat oleh perempuan pelaku UMKM.
“Ini merupakan bentuk dukungan kami dalam mendorong kesetaraan gender dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif di masa krisis karena pandemi,” ujar Jamshed.
Vidi yang tidak ingin sampai usahanya gulung tikar memilih mengikuti program WeLearn tersebut. Menurutnya, memang pola pikirnya yang masih menganggap sama antara berwirausaha dan berdagang patut diubah. Ia kini lebih sadar akan pentingnya manajemen keuangan dan berpikir lebih maju untuk usahanya.
“Selama ini, meskipun sudah punya pelanggan, saya selalu berpikir bahwa usaha kuliner yang saya lakoni hanya sebatas berdagang biasa untuk menyambung hidup, bukan ladang bisnis yang potensial. Saya mikirnya dagang itu untuk dapat uang aja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Vidi.
“Saya sekarang sudah berani mempekerjakan satu karyawan. Sekarang berpikirnya untuk mengembangkan bisnis sebesar-besarnya. Saya banyak diajarkan disiplin dan mengelola keuangan,” ia menambahkan.
Upaya pemerintah
Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UMKM Veronica Simanungkalit mengatakan, penting untuk memperhatikan permasalahan ini secara serius karena peran perempuan UMKM tidak bisa dianggap enteng. UMKM yang dijalankan perempuan selama ini sudah menyumbang 9,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan lima persen berperan dalam ekspor.
“Untuk sektor ekonomi kreatif, mayoritas pekerjanya adalah perempuan dengan 55,74 persen sementara laki-laki hanya 44,46 persen,” ujar Veronica.
Dalam survei yang dilakukan kepada 53.287 unit UMKM sampai tanggal 26 Juni 2020, hampir 88 persen responden mengatakan mereka sangat terdampak oleh pandemi. Permasalahan yang dihadapi beragam. Dari mulai merosotnya jumlah pembeli, distribusi yang terhambat, modal yang semakin sulit hingga kelangkaan bahan baku.
Melihat hal ini, pemerintah sebetulnya sudah menganggarkan Rp123,46 triliun untuk membantu para pengusaha UMKM, terutama perempuan. Selama ini, menurut Veronica, pemerintah telah membagikan bantuan sosial, membantu rebranding kelembagaan koperasi, pelatihan perkoperasian, pendampingan usaha, dan juga pelatihan wirausaha secara gratis.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Meningkat, Tapi Tak Menambah Jumlah Pekerja Perempuan
“Kami juga terus berupaya mendorong dan menggali potensi perempuan yang terpendam karena data tahun 2002 saja sudah ada lima juta perempuan berwirausaha. Pekerjaan rumah harusnya tidak menjadi penghalang karena bisa berjalan koheren atau beriringan,” tambahnya.
Program kerja utama yang diinisiasi pemerintah sebetulnya berfokus pada digitalisasi UMKM yang masih mengandalkan pemasaran secara langsung. Kendati demikian pada praktiknya 87 persen UMKM memang belum paham betul tentang pemasaran digital. Sedangkan tingkat kesuksesan kakak pendamping atau mentor dari pemerintah hanya sebesar 4-10 persen, sehingga digitalisasi UMKM belum tentu sepenuhnya bisa berhasil.
“Empat hal penting dalam digitalisasi UMKM yaitu peningkatan kapasitas SDM, kolaborasi komunitas dan aplikasi, pendampingan, promosi packaging yang bagus serta pemasaran. Tapi ya itu masih belum merata makanya perlu bantuan banyak pihak,” ujar Veronica.
Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Nita Yudi mengatakan selain pengembangan SDM dan pemasaran, kemudahan akses permodalan juga bisa diupayakan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah sehingga bisa menjangkau pelaku usaha di desa.
“Intinya kalau sudah banyak yang dukung harus banyakin juga kerja sama, supaya perempuan wirausaha tidak habis digilas krisis,” kata Nita.